Miris! Pencabulan Anak Di Bawah Umur di Kabupaten Malaka: Mempertimbangkan Pidana Kebiri Bagi Pemerkosa

Miris! Pencabulan Anak Di Bawah Umur di Kabupaten Malaka: Mempertimbangkan Pidana Kebiri Bagi Pemerkosa

Foto : illustrasi pencabulan anak dibawar umur


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk Numbei)Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk kurang lebih 200 jt populasi. Dengan banyaknya populasi penduduk tersebut, Indonesia diambang rawan tindak kejahatan salah satunya tindak pencabulan terhadap anak-anak. 

Pada zaman ini anak-anak banyak menjadi korban pencabulan, anak-anak yang seharusnya bisa bermain bebas dan membangun relasi untuk mencari identitas dirinya dalam usia pertumbuhan dan perkembangannya menjadi korban kekerasan seksual.

Peristiwa Pemerkosaan atau pencabulan terhadap anak dibawah umur berinisial CCTS (13) di Desa Wehali, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka NTT itu mulai terbongkar ketika korban mengaku kepada mama kandungnya dan langsung melaporkan ke Mapolres Malaka, Rabu (04/05/20220) sebagaimana dilansir dari orbitnews.id. 

Sontak kejadian itu membuat kita semua geram, semua mengutuk, semua minta pelaku dihukum dengan hukuman seberat-beratnya bahkan ada yang minta para pelakunya dihukum kebiri dan dihukum mati. Walaupun hal tersebut tidak sesuai dengan pendapat pakar kesejahteraan anak, Prof. Dr. Irwanto, yang menganggap pemerintah salah fokus dalam merespon kasus-kasus pemerkosaan dan pencabulan yang muncul. Pemerintah seakan-akan lebih fokus untuk menghukum pelaku kekerasan seksual. Mulai dari hukuman kebiri hingga pidana seumur hidup. Hal tersebut dijustifikasi dengan penggunaan hukuman sama di beberapa negara maju. Mereka berkaca kepada beberapa negara Amerika Serikat yang menggunakan hukuman kebiri. Lebih lanjut menurut Prof. Dr. Irwanto, "Tapi, saat saya perhatikan, kejahatan kekerasan seksual di negara bagian yang menerapkan hukuman itu pun tak turun secara signifikan" dikutip dari pn-palopo.go.id.

Boleh jadi pendapat Prof. Dr. Irwanto tersebut adalah benar bahwa penjatuhan pidana yang berat bagi pelaku kekerasan seksual apalagi dengan menjatuhkan hukuman kebiri bukanlah solusi yang tepat. Tetapi menurut penulis apa salahnya kita mencoba menerapkan hukuman yang lebih berat terhadap pelaku-pelaku kejahatan seksual apalagi yang disertai dengan kekerasan yang menimbulkan korban meninggal dunia, walaupun di beberapa negara yang menerapkan hukuman kebiri, data menunjukkan "pemerkosaan" belum turun secara signifikan, tetapi menurut penulis bahwa hal tersebut bukanlah acuan untuk tidak menerapkan hukuman kebiri. Apalagi melihat trend kasus perkosaan yang semakin hari semakin meningkat memang sudah seharusnya dijatuhkan hukuman yang berat bagi para pelaku-pelaku pemerkosaan, lihat saja pencabulan anak dibawah umur 13 (CCTS) itu dilakukan di dua tempat berbeda di Kabupaten Malaka, di duga ada kerja sama antara mami kos (PDR) yang berperan sebagai germo dengan  pelaku berinisial (N) yang kerap di panggil dokter dan pelaku satunya berinisial (G) yang diduga  merupakan pelaku dari skenario yang di bangun oleh mama kos (PDR), perdagangan anak atau (Human Traficking), mami kos bekerja sama dengan pelaku dengan menjual korban berinisial CCTS (13) kepada pelaku dokter atau berinisial (N) dan pelaku (G). Dari informasi yang dihimpun oleh awak media orbitnews.id di rumah korban (CCTS) di Kakaniuk Malaka NTT, Selasa (03/05/2022). Kejadian pemerkosaan anak dibawah umur itu dilakukan sebanyak dua kali dalam waktu dan tempat yang berbeda. 

