Saya menyesal harus
menggambarkan hubungan antara kelompok Protestan Evangelikal tertentu dan
Gereja Katolik dalam bahasa yang bermusuhan, tetapi demikianlah adanya ketika
kami dibesarkan. Kami diajarkan bahwa Gereja Katolik telah merampas kedudukan
Alkitab dengan menambahkan lapisan demi lapisan "tradisi manusia"
terhadapnya dan bahwa Gereja Katolik menipu berjuta-juta orang dengan
mengajarkan mereka bahwa mereka diselamatkan oleh perbuatan baik. Kami adalah
Protestan yang setia. Tetapi sekarang, oleh rahmat Tuhan, kami telah melihat
bahwa hanya dalam Gereja Katolik ada keutuhan iman Kristiani.
Perjalanan spiritual
saya menuju iman Katolik dimulai ketika selesai dari akademi, saya masuk sebuah
seminari Protestan Evangelikal yang ternama: Trinity Evangelical Divinity
School. Seminari ini sangat terkenal di kalangan Evangelikal karena komitmennya
kepada Alkitab sebagai satu-satunya otoritas bagi iman dan praktek Kristiani.
Baik pengajar maupun mahasiswa/i-nya dengan keras dan tegas membela otoritas,
inspirasi, dan kebenaran Alkitab. Hal ini tidak dilakukan secara tidak
intelektual seperti gaya kaum "Fundamentalis". Kami mempelajari
bahasa Yunani dan Ibrani, metode eksegesis dan prinsip-prinsip hermenetik
(metode penafsiran Alkitab), sejarah dan teologi. Kami membaca karya-karya para
teologis liberal dan belajar untuk berdebat dengan mereka dengan memakai
argumentasi-argumentasi mereka. Pendeknya, kami menganggap urusan Alkitab suatu
urusan yang sangat serius. Sungguh suatu lingkungan yang memberi dorongan bagi
kami untuk menggunakan daya pikir kami sendiri dan memformulasikan
posisi-posisi teologis yang punya dasar kuat dengan bukti-bukti objektif yang
tersedia dalam Alkitab.
Yang menarik adalah
bahwa kami tidak pernah membaca tulisan-tulisan para Bapa Gereja Perdana, dan
juga termasuk teolog Katolik manapun kecuali Santo Agustinus (karena dia dianggap
sebagai semacam pendahulu Calvinisme) dan Santo Thomas Aquinas (karena dampak
tulisannya terhadap pemikiran Kristen sangat menonjol sehingga sulit untuk
diabaikan). Pada umumnya kami melompat dari jaman para Rasul langsung ke jaman
reformasi Protestan, sehingga pengalaman saya terhadap ide-ide Katolik sungguh
nyaris tidak ada sama sekali. Akan tetapi ada dua hal yang sangat mempengaruhi
pemikiran saya terhadap Katolikisme, meskipun saya tidak menyadarinya pada
waktu itu.
Pertama, ketika saya
bersusah payah dengan Alkitab dan mempelajarinya dengan mendetail, saya mulai
menyadari bahwa Alkitab tidak mendukung teologi seperti yang telah diajarkan
kepada saya. Saya merubah posisi dari ajaran pre-milenialisme ke amilenialisme.
Saya tidak lagi percaya pada kepercayaan Protestan yang umum seperti jaminan
keselamatan mutlak bagi umat Kristen. Saya tidak lagi percaya pada doktrin Sola
Fide (bahwa kita dibenarkan oleh iman saja), yaitu salah satu pilar Reformasi.
Dan saya mulai memegang pandangan sakramental terhadap pembaptisan dan
Perjamuan Kudus.
Saya merasa salah
tempat secara teologis karena tidak ada satupun denominasi Protestan yang punya
pandangan-pandangan yang sama seperti yang saya punyai, dan hal ini sangat
mengganggu pikiran saya. Beberapa profesor saya meyakinkan saya bahwa sepanjang
pandangan saya masih serasi dengan Alkitab dan masih termasuk dalam garis besar
kepercayaan Kristen yang "ortodoks". Tetapi pendekatan yang netral
terhadap doktrin Kristiani semacam ini membuat saya khawatir, apa dasar persatuan
Kristen jika seseorang bisa memformulasikan doktrin-doktrin sesuai kepentingan
dirinya sendiri? Bukankah karena hal inilah maka Protestanisme telah
terpecah-belah dan terus terpecah sepanjang jaman?
