Sebagai seorang manusia berbudaya, kita terbiasa
hidup beriringan dengan produk kebudayaan yang dihasilkan oleh suatu budaya dan
pada hal ini, kita telah terbiasa hidup dengan standar-standar yang ada tanpa
terkecuali, dan seperti yang telah kita ketahui, sejak awal, masyarakat telah
terobsesi dengan standar-standar tersebut, khususnya dengan standar kecantikan.
Kendati demikian, konsep kecantikan merupakan konsep yang subjektif dan
relatif. Seseorang dapat dikatakan sejalan atau tidak sejalan dengan suatu
standar kecantikan tergantung pada letak geografis dan tempat seseorang itu
tinggal atau berpergian. Akan tetapi, ada penjelasan yang lebih luas terkait
standar kecantikan itu sendiri. Oleh karenanya, pada artikel ilmiah ini,
penulis akan membawa pembaca kepada pengetahuan seputar apa itu standar
kecantikan, apa yang mendasari eksistensi dari standar kecantikan itu sendiri,
dan bagaimana suatu standar kecantikan dapat mempengaruhi diri seseorang dengan
menggunakan filsafat empirisme Hume sebagai landasan teori. Lebih jauh, dalam
artikel ilmiah ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif sebagai bagian
dari metode penelitian. Seluruh hasil penelitian yang didapatkan oleh penulis
didapatkan dari sumber-sumber bacaan, seperti buku, artikel jurnal, dan esai
pilihan yang kemudian penulis tulis menggunakan pemahaman penulis. Diharapkan,
melalui artikel ilmiah ini, pembaca dapat mendapatkan pengetahuan dan wawasan
baru terkait tema yang diangkat oleh penulis.
Kata kunci: standar kecantikan; filsafat empirisme;
david hume
Abstract
As a cultured human being, we are
accustomed to living side by side with the cultural products produced by a
culture and in this case, we have been accustomed to living by the standards
that exist without exception, and as we have known, since the beginning,
society has been obsessed with standards—these standards, especially with
beauty standards. However, the concept of beauty is a subjective and relative
concept. A person can be said to be in line or not in line with a standard of
beauty depending on geographic location and where a person lives or travels.
However, there is a broader explanation regarding the beauty standard itself.
Therefore, in this scientific article, the author will bring the readers to the
knowledge about what beauty standards are, what underlies the existence of
beauty standards themselves, and how a beauty standard can influence a person
by using Hume's empirical philosophy as a theoretical basis. Furthermore, in
this scientific article, the author uses a qualitative approach as part of the
research method. All research results obtained by the author are obtained from
reading sources, such as books, journal articles, and selected essays which the
authors write using the author's understanding. It is hoped that, through this
scientific article, readers could gain new knowledge and insights related to
the theme raised by the author.
Keywords: beauty standards;
philosophy of empiricism; david hume
***
Zeina Syifana Barani
President of KOMAFIL UI 2022 | Undergraduate Philosophy Student at University of Indonesia
Dikatakan oleh Diotima[2] dalam pembicaraannya dengan Socrates, keindahan
atau kecantikan merupakan apa-apa yang telah diberikan sebagai sebuah
representasi objek dari sebuah keinginan, sehingga hal-hal indah dan hal-hal
terkait, serta konsepsi dan gagasan mengenai keindahan atau kecantikan itu
sendiri, semuanya pasti diinginkan. Menurut Diotima lagi, keindahan atau
kecantikan merupakan apa-apa yang diinginkan, yang kemudian disesuaikan dengan
standar yang ada di suatu wilayah tertentu.
Dengan kata lain, keinginan
yang tak tertahankan untuk memiliki hal-hal yang indah inilah yang kemudian
menjadi titik berangkat dalam menggapai gagasan kecantikan bersamaan dengan
kondisi yang diperlukan untuk menggapai gagasan atau konsepsi tersebut. Hal
inilah yang selanjutnya membuat keindahan atau kecantikan dipahami secara
berbeda-beda, tergantung pada waktu dan letak geografisnya. Selain itu,
keindahan atau kecantikan, dilansir dari artikel jurnal berjudul “The Fiction
of the Standard of Taste: David Hume on the Social Consitution of Beauty” yang
ditulis oleh Alessandra Stradella, diperkenalkan sebagai salah satu penyebab
dari semangat akan kebanggaan.
