Ilustrasi. Warga memilih kain tenun ikat di Pasar Alok, Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar) |
Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kemendikbudristek M Abdul Khak menuturkan NTT merupakan provinsi
ketiga di Indonesia dengan jumlah bahasa daerah terbanyak.
Dari 718 bahasa daerah
yang ada di Indonesia, 72 di antaranya berasal dari NTT.
"Revitalisasi ini
merupakan upaya untuk mencegah bahasa daerah punah terlalu, dan nilai-nilai
kebahasaan tersebut masih dapat diketahui dan digunakan oleh generasi
berikutnya," kata Khak dikutip dari laman resmi Kemendikbud, Rabu (29/6).
Lima bahasa tersebut
yakni bahasa Dawan, bahasa Manggarai, bahasa Kambera, bahasa Rote, dan bahasa
Abui.
Alasan lima itu akan
revitaliasasi karena menurut Kemendikbudristek sudah masuk kategori
bahasa yang mengalami kemunduran, terancam punah, dan berada dalam kondisi
kritis.
Khak juga menyampaikan
ada empat tujuan akhir dari revitalisasi bahasa daerah. Pertama, penutur muda
diharapkan dapat menjadi penutur aktif bahasa daerah.
"Dan pada
gilirannya memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa daerah dengan penuh suka
cita melalui media yang mereka sukai," ujar Khak.
Kedua, menjaga
kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah. Ketiga, menciptakan ruang
kreativitas dan kemerdekaan bagi penutur bahasa daerah untuk mempertahankan
bahasanya. Keempat, yakni menemukan fungsi dan ranah baru dari sebuah bahasa
dan sastra daerah.
Menurut Kepala Kantor
Bahasa NTT Elis Setiati revitalisasi bahasa daerah merupakan upaya pelestarian
dan pengembangan bahasa daerah melalui pewarisan bahasa daerah kepada generasi
muda untuk mendorong penggunaannya dalam komunikasi yang beragam.
"Kita ingin daya
hidup bahasa daerah tersebut berada pada taraf aman dan ditransmisikan dengan
baik," katanya.
Ia menambahkan, sasaran
peserta Revitalisasi Bahasa Daerah untuk tahun 2022 dan 2023 dikhususkan untuk
siswa pada usia SD dan SMP. *** cnnindonesia.com