Meskipun saya tidak
merasa terpanggil untuk memulai suatu denominasi saya sendiri, saya juga tidak
merasa nyaman secara teologis dalam denominasi-denominasi manapun yang ada.
Saya memutuskan untuk menyimpan beberapa pandangan pribadi dalam hati, karena
saya khawatir reaksi yang bisa timbul dari orang lain. Kekacauan menyangkut
penafsiran Alkitab di antara umat Protestan membuat saya bertanya - setidaknya
secara setengah sadar - apakah komitmen terhadap inspirasi dan otoritas Alkitab
sungguh-sungguh bisa merupakan suatu faktor yang mempersatukan seperti yang
dipercaya oleh kaum Evangelikal.
Faktor kedua yang
merubah pemikiran saya adalah pengalaman dengan pandangan yang tidak ortodoks
yang dipromosikan baik oleh pihak teolog-teolog Protestan yang liberal maupun
kelompok-kelompok konservatif. Pendukung-pendukung pandangan ini menengok pada
Alkitab untuk mendukung pendapat-pendapat mereka, tetapi banyak dari
doktrin-doktrin mereka adalah hasil kreasi sendiri, bahwa doktrin-doktrin ini
tidak pernah dipercaya oleh siapapun sepanjang sejarah Gereja.
Secara insting saya
tahu bahwa ide-ide ini tidak ortodoks, bahkan banyak di antaranya jelas-jelas
bertentangan dengan kredo-kredo (syahadat iman) yang dipegang oleh Gereja.
Lantas apa yang menjadi standard ortodoksi bagi saya, Alkitab atau syahadat
iman? Kalau saya condong kepada syahadat iman atau "iman Gereja yang
universal" untuk menyatakan bahwa suatu doktrin tidak ortodoks, lantas
bukankah saya menuruti sesuatu selain Alkitab saja? Ini menimbulkan suatu
pertanyaan yang tidak bisa saya jawab: Apakah ortodoksi itu sebenarnya? Apa
yang menjadi standar ortodoksi Kristen?
Saya mulai meragukan
bahwa pasti tidak hanya Alkitab saja, karena tidak seorangpun dari kami setuju
akan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Segala pendekatan Alkitabiah bisa dilawan
dengan suatu interpretasi yang berbeda atau malahan penolakan sama sekali
terhadap otoritas Alkitab. Saya semakin condong kepada syahadat-syahadat dan
kepada "iman universal Gereja" yang rada tidak jelas, untuk
meyakinkan diri saya sendiri bahwa apa yang saya percaya sifatnya ortodoks.
Saya tidak
mengetahuinya pada saat itu, tetapi istri saya, Lorene, ternyata juga sedang
dipersiapkan bagi perjalanan spiritual kami menuju Gereja Katolik. Sewaktu di
akademi dia mengikuti kebaktian di gereja Reformed Baptist. Hal ini membawanya
kepada pemahaman yang sakramental terhadap Perjamuan Kudus dan pada gilirannya
dia mempengaruhi saya dengan doktrin ini.
Salah satu saudara
perempuannya - yang suaminya dibesarkan secara Katolik - kadangkala menunjuk
kepada kekacauan di antara kaum Protestan dan melontarkan pertanyaan bahwa
bagaimana mereka semua bisa mengaku memiliki doktrin Kristen yang benar, tetapi
berbeda pendapat dalam sekian banyak isyu. Istri saya tidak mampu menjawabnya
dan menurutnya tidak ada jawabannya. Dia berpegang pada ide bahwa seseorang
minta petunjuk Roh Kudus jika hendak membaca Alkitab. Ini jawaban yang rasanya
tidak memuaskan tetapi hanya itulah yang bisa dia katakan.
