Foto : illustrasi pencabulan anak dibawar umur |
Pada zaman ini
anak-anak banyak menjadi korban pencabulan, anak-anak yang seharusnya bisa
bermain bebas dan membangun relasi untuk mencari identitas dirinya dalam usia pertumbuhan dan perkembangannya menjadi korban kekerasan seksual.
Peristiwa Pemerkosaan
atau pencabulan terhadap anak dibawah umur berinisial CCTS (13) di Desa Wehali,
Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka NTT itu mulai terbongkar ketika
korban mengaku kepada mama kandungnya dan langsung melaporkan ke Mapolres
Malaka, Rabu (04/05/20220) sebagaimana dilansir dari orbitnews.id.
Sontak kejadian itu
membuat kita semua geram, semua mengutuk, semua minta pelaku dihukum dengan
hukuman seberat-beratnya bahkan ada yang minta para pelakunya dihukum kebiri
dan dihukum mati. Walaupun hal tersebut tidak sesuai dengan pendapat pakar
kesejahteraan anak, Prof. Dr. Irwanto, yang menganggap pemerintah salah fokus
dalam merespon kasus-kasus pemerkosaan dan pencabulan yang muncul. Pemerintah
seakan-akan lebih fokus untuk menghukum pelaku kekerasan seksual. Mulai dari
hukuman kebiri hingga pidana seumur hidup. Hal tersebut dijustifikasi dengan
penggunaan hukuman sama di beberapa negara maju. Mereka berkaca kepada beberapa
negara Amerika Serikat yang menggunakan hukuman kebiri. Lebih lanjut menurut
Prof. Dr. Irwanto, "Tapi, saat saya perhatikan, kejahatan kekerasan
seksual di negara bagian yang menerapkan hukuman itu pun tak turun secara
signifikan" dikutip dari pn-palopo.go.id.
Boleh jadi pendapat
Prof. Dr. Irwanto tersebut adalah benar bahwa penjatuhan pidana yang berat bagi
pelaku kekerasan seksual apalagi dengan menjatuhkan hukuman kebiri bukanlah
solusi yang tepat. Tetapi menurut penulis apa salahnya kita mencoba menerapkan
hukuman yang lebih berat terhadap pelaku-pelaku kejahatan seksual apalagi yang
disertai dengan kekerasan yang menimbulkan korban meninggal dunia, walaupun di
beberapa negara yang menerapkan hukuman kebiri, data menunjukkan
"pemerkosaan" belum turun secara signifikan, tetapi menurut penulis
bahwa hal tersebut bukanlah acuan untuk tidak menerapkan hukuman kebiri.
Apalagi melihat trend kasus perkosaan yang semakin hari semakin meningkat
memang sudah seharusnya dijatuhkan hukuman yang berat bagi para pelaku-pelaku
pemerkosaan, lihat saja pencabulan anak dibawah umur 13 (CCTS) itu dilakukan di
dua tempat berbeda di Kabupaten Malaka, di duga ada kerja sama antara mami kos
(PDR) yang berperan sebagai germo dengan pelaku berinisial (N) yang kerap
di panggil dokter dan pelaku satunya berinisial (G) yang diduga merupakan
pelaku dari skenario yang di bangun oleh mama kos (PDR), perdagangan anak atau (Human Traficking), mami kos bekerja
sama dengan pelaku dengan menjual korban berinisial CCTS (13) kepada pelaku
dokter atau berinisial (N) dan pelaku (G). Dari informasi yang dihimpun oleh
awak media orbitnews.id di rumah korban (CCTS) di Kakaniuk Malaka NTT, Selasa
(03/05/2022). Kejadian pemerkosaan anak dibawah umur itu dilakukan sebanyak dua
kali dalam waktu dan tempat yang berbeda.
Dari peristiwa ini, pelaku-pelaku
kejahatan seperti ini memang pantas dihukum seberat-beratnya termasuk dijatuhi
hukuman "mati", walaupun di satu sisi penjatuhan hukuman mati masih
menjadi polemik karena dianggap melanggar HAM, apalagi penjatuhan hukuman mati
tidak diperbolehkan oleh sistem hukum pidana kita. Tetapi pernahkah kita
memikirkan HAM si korban termasuk hak asasi keluarga yang ditinggalkan.