Lebih lanjut,
kecantikan merupakan apa-apa yang membuat seseorang bergairah dan memiliki
kesan tertentu dalam jiwanya. Kendati demikian, dalam artikel jurnal yang
ditulis oleh Stradella, hal ini kemudian mengarahkan pada pertanyaan yang harus
dipertanyakan, seperti “Apakah kecantikan bukanlah sesuatu yang nyata dan
berbeda dari kekuatan untuk menghasilkan kesenangan?” Pertanyaan ini yang
kemudian membuat kecantikan luput dari suatu definisi tertentu. Kendati
demikian, keindahan atau kecantikan dijelaskan dalam istilah sebagai sesuatu
yang memberikan kita kesenangan yang khas. Hal ini dikarenakan pada keindahan
atau kecantikan terdapat keteraturan dan konstruksi yang cocok untuk kepuasan
jiwa, baik oleh konsititusi utama dari sifat yang dimiliki, kebiasaan atau
dengan suatu tingkah laku.
Selain itu, keindahan
atau kecantikan, dikatakan oleh Hume, tidak lain merupakan suatu form yang
kemudian membentuk kesenangan. Seperti sebuah kausalitas, keindahan atau
kecantikan merupakan sesuatu yang biasa kita rasakan dan kita lihat secara
terus menerus, dikarenakan seperti yang pernah dikatakan Hume, keindahan atau
kecantikan bukan sekedar merupakan kesan semata saja. Kecantikan, lebih
tepatnya, merupakan hal-hal yang mengesankan kita. Pemikiran ini merupakan
titik berangkat yang berangkat secara bersamaan dengan suatu cara yang kemudian
meninggalkan kesan di benak kita sebagai seorang manusia.
Peninggalan kesan di
benak ini yang kemudian, menurut penulis, menciptakan standar-standar tertetu
terkait konsepsi atau gagasan kecantikan itu sendiri, sehingga hal ini kemudian
mengarahkan penulis pada keputusan untuk menulis terkait persoalan yang ada
secara lebih luas dan mendalam, di mana dalam tulisan ini, penulis akan
memberikan analisis singkat terkait kecantikan dan standar kecantikan yang
tercipta dengan menggunakan filsafat empirisme David Hume sebagai landasan
teori. Lebih lanjut, sebelum masuk ke pembahasan yang lebih luas, penulis akan
memaparkan terlebih dahulu mengenai persoalan-persoalan apa yang akan di bahas
dalam tulisan ini. Persoalan-persoalan tersebut mencakup:
a. Apakah
itu standar kecantikan?
b. Apa
yang kemudian mendasari eksistensi dari standar kecantikan itu sendiri?
c. Bagaimana
suatu standar kecantikan dapat mempengaruhi diri seseorang?
Persoalan-persoalan ini
yang kemudian akan menjadi pokok bahasan dalam analisis tekstual yang akan
penulis tulis. Sehingga, diharapkan pembahasan dalam analisis tekstual yang
akan ditulis tidak keluar dari tema dan judul yang diangkat oleh penulis yaitu,
“Analisis Standar Kecantikan Menggunakan Filsafat Empirisme Hume sebagai
Landasan Teori”.
Dengan menggunakan
metode penelitian kualitiatif, yang mana pada penelitian ini, penulis
menggunakan sumber bacaan seperti buku, artikel jurnal, esai pilihan, dan lain-lainnya
sebagai penunjang keberhasilan tulisan ini. Penulis berharap
persoalan-persoalan yang penulis angkat dan penulis teliti dapat memandu
pembaca ke dalam analisis tekstual dengan tema sedemikian rupa dalam melihat
persoalan-persoalan yang akan menjadi fokus utama penulis.
Penulis berharap
tulisan ini dapat memberikan pengetahuan yang baru dan menyegarkan terhadap
para pembaca terkait dengan tema yang diangkat oleh penulis. Namun, sebelum
masuk ke penjelasan yang lebih luas, penulis akan terlebih dahulu menjelaskan
dengan singkat siapa David Hume dan apa pemikirannya yang kemudian dijadikan
landasan teori oleh penulis pada analisis tekstual ini.