Kira-kira dua tahun
yang lalu saya ada di pasar-murah milik Salvation Army (=Bala Keselamatan) dan
melihat-lihat buku bekas. Saya menemukan buku Katolikisme dan Fundamentalisme
karangan Karl Keating dan membolak-balik halaman-halamannya karena rasa ingin
tahu. Harganya cuma satu dollar, tapi nyaris saja saya taruh kembali karena
bagaimanapun ini buku tentang teologi Katolik. Tetapi, saya berkata kepada diri
saya sendiri, judul pasal-pasalnya sungguh menarik, dan rasanya tidak berbahaya
untuk mengetahui apa pandangan Katolik tentang hal-hal ini.
Saya membeli buku
tersebut dan mulai membacanya pada waktu menumpang kereta di pagi hari menuju
ke arah Chicago. Saya berusaha membacanya secara simpatik dan mengakui bahwa
kalau saya melihat dari sudut pandang Katolik - terutama menyangkut pandangan
Katolik terhadap Alkitab - maka lantas teologi Katolik tampak koheren dan masuk
akal. Buku tersebut menjernihkan salah persepsi saya terhadap apa yang
sesungguhnya dipercaya oleh iman Katolik.
Saya menceritakan hasil
observasi saya kepada istri saya. Ini suatu kesalahan langkah. Kami langsung
terlibat dalam suatu perdebatan di kereta. "Kamu tidak akan masuk Katolik,
kan?" dia langsung menyemprot saya. Dia memberitahu saya sesudahnya bahwa
pikirannya dipenuhi dengan, "Bagaimana saya bisa menjelaskan kepada
keluarga saya tentang hal ini? Saya menikahi seminarian Protestan dan dia malah
masuk Katolik!" Saya mengambil langkah mundur dan mengatakan kepadanya
bahwa saya cuma bilang kalau... dan seluruh topik tersebut untuk sementara
tidak kami ungkit-ungkit lagi.
Akan tetapi rasa hormat
saya terhadap iman Katolik terus tumbuh. Saya sungguh mengagumi Sri Paus
Yohanes Paulus II - posisinya yang tegas terhadap imoralitas, dan penolakannya
untuk melunakkan pesan-pesannya kepada presiden Amerika Serikat dan kepada
warga Amerika Serikat, dan panggilannya terhadap kaum muda Amerika untuk kembali
kepada iman Kristen sungguh memukau saya. Saya membaca buku karangan Charles
Colson yang berjudul The Body dan terkesan oleh peran yang dimainkan oleh
Gereja Katolik dan Ortodoks dalam meruntuhkan komunisme. Saya melihat umat
Katolik mengambil langkah-langkah dan memenuhi begitu banyak kebutuhan fisik
dalam nama Kristus. Sudah lama saya kecewa dengan gereja-gereja Evangelikal
kami karena karena banyak mengkritik problem-problem sosial tetapi tidak
berbuat banyak untuk mengatasinya. Saya melihat umat Katolik di kota kami
mempraktekkan iman mereka - memberi makan kepada orang miskin, memberikan
tumpangan bagi kaum gelandangan, merawat wanita-wanita yang hamil tanpa nikah
dan anak-anak mereka.
Pada bulan Mei 1993,
karena pernyataan-pernyataan pro-Katolik yang saya lontarkan pada suatu
kegiatan Bible-study, sepasang suami istri yang kami kenal dari gereja Baptist
yang sama, memberitahukan kami bahwa mereka sedang menyelidiki iman Katolik.
Dave juga lulus dari seminari yang sama dengan saya, sehingga kami mempunyai
latar belakang teologis yang sama. Kami berbincang-bincang selama seharian
tentang hal-hal menarik yang kami temukan tentang Gereja Katolik.
Ujung-ujungnya, saya meminjamkan buku karangan Karl Keating yang saya beli
kepadanya sedangkan Dave meminjamkan saya sejumlah kaset rekaman temu-wicara
oleh Scott Hahn, seorang mantan pendeta Presbiterian yang telah menjadi
Katolik. Saya sangat menikmati kaset rekaman tersebut, tetapi pada saat itu
saya tidak sepenuhnya terpengaruh oleh argumen-argumen Scott Hahn (baru
nantinya saya menyadari betapa besar pengaruhnya terhadap saya).