Dari peristiwa ini, pelaku-pelaku kejahatan seperti ini memang pantas dihukum seberat-beratnya termasuk dijatuhi hukuman "mati", walaupun di satu sisi penjatuhan hukuman mati masih menjadi polemik karena dianggap melanggar HAM, apalagi penjatuhan hukuman mati tidak diperbolehkan oleh sistem hukum pidana kita. Tetapi pernahkah kita memikirkan HAM si korban termasuk hak asasi keluarga yang ditinggalkan.

Ancaman Pidana Dalam UU Perlindungan Anak

Ancaman pidana dalam UU Perlindungan Anak, terutama pasal-pasal pelecehan seksual dan kekerasan seksual (UU Perlindungan Anak mengistilahkan "melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan), dimana ancaman pidana minimal dan ancaman pidana maksimalnya semuanya sama, baik pelecehan maupun kekerasan seksual (perkosaan).

Sehingga, menurut penulis jika demikian berarti undang-undang menganggap pelecehan seksual dengan pemerkosaan sama saja padahal tidak, karena pelecehan seksual adalah perbuatan seseorang yang melecehkan seorang anak baik dia anak perempuan maupun anak laki-laki baik dengan cara memeluknya, menciumnya, memegang anggota tubuhnya yang diangap tabu maka bagi pelaku pelecehan seksual tersebut diancam dengan pidana penjara minimal 5(lima) tahun dan maksimal 15 tahun(lima belas) tahun. Sedangkan apabila seseorang melakukan kekerasan atau memaksa anak melakukan persetubuhan maka sang pelaku juga hanya diancam dengan pidana penjara minimal 5 (lima) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun, jadi antara pelaku pelecehan seksual dan pelaku kekerasan seksual ancamannya sama saja. Pertanyaannya apakah adil pelaku pelecehan seksual yang hanya menyentuh anggota tubuh seorang anak perempuan ataukah anak laki-laki diancam dengan pidana penjara minimal 5 (lima) tahun sedangkan bagi pelaku kekerasan seksual (pemerkosaan) terhadap anak juga hanya diancam pidana penjara minimal 5(lima) tahun. Karena bisa saja pelaku kejahatan memakai "LOGIKA SESAT" daripada saya hanya pelecehan seksual dihukum minimal 5 (lima) tahun penjara lebih baik saya perkosa sekalian hukumannya juga minimal 5 (lima) tahun penjara, begitupula 1(satu) atau 2 (dua) yang dilecehkan ancaman pidananya sama begitupula 1(satu) atau 2(dua) yang diperkosa ancaman pidananya juga sama. Karena sistem pemidanaan kita tidak boleh menjatuhkan pidana penjara melewati 20 (dua puluh) tahun.

Sehingga, berdasarkan ilustrasi sebagaimana di atas menurut penulis sudah saatnya sistem pemidanaan kita diubah tidak lagi memakai standar minimal dan maksimal karena hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, tetapi melihat secara proporsional.

Hukuman Kebiri

Sebentar lagi, bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak, akan mendapat hukuman tambahan yaitu hukuman "kebiri", karena saat ini kekerasan seksual terhadap anak sudah dianggap "darurat", sehingga pemerintah dan lembaga pemerhati anak menganggap mesti ada hukuman tambahan berupa hukuman "kebiri" seperti yang dipraktekkan dibebara negara.

Istilah kebiri atau biasa disebut kastrasi adalah tindakan bedah atau penggunaan bahan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi seksual hewan atau manusia dan bagian yang di bedah adalah testis pada jantan, dan ovarium pada betina. Sedangkan pengertian kebiri dalam bahasa Indonesia adalah mengeluarkan kelenjar testis pada jantan, atau memotong ovarium pada betina. Kalau kita melihat sejarah kebiri, bisa kita lihat pada masa Kekaisaran Tiongkok, dimana kebiri dilakukan kepada laki-laki yang diberi tugas untuk menjaga para selir dan putri-putri kerajaan, ini berfungsi untuk menghindari zina ke putri dan selir yang dijaganya, sedangkan di wilayah Eropa, kebiri juga dikenal sebagai simbol perampasan kekuasaan yang dulu sering dilakukan pada zaman peperangan.