DAVID HUME DAN FILSAFAT EMPIRISME
David
Hume lahir pada tanggal 26 April 1711 di Edinburgh, Skotlandia. Tiga abad
setelah kelahirannya, Hume dikenang sebagai seorang pemikir yang memberikan
pengaruh besar, tidak hanya bagi perkembangan filsafat, tetapi juga bagi kita
dalam menangani bidang sosial, politik, dan ekonomi. Meski demikian, banyak
juga yang menganggap Hume berbahaya dikarenakan sifat skeptisnya yang dianggap
tidak bertanggung jawab. Namun, sebelum dikenang sebagai seorang pemikir yang
memberikan pengaruh besar, Hume juga merupakan seorang pelajar dan mendapatkan
pendidikan yang sangat baik semasa pendidikannya.
Tidak
puas dengan apa yang ia pelajari di Universitas Edinburgh, Hume kemudian
memutuskan untuk keluar dari universitas dan memilih pergi ke Perancis untuk
menjadi seorang filsuf besar dikarenakan ketertarikannya yang besar terhadap
filsafat dan pengetahuan. Di Perancis, ia pergi ke La Fleche di Anjon,
Perancis. Disanalah ia kemudian bertemu dengan Jesuit dari College of La Fleche
dan menghabiskan tabungannya untuk menuliskan salah satu karya tulisnya yang
terkenal yang berjudul “A Treatise of Human Nature” yang ia selesaikan saat
usianya memasuki angka ke-26. Karyanya ini kemudian dipublikasikan pada tahun
1744, yang kemudian disusul dengan penetapan Hume sebagai ketua Pneumatics dan
Moral Filsafat dan Moral di Universitas Edinburgh.
Kendati
demikian, posisi ini pada akhirnya diberikan kepada William Cleghorn,
dikarenakan pengajuan petisi yang diajukan oleh Menteri Edinburgh yang menuduh
Hume sebagai seorang ateis ke Dewan Kota. Lebih dari itu, Hume juga dituduh melakukan
sesuatu yang bid’ah dan pada akhirnya ia tidak pernah mendapatkan posisi
apapun. Namun, meski demikian, David Hume merupakan puncak dari empirisme,
suatu aliran yang bertolak belakang dengan aliran rasionalisme.
Seperti
yang telah kita ketahui, Hume sangat dipengaruhi oleh empirisis seperti John
Locke dan George Berkeley[3]. Empirisme sendiri merupakan suatu aliran filsafat yang
menyatakan bahwa seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Dengan
menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan, empirisme juga
dikenal sebagai aliran yang mengecilkan peranan akal dalam memperoleh
pengetahuan yang hakiki.
Secara
terminologis, terdapat beberapa pengertian mengenai empirisme itu sendiri,
seperti bahwa empirisme, di antaranya, merupakan sebuah doktrin yang percaya
bahwa sumber pengetahuan haruslah dicari dalam suatu pengalaman, pandangan
bahwa seluruh ide yang dimiliki merupakan suatu abstraksi yang telah dibentuk
dengan melakukan penggabungan terhadap apa-apa yang dialami, dan bahwa
pengalaman inderawi merupakan satu-satunya sumber pengetahuan.
Lebih
lanjut, pada empirisme, terdapat beberapa ajaran pokok yang kemudian menjadi
apa-apa yang dipegang teguh oleh mereka yang menganut paham ini. Ajaran-ajaran
pokok tersebut mencakup: (1) Pandangan bahwa dengan menggabungkan apa-apa yang
telah dialami dapat membentuk sebuah abstraksi yang kemudian menciptakan sebuah
ide atau gagasan; (2) Satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman
inderawi, bukan akal maupun rasio; (3) Pengetahuan yang kita miliki bergantung
pada data inderawi; (4) Semua kesimpulan yang diturunkan merupakan hasil dari
data inderawi, kecuali beberapa kebenaran yang sifatnya defisional logis dan
matematis; (5) Akal budi tidak dapat memberikan kita pengetahuan mengenai suatu
realitas; (6) Empirisme mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan, oleh karenanya empirisme dapat dikatakan sebagai filsafat
pengalaman[4].