Tidak banyak hal yang
terjadi, agaknya, sampai bulan September, ketika Dave mengembalikan buku saya.
Dia menceritakan bahwa dia telah mengundurkan diri dari dewan deakon di gereja
kami dan bahwa dia beserta keluarganya mulai menghadiri Misa Kudus. Kami
terkejut, tetapi penuh rasa ingin tahu. Saya melihat Dave sebagai idola
spiritiual. Dia adalah seorang yang punya integritas, dan saya tahu bahwa Dave
tidak akan main-main dalam hal semacam ini. Lorene dan saya tahu bahwa berita
tentang Dave tidak akan diterima dengan baik di gereja Baptis kami, dan kami
telah memutuskan untuk tetap menjaga persahabatan dan mendukung keputusan Dave
dan istrinya .
Kami mengundang mereka
beberapa minggu sesudahnya untuk berbincang-bincang. Kami hanya melontarkan
sejumlah pertanyaan-pertanyaan, dan tidak berusaha untuk membuat mereka
membatalkan keputusannya untuk menjadi Katolik, tetapi untuk mengetahui apa
yang telah mendorong mereka membuat keputusan tersebut. Makin banyak kami
berdiskusi kami makin penuh semangat. Satu demi satu doktrin-doktrin Katolik
tampak berlandaskan Alkitab, logis, dan konsisten. Bahkan agaknya malah
meliputi seluruh Alkitab, termasuk ayat-ayat yang sulit ditafsirkan, dan tidak
memfokuskan diri terhadap sejumlah pilihan ayat-ayat tertentu. untuk mendukung
suatu posisi. Tampaknya dari kerangka pemikiran Katolik, banyak dari ayat-ayat
sulit tersebut tidak lagi menjadi suatu masalah.
Kami menemukan bahwa
kami sungguh-sungguh telah salah persepsi terhadap umumnya ajaran iman Katolik
yang sesungguhnya, dan selalu ada jawaban yang bagus terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang kami miliki. Sahabat kami tersebut tinggal sampai
tengah malam dan ketika mereka pulang, saya dan istri merasa seperti murid-murid
Yesus dalam kisah perjalanan ke Emmaus. Telinga kami serasa terbakar oleh
pengetahuan yang baru kami dapat. Akhir pekan itu tidak seorangpun dari kami
bisa menyingkirkannya dari benak pikiran kami, kami bahkan nyaris tidak dapat
tidur.
Istri saya membuat saya
terheran-heran karena dia mulai bicara tentang kepastian kami untuk menjadi
Katolik. Saya begitu shock karena tidak menyangka dia begitu terdorong menuju
Katolik. Tetapi sekali dia mengerti prinsip-prinsip dasar tentang otoritas Sri
Paus, peran Magisterium Gereja, dan peran Tradisi dalam doktrin Kristen, dia
mengerti bahwa sisanya tinggal mengikuti saja. Saya sendiri belum sampai ke
sana. Saya punya banyak pertanyaan, meskipun saya harus mengakui bahwa dalam
hati saya ingin semuanya benar.
Kami memulai eksplorasi
yang serius terhadap iman yang baru ini. Sebagai hasil penyelidikan ini, saya
menemukan bahwa dalam semua area teologis dimana saya berubah pandangan, saya
ternyata telah atau sedang menuju ke arah doktrin Katolik yang ortodoks. Saya menjadi
yakin bahwa umumnya "pengetahuan" saya akan iman Katolik
setidak-tidaknya telah disalah-tampilkan atau malah jelas-jelas salah.
Di masa lalu, kalaupun
saya tergerak untuk membaca tentang Katolik, saya selalu membaca dari
sumber-sumber Protestan. Ini cenderung untuk memburuk-burukan iman Katolik dan
seringkali, sengaja atau tidak sengaja, telah memberi penerangan yang salah
tentang apa yang sesungguhnya diajarkan oleh Gereja Katolik. Dengan membaca
dari sumber-sumber Katolik tentang doktrin Katolik dan bukti-bukti yang
mendukungnya sungguh merupakan suatu penglaman yang membuka mata hati saya dan
suatu tantangan. Saya dipaksa untuk mempertimbangkan kembali hal-hal yang
tadinya saya terima mentah-mentah.
