Potret Kehidupan Nyata (Suara Anak Kampung)
Seorang
anak kecil
Duduk bersama ibunya di tengah perkotaan yang ramai
Ibunya memberi cerita pada banyangan malam gelisah
Beralaskan tikar yang kusang
Di temanani jutaan manusia mengelilingi perkotaan
Wajah yang lesu dan sang anak yang terlihat murung
Menambah kisah jutaan anak yang putus harapan
Di kala ibunya memberi arti atas kekejaman bangsa ini
Sang anak hanya melihat pijakan tugu yg kokoh di pusat ibu kota
Serta ribuan anak manusia berpose di bawa lampu jalanan
Ibu tak berucap apa apa memberi isyarat pada anaknya
Bahwa kelak engkau memgerti betapa kejam terlahir dari kehidupan di jalanan.
Malam makin dingin
Langit makin cerah
Purnama di langit ikut terjatuh ke dalam kalbu
Ibu dan dua anaknya masih termanggu
Mata yangg mulai santun namun mulai menggantung
Di langit kelopak mata yang lelah
Anaknya meratapi dan memeluk sendiri badannya agar tak masuk angin malam
Sunyi menyapa seakan penuh lapar
Sang ibu membaca wajah seribu umat tampa balas kasih
Adakah yg sudi datang untuk menyapa
Memberikan kenangan dengan bungkusan nasi
Sang
ibu memeluk anaknya
Berbisik sambil melangkah
Menuju pengembaraan
Mencari makna dari hakekat hidup yg sebenarnya
Kejam dan kejam orang-orang tak memperdulikan apa yg
sebenarnya terjadi.
Bermil-mil
jauh peradaban
berpeluh dan bergeluh
menatap beban diperban
adakah harapan di tanah Pertiwi?
Tak mampu menahan langkah
ingat mama punya pesan;
pergilah kau bersekolah
sio, anak kampung harus maju!
Ah, ada lagi yang ingin kami ceritakan pada senja
pada lembar-lembar sajak yang belum sempat kami beri judul pun pada syair lagu
yang belum sempat kami nyanyikan di atas punggung kerbau, sapi dan kuda adalah
kami, anak-anak pelosok yang merindu kasih bocah-bocah malang yang mengejar
matahari dari bawah lembah-lembah bukit, menuju puncak-puncak gunung berapi.
Oh nasib, oh duka, oh dusta !_ adalah kami, anak-anak pelosok yang baru pulang dari sawah dan kebun, bocah-bocah dekil yang gemar mengembala hidup dan besar di hutan-hutan lalu mati di pinggir pantai, entah.
Oh nasib, oh duka, oh dusta !_ adalah kami, anak-anak pelosok yang tak biasa
memakai sandal, tak pula senang memakai topi bocah-bocah petualang yang
menjadikan alam sebagai sahabat bagi kami, deras hujan dan panas matahari sudah
jadi saudara :oh nasib, oh duka, oh dusta !_ dan lihatlah, kedua kaki kami
ketika kami berjalan di tanah yang bercak yang sesekali melompat dari batu yang
satu ke batu yang lain pun ketika kami berlari di antara tebing-tebing yang
menjulang.
Oh nasib, oh duka, oh dusta !_ dan lihatlah, kedua
tangan kami begitu pawainya memainkan tali sapi dan kerbau peliharaan bapak
sambil meniup seruling bambu yang sesekali kami gunakan untuk menggaruk kulit
kami yang gatal :oh nasib, oh duka, oh dusta !_ dan lihatlah, dua bola mata
kami yang tiap hari disuguhi tontonan asing yang barangkali sudah lama kalian
ingin di butakan namun, mata ini masih bercahaya meski kalian kirim gelap di desa-desa
kami.
Oh nasib, oh duka, oh dusta !_ maka ketahuilah, kami
akan terus bermain di pinggir kali kami akan terus bermimpi dari balik lembah
kami akan terus berlari ke atas puncak bukit itu dan kelak, kami yakin bisa
mencapai matahari atau paling tidak, kami bisa memetik bulan walau pun bintang
sudah kalian borong.
Oh nasib, oh duka, oh dusta !_ maka ketahuilah, di
antara api unggun yang kalian buat kami disini sudah mempersiapkan hujan untuk
kalian suatu saat nanti, kami akan tumpahkan hujan kami itu agar api kalian
padam kami akan mengajarkan kalian bagaimana air menghadapi api meski pun
kalian selalu melihat api mendidihkan air.
Oh nasib, oh duka, oh dusta !_ maka ketahuilah, kami
anak-anak pelosok kami bocah-bocah malang layaknya rumput, suatu saat nanti
kami akan tumbuh di halaman rumah kalian pun seperti ombak, suatu saat nanti
kami akan datang memecah tembok rumah kalian agar kalian tahu, rumput dan ombak
kadang tak bersahabat:oh nasib, oh duka, oh dusta