Hume
sendiri melawan ajaran-ajaran rasionalitas tentang ide-ide bawaan dari tiga
pemikiran sebelumnya, yang kemudian membawa Hume pada skeptisisme yang
mendasari terkait hal tersebut. Dengan mengembangkan pandangan Hutcheson dan
menggabungkan empirisme Locke dan Berkeley, ia kemudian berpendapat bahwa
pengetahuan hanya didapat dari persepsi panca indera. Dari sanalah Hume
kemudian memulai pemikirannya yang kontroversial melalui penggabungan dua
konsep yang kemudian mengarahkannya pada pemikiran bahwa pengetahuan terbaik
kita yang adalah hukum ilmiah bukanlah apa-apa melainkan persepsi penginderaan
yang kemudian meyakinkan apa yang telah kita rasakan.
Dalam
bukunya yang berjudul “A Treatise of
Human Nature”, Hume mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan lainnya didasarkan
pada ilmu pengetahuan mengenai manusia. Sehingga, menurutnya, dengan
mempelajari ilmu tersebut, dapat menjadi sebuah proses pembelajaran dalam
mempelajari landasan dari segala pengetahuan manusia. Lebih lanjut, menurut
Hume, ide bawaan bukanlah sumber pengetahuan. Menurutnya, pengamatan persepsi penginderaanlah
yang merupakan sumber pengetahuan itu sendiri[5]. Hasil pengamatan dari persepsi penginderaan inilah
yang kemudian disebut sebagai impressions (kesan-kesan) dan ideas (ide-ide).
Dilansir
dari Brouwer (1986: 62), kesan merupakan sensasi, hasrat, dan emosi yang kita
rasakan seketika. Kesan, lebih jauh, merupakan sebuah hasil data dari proses
manusia dalam menyentuh, melihat, mendengar, menginginkan, bahkan mencintai dan
membenci dalam waktu yang terbilang singkat dan seketika, sedangkan gagasan
adalah salinan atau bentuk samar dari kesan. Letak perbedaan kesan dan gagasan
ini dapat dilihat dari kesan yang memiliki kekuatan dan kenampakan yang jauh
lebih besar, sebab sifatnya yang langsung berasal dari pengalaman saat itu
juga.
Sedangkan gagasan,
gagasan hanyalah bentuk gambaran dari kesan yang kita miliki terhadap sesuatu,
yang terdapat pada pemikiran, penalaran, dan pengingatan kita. Oleh karenanya,
semua pengalaman menurut Hume masuk kepada golongan penghayatan dan golongan
ide-ide. Lebih jauh, Hume juga menjelaskan terkait hubungan antara kesan dan
ide dengan menyatakan bahwa keduanya dapat dipandang dari segi simplisitas atau
kompleksitasnya yang kemudian dapat dibagi menjadi dua kategori.
Selanjutnya, penulis
juga menemukan bahwa Hume memiliki ketertarikan yang besar terhadap relasi
sebab dan akibat mengetahui hubungan sebab akibat terjadi sejak lama di alam
ini dan hal ini pun telah dibahas sejak lama dalam diskursus filsafat. Kendati
demikian, Hume menegaskan bahwa pendapat mengenai hubungan itu tidak benar dan
hubungan yang tidak benar ini didasari oleh sebuah kebingungan semata saja.
Menurutnya, seluruh peristiwa yang ada di kehidupan kita dan telah kita amati
tetap memiliki hubungan antara satu dengan yang lain, akan tetapi, hubungan ini
tidak dapat disebut sebagai sebuah kausalitas.