Melalui penyelidikan
ini saya melihat bahwa meskipun reformasi Protestan disebut-sebut sebagai
kembali kepada "Alkitab saja" dibanding dengan
"tradisi-tradisi" Katolik, sesungguhnya paham-paham teologis yang
terutama dari Reformasi Protestan sama sekali tidak punya dukungan dari Alkitab.
Kaum Reformer memisahkan diri dengan Gereja Katolik pada dasarnya atas tiga
doktrin: pembenaran oleh iman saja, Sola Scriptura atau bahwa Alkitab adalah
satu-satunya otoritas, dan penyangkalan terhadap doktrin transubstansiasi.
Sewaktu masih di
seminari saya telah meninggalkan doktrin Sola Fide - bahwa kita dibenarkan
hanya oleh iman saja - karena bertentangan dengan Alkitab (lihat Yakobus
2:21-26, Roma 2:6-13, Galatia 5:6, Matius 12:36-37). Poin selanjutnya bagi saya
adalah sewaktu saya mulai percaya pada Kehadiran Sejati Kristus dalam Ekaristi.
Saya sudah melihat Perjamuan Kudus sebagai suatu sakramen, tetapi sekarang saya
melihat bahwa Alkitab bahkan mengajarkan lebih jauh lagi, bahwa roti dan anggur
sungguh-sungguh menjadi tubuh dan darah Tuhan Yesus. Bahkan yang lebih mencengangkan
buat saya adalah fakta bahwa ini merupakan pandangan ortodoks Gereja selama
1500 tahun sebelum para reformer Protestan datang dan meyakinkan umat Kristen
dari aliran kami (Calvinis) bahwa tidak demikian adanya. Bahwa apa yang telah
dipercaya oleh Gereja sepanjang berabad-abad dan dipegang sebagai misteri iman
yang terbesar, sesungguhnya bukan misteri sama sekali, tetapi cuma sekedar
perayaan ulang.
Saya membaca
tulisan-tulisan para Bapa Gereja yang paling terdahulu - Ignatius, Justin
Martir, Irenaeus, Tertullian, Hippolytus, Agustinus - dan menemukan bahwa
mereka semua percaya pada Kehadiran Sejati. Saya tidak lagi bisa memegang
pernyataan aliran Protestan kami yang mengatakan bahwa berjuta-juta umat
Kristen termasuk beberapa yang mengenal para Rasul secara pribadi, telah
disesatkan oleh Roh Kudus sampai Calvin dan Zwingli datang dan membawa
kebenaran. Meskipun para Reformer ini sendiri tidak bisa setuju satu sama lain
apa arti Perjamuan Kudus, mereka semua memaksakan bahwa Gereja Katolik pasti salah!
Pijakan terakhir saya
sebagai seorang Protestan adalah ketika Sola Scriptura - doktrin yang
menyatakan bahwa Alkitab sebagai satu-satunya otoritas dalam hal iman - runtuh
berkeping-keping. Saya telah membaca dari buku Karl Keating dan mendengar rekaman
Scott Hahn bahwa doktrin tersebut tidak diajarkan dalam Alkitab, dan bahwasanya
Alkitab tidak pernah mengaku sebagai satu-satunya sumber yang otoritatif
terhadap iman kita. Banyak ayat-ayat menunjukkan bahwa tradisi-tradisi dari
para rasul, apakah tertulis ataupun lisan, memiliki kuasa dan bahwa umat
Kristen harus percaya dan mengikutinya (lihat terutama ayat 1Korintus 11:2,
1Tesalonika 2:13, 2Tesalonika 2:15, 2Timotius 2:2, 2Petrus 3:1-3).