Ancaman Pidana Dalam UU Perlindungan Anak
Ancaman pidana dalam UU
Perlindungan Anak, terutama pasal-pasal pelecehan seksual dan kekerasan seksual
(UU Perlindungan Anak mengistilahkan "melakukan kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan), dimana ancaman pidana minimal dan ancaman pidana
maksimalnya semuanya sama, baik pelecehan maupun kekerasan seksual (perkosaan).
Sehingga, menurut
penulis jika demikian berarti undang-undang menganggap pelecehan seksual dengan
pemerkosaan sama saja padahal tidak, karena pelecehan seksual adalah perbuatan
seseorang yang melecehkan seorang anak baik dia anak perempuan maupun anak
laki-laki baik dengan cara memeluknya, menciumnya, memegang anggota tubuhnya
yang diangap tabu maka bagi pelaku pelecehan seksual tersebut diancam dengan
pidana penjara minimal 5(lima) tahun dan maksimal 15 tahun(lima belas) tahun.
Sedangkan apabila seseorang melakukan kekerasan atau memaksa anak melakukan
persetubuhan maka sang pelaku juga hanya diancam dengan pidana penjara minimal
5 (lima) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun, jadi antara pelaku pelecehan
seksual dan pelaku kekerasan seksual ancamannya sama saja. Pertanyaannya apakah
adil pelaku pelecehan seksual yang hanya menyentuh anggota tubuh seorang anak
perempuan ataukah anak laki-laki diancam dengan pidana penjara minimal 5 (lima)
tahun sedangkan bagi pelaku kekerasan seksual (pemerkosaan) terhadap anak juga
hanya diancam pidana penjara minimal 5(lima) tahun. Karena bisa saja pelaku
kejahatan memakai "LOGIKA SESAT" daripada saya hanya pelecehan
seksual dihukum minimal 5 (lima) tahun penjara lebih baik saya perkosa sekalian
hukumannya juga minimal 5 (lima) tahun penjara, begitupula 1(satu) atau 2 (dua)
yang dilecehkan ancaman pidananya sama begitupula 1(satu) atau 2(dua) yang
diperkosa ancaman pidananya juga sama. Karena sistem pemidanaan kita tidak
boleh menjatuhkan pidana penjara melewati 20 (dua puluh) tahun.
Sehingga, berdasarkan
ilustrasi sebagaimana di atas menurut penulis sudah saatnya sistem pemidanaan
kita diubah tidak lagi memakai standar minimal dan maksimal karena hal tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, tetapi melihat secara proporsional.
Hukuman Kebiri
Sebentar lagi, bagi
para pelaku kekerasan seksual terhadap anak, akan mendapat hukuman tambahan
yaitu hukuman "kebiri", karena saat ini kekerasan seksual terhadap
anak sudah dianggap "darurat", sehingga pemerintah dan lembaga
pemerhati anak menganggap mesti ada hukuman tambahan berupa hukuman
"kebiri" seperti yang dipraktekkan dibebara negara.
Istilah kebiri atau
biasa disebut kastrasi adalah tindakan bedah atau penggunaan bahan kimia yang
bertujuan untuk menghilangkan fungsi seksual hewan atau manusia dan bagian yang
di bedah adalah testis pada jantan, dan ovarium pada betina. Sedangkan
pengertian kebiri dalam bahasa Indonesia adalah mengeluarkan kelenjar testis
pada jantan, atau memotong ovarium pada betina. Kalau kita melihat sejarah
kebiri, bisa kita lihat pada masa Kekaisaran Tiongkok, dimana kebiri dilakukan
kepada laki-laki yang diberi tugas untuk menjaga para selir dan putri-putri
kerajaan, ini berfungsi untuk menghindari zina ke putri dan selir yang
dijaganya, sedangkan di wilayah Eropa, kebiri juga dikenal sebagai simbol
perampasan kekuasaan yang dulu sering dilakukan pada zaman peperangan.