Hume menjelaskan bahwa
pendapat mengenai kausalitas atau hubungan sebab-akibat ini merupakan suatu
hubungan atas ide-ide yang dimiliki. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa ide
mengenai kausalitas ini tidak dapat diperoleh melalui persepsi, sebab
menurutnya, dengan suatu gejala tertentu yang disusul oleh gejala tertentu
cenderung membawa kita kepada pemikiran bahwa gejala yang satu disebabkan oleh
gejala yang sebelumnya. Pada akhirnya, Hume menegaskan bahwa pengalaman, apapun
bentuknya, jauh lebih memberi keyakinan terhadap sesuatu dibanding kepastian
logika atau kebenaran sebab-akibat. Menurut Hume, pengalamanlah yang memberikan
informasi lebih lengkap terkait objek yang langsung dan pasti yang diamati
sesuai waktu dan tempatnya.
Alasan penulis
menggunakan filsafat empirisme Hume dalam menganalisis persoalan yang akan
penulis tulis adalah karena persoalan yang akan penulis tulis sifatnya berdekatan
dengan pengalaman yang sifatnya dapat diamati dengan persepsi pengideraan.
Penulis juga percaya bahwa standar-standar yang ada, khususnya pada standar
kecantikan, lahir dari hasil pengamatan persepsi penginderaan kita terhadap
suatu hal yang kemudian akan penulis bahas lebih lanjut di bagian pembahasan.
PEMBAHASAN
Setelah
membahas David Hume dan pemikiran yang dimilikinya, tibalah saatnya kita ke
bagian yang akan membahas mengenai pokok-pokok persoalan yang telah ditentukan
di bagian pendahuluan sebelumnya. Pertama-tama, penulis akan memaparkan
terlebih dahulu terkait apa itu standar kecantikan dan penjelasannya.
Seperti
yang telah kita ketahui, sebagai manusia yang berbudaya, eksistensi kita tidak
terlepas dengan standar-standar yang ada seperti, kamu harus begini, dia harus
begitu. Standar kecantikan merupakan salah satunya. Di dewasa ini, kita sering
kali terpaku pada pemikiran bahwa sesuatu yang indah dan cantik adalah sesuatu
yang memiliki apa yang benar-benar kita sukai dan kita inginkan. Di Indonesia,
misalnya. Di Indonesia, seseorang akan dianggap indah atau cantik ketika ia
memiliki kulit yang cerah, tubuh yang ramping, dan kaki yang jenjang. Hal ini
yang kemudian menjadi standar kecantikan dari cantiknya cantik Indonesia itu
sendiri.
Meski
demikian, standar kecantikan yang dimiliki oleh orang Indonesia ini tidak
muncul begitu saja. Standar kecantikan yang ditetapkan ini berasal dari
pengalaman orang Indonesia yang telah dijajah selama ratusan tahun oleh koloni
Belanda dan seperti yang telah kita ketahui, dengan hidup bersampingan dengan
koloni Belanda pada masa-masa tersebut membuat Indonesia hanya melihat koloni
Belanda sebagai suatu standar untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik,
mengetahui koloni Belanda meninggalkan begitu banyak kesan pada orang
Indonesia.
Salah
satu kesan yang ditinggalkan oleh Koloni Belanda ialah kesan terkait definisi
cantik yang kemudian melekat pada persepsi orang Indonesia, seperti kulit yang
putih cerah dan tubuh yang ramping. Namun demikian, hal ini tentunya sulit
untuk didapatkan oleh orang Indonesia, dikarenakan pada dasarnya orang
Indonesia tidak memiliki ras yang sama dengan orang-orang Belanda pada saat
itu. Akan tetapi, hingga sekarang, hal ini tetap menjadi suatu standar untuk
mendefinisikan keindahan dan kecantikan di kalangan masyarakat Indonesia.
Tidak
hanya di Indonesia, beberapa negara lain juga memiliki standar kecantikannya
masing-masing. Seperti di Australia, misalnya. Masyarakat Australia menyukai
tampilan wajah yang segar dan bercahaya. Oleh karenanya, masyarakat Australia
suka berjemur untuk mendapatkan tampilan yang diinginkan. Kemudian, beralih ke
Perancis, warga Perancis menyukai tampilan yang bold namun terkesan
natural, sehingga ketika menggunakan riasan, warga Perancis lebih suka
menggunakan riasan yang tipis dengan bibir yang merah untuk memberikan kesan
yang lebih tegas.