Tetapi kebiri pada zaman Kerajaan Tiongkok dengan zaman modern seperti saat ini sudah jauh berbeda karena kebiri pada zaman Kerajaan Tiongkok tersebut dilakukan dengan kebiri fisik, yaitu dengan cara memotong secara utuh alat kelamin atau organ pada manusia atau hewan, sedangkan yang diterapkan di era modern seperti saat ini adalah dengan cara kebiri kimia, yaitu menyuntikkan hormon untuk mematikan fungsi organ, misalnya hormon testosterone pada testis. Sehingga hukuman kebiri adalah sebuah tindakan yang dilakukan kepada orang yang dianggap bersalah, yang berhubungan dengan tindakan seksual dan kebiri juga dapat diartikan sebagai memandulkan manusia, hal ini berhubungan dengan memberhentikan produksi mani karena kalenjar testisnya dihilangkan.

Secara teoritik, penjatuhan kebiri untuk diintroduksi dalam penjatuhan pidana dapat dibenarkan. Sebagaimana ditawarkan oleh Fletcher bahwa saat sekarang aliran new retributivism dapat menjadi alternatif penjatuhan pidana. Selama ini, retributivism murni dikritik banyak orang lantaran tidak sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia. Pidana hanya ditujukan untuk pembalasan tanpa harus mempertimbangkan tujuan. Tujuan satu-satunya dari pidana adalah pembalasan dan jera.

Atas kritik ini, pandangan pidana kemudian beralih kepada utilitarianism. Penjatuhan pidana harus memperhatikan humanisme dan mengedepankan Hak Asasi Manusia. Namun dalam perkosaan, aliran yang cocok diterapkan adalah bukan utilitarianism, tetapi new retributive ini, yakni modifikasi dari teori retributive murni. Dengan pandangan yang terakhir ini maka kebiri dengan model pemberian/penyuntikan hormon antiandrogen menjadi tindakan yang tepat, bukan kebiri dengan cara pembedahan  dan pemotongan testis.

Dengan demikian, pidana kebiri memiliki landasan teoritik/filosofik dan landasan sosiologis demi kepentingan masyarakat umum. Satu landasan operasional lagi yang diperlukan yaitu perlunya payung yuridis, agar kebiri dapat dijatuhkan terhadap pelaku perkosaan.

Idealnya, landasan yuridis tersebut diintegrasikan dalam KUHP atau undang-undang terkait dengan kekerasan seksual. Namun mengingat ancaman perkosaan yang sudah di luar batas nalar kemanusiaan, bahkan lebih rendah dari insting khayawaniyah, pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Langkah ini harus segera ditempuh, jika tidak ingin para perempuan terenggut kehormatannya secara sia-sia.

Akhir-akhir ini istilah kebiri menjadi pembicaraan dimana-mana sehubungan dengan rencana pemerintah membuat regulasi hukuman kebiri bagi pelaku-pelaku kekerasan seksual, penjatuhan hukuman kebiri menjadi momok yang menakutkan bagi pelaku-pelaku pemerkosaan terhadap anak, namun yang menjadi pertanyaan apakah hukuman kebiri bukanlah pelanggaran HAM? hal tersebut masih menjadi bahan perdebatan yang panjang, tetapi bagi penulis bahwa sudah saatnya hukuman tambahan bagi para pelaku kekerasan seksual (pemerkosaan) terutama terhadap anak harus ditambah dengan hukuman tambahan berupa hukuman kebiri agar menjadi contoh bagi yang lain agar jangan coba-coba melakukan kejahatan tersebut. Harapan penulis dan kita semua semoga dengan maraknya kasus kekerasan seksual (pemerkosaan) yang marak terjadi akhir-akhir ini PERPU tentang Kebiri secepatnya ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Semoga tulisan singkat ini memberikan pencerahan kepada kita semua, Amin. 

***

Sabtu, 07 Mei 2022

Penimba Inspirasi Jalan Setapak


 


 

 

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama