Dalam pelaksanaannya
begitu mendetail keterkaitan antara pihak-pihak yang terkait dalam
pelaksanaannya. Sehingga, perlu ketelitian dari tiap calon pemilih dalam
menilai calon pemimpin yang akan dipilihnya tersebut. Namun pilkades terasa
lebih spesifik dari pada pemilu-pemilu di atasnya. Yaitu adanya kedekatan dan
keterkaitan secara langsung antara pemilih dan para calon. Sehingga, suhu
politik di lokasi sering kali lebih terasa dari pada saat pemilu pemilu yang
lain. Pengenalan atau sosialisasi terhadap calon-calon pemimpin bukan lagi
mutlak harus lagi penting. Para bakal calon biasanya sudah banyak dikenal oleh
setiap anggota masyarakat yang akan memilih. Namun demikian sosialisasi program
atau visi misi sering kali tidak dijadikan sebagai media kampanye atau
pendidikan politik yang baik. Kedekatan pribadi, akan sering kali banyak
dipakai oleh masyarakat untuk menentukan pilihannya. Di sini unsur nepotisme
masih begitu kental membudaya. Demikian juga dengan kolusi, hubungan baik dalam
berbagai posisi juga banyak dijadikan sebagai unsur penentuan hak pilih.
Demikian juga dengan unsur Money politik yang sering dijadikan iming-iming
dorongan dalam pemilihan. Hal demikian akan menjadikan para calon harus
mengeluarkan biaya yang begitu besar. Persaingan antar calon sering kali juga
terjadi dengan berlebihan. Kalau demikian ini yang terjadi usaha penghapusan
KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme ) akan terasa sulit diwujudkan. Di sini
pendidikan politik perlu dikembangkan. Kerelaan berkorban untuk kepentingan
desa yang juga merupakan bagian dari bangsa dan negara ini tentu perlu
diwujudkan. Tidak semua pengorbanan harus diukur dengan kontribusi uang. Kalau
budaya maney politik di tingkat desa bisa dikikis, tentu sedikit demi sedikit
di tingkat yang lebih atas hingga pemilihan presiden akan dapat diwujudkan
proses pemilihan pelaksana pemerintahan yang jujur dan adil.
Pilkades merupakan
bagian dari proses kegiatan politik untuk memperkuat partisipasi masyarakat.
Sehingga diharapkan akan terjadi perubahan yang signifikan di tingkat pedesaan.
Semula kita hanya mengenal pesta demokrasi secara langsung berupa Pilkades ini.
Sehinga pelaksanaannya banyak keluar dari etika dan norma politik. Money
politic dengan berbagai bentuknya sulit sekali dihindari. Kemudian sejak era
reformasi masyarakat dibudayakan dengan pemilihan pimpinan dengan cara
pemilihan langsung. Dengan adanya pilkada di harapkan masyarakat dapat terlatih
untuk peduli kepada pemimpinnya, serta sadar terhadap apa, siapa, dan bagaimana
pemimpin yang akan di pilih nanti.
Hal yang menarik
menjelang pilkades saat ini yakni adanya isu putra daerah. Akhir-akhir ini
putra daerah dirasa menjadi salah satu syarat pendukung yang perlu dimiliki
oleh seorang calon pemimpin desa. Sehingga tidak mengherankan jika seorang
calon kepala desai menambahkan keterangan putra daerah pada setiap kampanyenya.
Berdasarkan dari fenomena tersebut maka perlu pemikiran secara jernih tentang
apa arti dari putra daerah itu sendiri. Apakah yang dimaksud dengan putra
daerah adalah penduduk asli dari desa setempat.
Menurut Eep Saefullah
Fatah dalam salah satu kolom politiknya, ada 4 jenis dari defenisi putra
daerah, yakni pertama, putra daerah geanologis atau biologis, yaitu seseorang
yang dilahirkan dari daerah tersebut. Kategori ini dibagi menjadi, yakni
seseorang yang dilahirkan di desa tersebut yang salah satu atau kedua orang
tuanya berasal dari desa tersebut dan mereka yang tidak lahir di desa tersebut
tapi memiliki orang tua yang berasal dari desa tersebut. Putra daerah ini
terlintas hanya memiliki kepentingan pragmatis dengan daerah asalnya. Mereka
menggunakan daerah hanya sebagai basis pemenuhan kepentingan politik dan
ekonomi mereka sendiri. Namun sebaliknya daerah itu pun sedikit banyak
memperoleh keuntungan politik dan ekonomi dari mereka. Keempat, yakni putra
daerah sosiologis, yaitu mereka yang bukan saja memiliki keterkaitan genealogis
dengan daerah tersebut tetapi juga hidup, tumbuh, dan besar serta berinteraksi
dengan masyarakat daerah tersebut. Mereka menjadi bagian sosiologis dari daerah
tersebut.
Dalam pemilihan
pemimpin desa yang harus diutamakan ialah tentang kapabilitas dari
calon-calon pemimpin tersebut. Suatu desa tidak hanya dapat dipimpin oleh pemimpin
yang bermodalkan kefiguritasan namun cacat secara intelektual, moral dan
sosial. Pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat sekarang yakni seseorang
memiliki akseptabilitas namun ditunjang oleh moral yang baik, memiliki
kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing masyarakatnya dan juga
memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas administratif dan
perpolitikan, serta memiliki wawasan yang luas dan pandangan yang luas terhadap
perbaikan masyarakat. ***
Penikmat Jalan Setapak