Jika
dibahas dan diperdalam satu persatu, kita kemudian mengetahui bahwa tiap-tiap
negara memiliki standar kecantikan yang berbeda-beda dan standar kecantikan
inilah yang membuat seseorang mau melakukan apa saja untuk mencapai gagasan
atau konsepsi terkait kecantikan tersebut. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa
standar kecantikan merupakan apa-apa yang disukai dan diinginkan untuk dimiliki
oleh seseorang di dalam atau bahkan di luar diri mereka sendiri. Lebih lanjut,
standar kecantikan juga merupakan gagasan yang telah dibangun dalam lingkup
sosial, yang kemudian menjadi sesuatu yang terus dipertahankan dan diupayakan[6]. Tidak hanya oleh perempuan, tetapi oleh siapapun yang
percaya dengan gagasan atau konsepsi terkait kecantikan yang ada.
Lalu,
apa yang kemudian mendasari eksistensi dari standar kecantikan itu sendiri?
Jika ditelaah menggunakan filsafat empirisme Hume, standar kecantikan merupakan
hasil dari pengamatan persepsi penginderaan yang selama ini diamati oleh kita
sebagai manusia. Benar bahwa standar kecantikan merupakan perwujudan dari
apa-apa yang kita sukai dan kita inginkan, kendati demikian, standar kecantikan
juga merupakan sebuah gagasan yang turun dari kesan yang kita dapati dari
pengalaman yang kita miliki.
Seperti
pada contoh, warga Indonesia yang telah dijajah selama ratusan tahun, misalnya.
Dari penjajahan yang dilalui selama ratusan tahun, warga Indonesia kemudian
mendapatkan pengalaman-pengalaman yang kemudian melahirkan kesan-kesan seperti,
“Wah, perempuan Belanda cantik-cantik, ya! Kulit mereka putih, tubuh mereka
ramping, dan mata mereka indah.” Dari kesan yang didapati inilah kemudian turun
sebuah gagasan terkait seperti apa kecantikan yang sebenarnya.
Sehingga, eksistensi
dari standar kecantikan ini lahir dari kesan-kesan yang dimiliki oleh orang
terhadap suatu hal dan penulis meyakini bahwa perolehan kesan yang kemudian
menjadi sebuah gagasan tidak hanya berlaku pada standar kecantikan semata saja,
mengetahui sebagai manusia, semakin banyak pengalaman yang kita miliki, maka
semakin banyak pula kesan yang kita dapati yang kemudian melahirkan
gagasan-gagasan dan konsepsi baru.
Setelah
mengetahui definisi terkait apa itu standar kecantikan dan apa yang sebenarnya
mendasari eksistensi dari standar kecantikan itu sendiri, penulis kemudian akan
membahas bagaimana standar kecantikan dapat mempengaruhi diri seseorang.
Seperti yang telah kita ketahui, di era modern seperti ini, kita terbiasa
dihadapkan dengan standar kecantikan dan gambaran yang tidak realistis terkait
definisi cantik yang sesungguhnya. Hal ini kemudian dapat memengaruhi tiap-tiap
individu secara berbeda-beda.
Untuk
sebagian orang, standar kecantikan dapat menjadi sesuatu yang kemudian
memotivasi mereka untuk terlihat sedemikian rupa dan memberikan mereka
kepercayaan lebih terhadap diri mereka sendiri. Untuk sebagiannya lagi, standar
kecantikan ini kemudian menjadi suatu tekanan bagi diri mereka, di mana mereka
merasa harus memenuhi standar yang ada, yang pada akhirnya memengaruhi
kesehatan mental mereka sebagai seorang individu, terlebih mengetahui kesehatan
mental adalah kesehatan yang turut perlu diperhatikan, di samping kesehatan dan
keindahan fisik yang dimiliki.
Lebih
jauh, dengan adanya standar kecantikan yang ditetapkan oleh suatu masyarakat,
tidak jarang dapat membuat seseorang mudah membanding-bandingkan dirinya dengan
orang lain yang telah memenuhi standar kecantikan yang ada. Jika dilihat dari
filsafat empirisme Hume, hal ini berkaitan dengan impression (kesan).