Tetapi kebiri pada
zaman Kerajaan Tiongkok dengan zaman modern seperti saat ini sudah jauh berbeda
karena kebiri pada zaman Kerajaan Tiongkok tersebut dilakukan dengan kebiri
fisik, yaitu dengan cara memotong secara utuh alat kelamin atau organ pada
manusia atau hewan, sedangkan yang diterapkan di era modern seperti saat ini
adalah dengan cara kebiri kimia, yaitu menyuntikkan hormon untuk mematikan
fungsi organ, misalnya hormon testosterone pada testis. Sehingga hukuman kebiri
adalah sebuah tindakan yang dilakukan kepada orang yang dianggap bersalah, yang
berhubungan dengan tindakan seksual dan kebiri juga dapat diartikan sebagai
memandulkan manusia, hal ini berhubungan dengan memberhentikan produksi mani
karena kalenjar testisnya dihilangkan.
Secara teoritik,
penjatuhan kebiri untuk diintroduksi dalam penjatuhan pidana dapat dibenarkan.
Sebagaimana ditawarkan oleh Fletcher bahwa saat sekarang aliran new retributivism dapat menjadi
alternatif penjatuhan pidana. Selama ini, retributivism murni
dikritik banyak orang lantaran tidak sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia.
Pidana hanya ditujukan untuk pembalasan tanpa harus mempertimbangkan tujuan.
Tujuan satu-satunya dari pidana adalah pembalasan dan jera.
Atas kritik ini,
pandangan pidana kemudian beralih kepada utilitarianism. Penjatuhan pidana
harus memperhatikan humanisme dan mengedepankan Hak Asasi Manusia.
Namun dalam perkosaan, aliran yang cocok diterapkan adalah bukan utilitarianism,
tetapi new retributive ini,
yakni modifikasi dari teori retributive murni.
Dengan pandangan yang terakhir ini maka kebiri dengan model
pemberian/penyuntikan hormon antiandrogen menjadi tindakan yang tepat, bukan
kebiri dengan cara pembedahan dan pemotongan testis.
Dengan demikian, pidana
kebiri memiliki landasan teoritik/filosofik dan landasan sosiologis demi
kepentingan masyarakat umum. Satu landasan operasional lagi yang diperlukan
yaitu perlunya payung yuridis, agar kebiri dapat dijatuhkan terhadap pelaku
perkosaan.
Idealnya, landasan
yuridis tersebut diintegrasikan dalam KUHP atau undang-undang terkait dengan
kekerasan seksual. Namun mengingat ancaman perkosaan yang sudah di luar batas
nalar kemanusiaan, bahkan lebih rendah dari insting khayawaniyah,
pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu). Langkah ini harus segera ditempuh, jika tidak ingin para perempuan
terenggut kehormatannya secara sia-sia.
Akhir-akhir ini istilah
kebiri menjadi pembicaraan dimana-mana sehubungan dengan rencana pemerintah
membuat regulasi hukuman kebiri bagi pelaku-pelaku kekerasan seksual, penjatuhan
hukuman kebiri menjadi momok yang menakutkan bagi pelaku-pelaku pemerkosaan
terhadap anak, namun yang menjadi pertanyaan apakah hukuman kebiri bukanlah
pelanggaran HAM? hal tersebut masih menjadi bahan perdebatan yang panjang,
tetapi bagi penulis bahwa sudah saatnya hukuman tambahan bagi para pelaku
kekerasan seksual (pemerkosaan) terutama terhadap anak harus ditambah dengan
hukuman tambahan berupa hukuman kebiri agar menjadi contoh bagi yang lain agar
jangan coba-coba melakukan kejahatan tersebut. Harapan penulis dan kita semua
semoga dengan maraknya kasus kekerasan seksual (pemerkosaan) yang marak terjadi
akhir-akhir ini PERPU tentang Kebiri secepatnya ditandatangani oleh Presiden
Jokowi. Semoga tulisan singkat ini memberikan pencerahan kepada kita semua, Amin.
***
Sabtu, 07 Mei 2022
Penimba Inspirasi Jalan Setapak