Gereja Katolik
mengajarkan bahwa Gereja adalah pemelihara deposit iman seperti yang diwahyukan
oleh Tuhan kepada para Rasul. Demikian juga Paulus, ketika dia menyebut Gereja
(dan bukannya Alkitab) sebagai "pillar dan pondasi kebenaran"
(1Timotius 3:15). Sebelumnya saya selalu mengabaikan argumen ini meskipun saya
tidak dapat menjawabnya. (saya terpikir tentang 2Timotius 3:16 tetapi ayat ini
hanya mengatakan bahwa Alkitab bermanfaat bagi koreksi, latihan, dan lain-lain,
tetapi ini tidak sama dengan mengatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya
sumber bagi hal ini).
Di suatu petang,
konsekuensi dari fakta-fakta ini kena telak. Fondasi dari Protestanisme telah
disapu bersih. Kita kaum Protestan bersikeras bahwa segala doktrin kita harus
punya dasar di Alkitab, tetapi doktrin Sola Scriptura itu sendiri tidak dapat
ditemukan dalam Alkitab. Lantas saya menyadari bahwa posisi Protestan sungguh
didasarkan atas inkoherensi logis.
Setelah saya menjadi
yakin bahwa pendapat para Reformer ternyata salah semua di tiga hal di atas,
maka tiada lagi dukungan yang tersisa bagi Reformasi sama sekali. Meskipun
rasanya semua orang setuju, apakah Katolik atau Protestan, bahwa Gereja Katolik
perlu reformasi selama jaman Luther (bahkan para Paus juga setuju), sulit bagi
saya untuk percaya bahwa bisa dibenarkan untuk mereformasi Gereja dengan cara
memecah-belahnya menjadi ribuan kelompok yang semuanya mengaku memegang doktrin
yang benar tetapi menginterpretasikan Alkitab secara berbeda dan jarang sekali
bekerja sama satu sama lain. Perpecahan dan perselisihan yang terus menerus
terjadi, skisma demi skisma, yang merupakan sifat-sifat Protestanisme, sungguh
sulit untuk dibenarkan dan jelas-jelas bertentangan dengan Alkitab (Yohanes
10:16, 17:20-23, dan 1Korintus 1-3).
Setelah melampaui semua
hal ini dan banyak isu-isu lainnya, saya dan istri merasa hanya tinggal dua
pilihan yang tersisa: turun jadi seorang agnostik rasionalistik atau naik
menyongsong iman Kristen yang utuh dalam Gereja Katolik. Ini bukan suatu
pilihan sama sekali, sebab kami sangat mengasihi Yesus dan tidak akan pernah
menjadi seorang agnostik (tidak peduli akan Tuhan). Kami diterima ke dalam
Gereja Katolik dan menerima sakramen penguatan pada tanggal 8 Februari 1994.
Kami sungguh berbahagia menjadi Katolik, meskipun transisi - terutama hal
memberitahu kawan-kawan dan keluarga tentang keputusan kami - sungguh sulit.
Karena lingkungan
Gereja Katolik berbeda dengan Protestan Evangelikal, kami masih dalam proses
adaptasi, tapi saya merasa seperti Kardinal Newman, yang setelah bergabung
dengan Gereja Katolik, beliau berkata bahwa dia merasa seperti kapal yang
akhirnya berlabuh di pelabuhan. Kami tidak lagi harus "terombang-ambing
oleh rupa-rupa angin pengajaran" (Efesus 4:14). Kami tidak lagi harus
melanglang buana untuk meyakini bahwa apa yang kami percaya adalah ortodoks.
Sekelompok imam dan
awam Katolik memberikan dukungan moral bagi kami dan telah memberikan pelayanan
kasih Kristus melalui doa-doa dan dukungan mereka selama peziarahan kami ke
dalam Gereja Katolik. Perjalanan spiritual kami telah membawa
kesempatan-kesempatan baru bagi kami dalam hal ibadah Kristen dalam liturgi,
kekayaan sakramen yang luar biasa, dan kekayaan spiritualisme Katolik yang tak
terbatas. Semua hal ini meyakinkan kami bahwa kami telah pulang ke rumah.
By your faithh you have
salvation
Saya tak selalu
mendapatkan apa yang saya sukai, oleh karena itu saya selalu menyukai apa
cbyang saya dapatkan
Health is not
everything, but everything without health is nothing.
Sumber gambar : youtube
Journey Home