Ketika seseorang memiliki kesan terhadap sesuatu, seseorang kemudian akan
menciptakan gagasan dari kesan tersebut. Kendati demikian, kesan dan gagasan
yang ditimbulkan tidak melulu merupakan hal-hal yang baik. Di beberapa
kesempatan, seseorang cenderung mendapatkan suatu kesan yang kemudian
menimbulkan gagasan yang buruk, entah bagi dirinya sendiri atau orang lain
sebagai pengamat persepsi penginderaan.
Tidak
hanya membuat seseorang mudah membanding-bandingkan dirinya setelah mendapatkan
suatu kesan tertentu, standar kecantikan juga cenderung membuat seseorang rela
melakukan apa saja untuk mencapai gagasan atau konsepsi yang ada terkait
kecantikan itu sendiri. Seperti di Jepang, orang-orang di Jepang dapat dibilang
cukup menyukai gigi gingsul. Sehingga, tidak heran apabila mereka
melakukan Yaeba, sebuah prosedur menambahkan gigi di atas gigi asli untuk
membuatnya terlihat seperti gigi gingsul.
Hal-hal
seperti itulah yang kemudian membuat standar kecantikan tidak melulu memberikan
kesan yang baik terhadap diri seseorang, dan meskipun setiap orang
memiliki state of mind yang berbeda-beda terkait gagasan atau
konsepsi mengenai kecantikan itu sendiri. Menurut penulis, standar kecantikan
yang ada hingga kini masih sangat tidak realistis dan sering kali menghancurkan
mental seseorang.
KESIMPULAN
Setelah
melakukan penelitian serta penulisan analisis tekstual mengenai standar
kecantikan menggunakan filsafat empirisme David Hume sebagai landasan teori
dengan menggunakan pemahaman penulis terhadap berbagai sumber bacaan, penulis
kemudian sampai pada tahap kesimpulan analisis. Pada tahap kesimpulan analisis
tekstual ini, penulis akan membahas dan menulis ulang terkait poin-poin penting
yang telah penulis bahas di tahap sebelumnya, yaitu pembahasan, dan
menyimpulkannnya sehingga menjadi suatu kesimpulan yang utuh.
Pertama,
mengenai apa itu standar kecantikan. Pada akhirnya kita mengetahui bahwa
standar kecantikan merupakan apa-apa yang telah dikonstruksi secara sosial,
yang kemudian diupayakan dan terus dipertahankan. Dengan adanya standar
kecantikan, maka orang-orang kemudian mendapatkan gagasan yang berisikan
gambaran terkait kesan terhadap kecantikan itu sendiri. Lebih jauh, standar
kecantikan tidak semata-mata hadir begitu saja. Secara garis besar, dengan
ditelaah menggunakan filsafat empirisme Hume, eksistensi gagasan kecantikan ini
berasal dari kesan yang dimiliki oleh seseorang, yang kemudian turun menjadi
sebuah gagasan atau konsepsi yang akhirnya menggambarkan dan mendefinisikan
kecantikan itu sendiri
Meski
pada akhirnya, gagasan ini berakhir di pemikiran kita, akan tetapi gagasan
inilah yang kemudian menjadi tolak ukur sesorang dalam melihat keindahan atau
kecantikan yang ada dan mengetahui standar kecantikan tidak melulu merupakan
standar yang realistis, standar kecantikan sangat berpengaruh terhadap diri
seseorang dan di dewasa ini, standar kecantikan yang ada kebanyakan
menghasilkan pengaruh yang buruk bagi diri seseorang.
Dari
seluruh analisis tekstual di atas, penulis kemudian dapat menyimpulkan bahwa
selain mudah dipahami, filsafat empirisme Hume juga sangat berguna untuk
dijadikan sebagai landasan teori dalam menganalisis suatu persoalan tertentu.
Filsafat empirisme Hume juga memberi tahu kita bahwa kesan memiliki peranan
penting dalam suatu pengalaman, yang pada akhirnya melahirkan gagasan-gagasan
penting yang kemudian dapat terus diuji, diprediksi, diukur, dan diobservasi
kebenarannya.
DAFTAR PUSTAKA
___.
(2018). The Standard of Beauty: A
dangerous ideal. Dalam The Beacon: The news of today reported by the
journalists tomorrow. Diakses pada 12 November 2020 dari https://www.thewilkesbeacon.com/opinion/2018/10/30/the-standard-of-beauty-a-dangerous-ideal/.
Cahn,
Steven M.,. (2009). Exploring
Philosophy: An Introductory Anthology. New York: Oxford University Press.
Harris,
James. (2011). DAVID HUME: 300 YEARS ON.
Dalam RSA Journal, Vol. 157, No. 5546, 42-45. London: Royal Society
for the Encouragement of Arts, Manufactures and Commerce.
M.
A. W. Brouwer, dan M. P. Haryadi, 1986, Sejarah
Filsafat Modern dan Sezaman, Bandung: Pt. Alumni.
Mills,
Jennifer S., Shannon, Amy., Hogue, Jacqueline. (2017). Beauty, Body Image, and the Media.
Diakses pada 13 November 2020 dari
https://www.intechopen.com/books/perception-of-beauty/beauty-body-image-and-the-media.
Poedjawijatna. (1997). Pembimbing ke Arah Filsafat, cet. 10.
Jakarta: Rineke Cipta.
Skolnick,
Sam. (2020). Modern beauty standards
and their effects on society. Diakses pada 13 November 2021 dari https://theinkblotnews.com/10701/opinion/modern-beauty-standards-and-their-effects-on-society/.
Stradella,
A. (2020). The Fiction of the Standard of
Taste: David Hume on the Social Constitution of Beauty. The Journal of
Aesthetic Education, Vol. 46, No. 4, 32-47. Illinois: University of Illinois
Press.
Zistakis,
A. (2019). Beauty and Desire Ancient and
Modern. Dalam L. Reid, Heather & Leyh, Tony, Looking at Beauty to
Kalon in Western Greece: Selected Essays from the 2018 Symposium on the
Heritage of Western Greece. Fonte Aretusa: Parnassos Press.
[1] Dipetik dari esai terpilih karya Alexander
Zistakis, yang berjudul “Beauty and
Desire Ancient and Modern”. (2020, Oktober 30). Esai ini dipublikasikan di
buku yang berjudul “Looking at Beauty to Kalon in Western Greece: Selected
Essays from the 2018 Symposium on the Heritage of Western Greece”. Lebih
lanjut, lihat: https://www.jstor.org/stable/j.ctvcmxpn5.23.
[2] Diotima merupakan filsuf dan imam perempuan pada
sekitar 440 tahun Sebelum Masehi yang memainkan peranan penting di Simposium
Plato. Ia dikenal dengan idenya yang sebagian besar merupakan konsep asli dari
cinta yang platonik. Kendati demikian, keberadaannya sempat diragukan
dikarenakan satu-satunya sumber kontemporer tentangnya hanya berasal dari
Plato.
[3] John Locke merupakan seorang filsuf asal Inggris yang
pemikiran utamanya berada pada pendekatan empirisme. Selain aktif di bidang
filsafat politik, ia juga dikenal sebagai filsuf yang mewakili negara-negara
liberal. Berbeda dengan Locke yang merupakan filsuf liberal, George Berkeley
merupakan seorang filsuf asal Irlandia yang juga menjabat sebagai uskup di
Gereja Anglikan. Ia pun tergolong sebagai salah satu filsuf empirisme asal
Inggris yang mengembangkan suatu pandangan terkait pengenalan visual mengenai
jarak dan ruang.
[4] Lebih lanjut, lihat: Poedjawijatna, 1997, dalam “Pembimbing ke arah Filsafat”, cet. 10.
Jakarta: Rineke Cipta.
[5] Dipetik dari karya Steven Cahn yang berjudul, “Exploring Philosophy: An Introductory
Anthology” yang diterbikan pada tahun 2009 oleh Oxford University Press di
New York.
[6] Dikutip dari laman The Beacon: The news of today reported by the journalist
tomorrow dalam artikelnya yang berjudul The Standard of Beauty: A
dangerous ideal. Lebih lanjut, lihat di:
https://www.thewilkesbeacon.com/opinion/2018/10/30/the-standard-of-beauty-a-dangerous-ideal/.