“Sedekah” politik
adalah istilah yang digunakan untuk menyebut praktek politik uang (money
politics) dalam rangka membeli suara yang dilakukan oleh satu atau beberapa
orang untuk memenangkan calon yang bakal menduduki posisi sebagai pemenang
kontestasi politik. “Sedekah” politik umumnya menyasar kelompok masyarakat
menengah ke bawah dan kerap terjadi menjelang pemilihan.
Kenapa masyarakat menengah ke bawah?
Beberapa hasil kajian
yang dilakukan oleh Ismawan, 1999; Rifai, 2003; Eko, 2004; Agustino, 2009;
Sahab, 2015; Rusham, 2015; Irawan, 2015; Hasunacha 2016; dan KPU Bandung Barat,
2017 menyebutkan bahwa faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi terjadinya
praktik money politics adalah faktor kemiskinan, faktor rendahnya
pengetahuan masyarakat tentang politik dan faktor kebudayaan.
Kemiskinan
Sebagaimana kita
ketahui, angka kemiskinan di Indonesia cukup tinggi. Kemiskinan adalah keadaan
dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan,
pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat
disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses
terhadap pendidikan dan pekerjan. Kondisi miskin tersebut seperti memaksa dan
menekan sebagian masyarakat untuk segera mendapat uang dan/atau barang. Money politic pun menjadi ajang
masyarakat untuk memperebutkan hal tersebut dan menganggapnya sebagai
“sedekah”. Mereka yang menerima “sedekah” terkadang tidak memikirkan
konsekuensi yang akan diterima yaitu, tindakan suap dan jual beli suara yang
jelas tidak dibenarkan dan mencederai demokrasi. Dibenak mereka yang terpenting
adalah mendapat uang dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Rendahnya Pengetahuan Masyarakat
Tentang Politik
Tidak semua orang tahu
apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan dari politik.
Itu semua bisa disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik di
sekolah-sekolah ataupun masyarakatnya sendiri yang memang acuh terhadap politik
di Bojonegoro. Sehingga ketika ada pesta politik ditingkat desa, seperti
pilihan Kepala Desa, masyarakat tersebut akan bersikap acuh terhadap sakralnya
sistem demokrasi. Hal tersebut dibuktikan dengan kondisi masyarakat saat ini
masih banyak yang tidak peduli terhadap track record si calon. Tidak
mengenal calon, tidak masalah. Tidak tahu calon Kepala Desa, tidak masalah.
Bahkan mungkin, tidak ikut menggunakan hak pilihnya pun tidak masalah.
Kebudayaan
Se
ne taman batar nia nee soi, Siapa yng
menanam jagung dia akan memanen, demikian filososi orang Malaka yang sampai
saat ini sebagian mayarakat desa masih sering menyalah artikan dalam paktik
politik. Dalam konteks tersebut masyarakat menganggap siapa yang memberi
“sedekah” maka dia yang akan menerima suara sebagai bentuk imbal balik, tanpa
mereka sadari bahwa mungkin para kontestan tersebut bisa jadi juga menganut
paham yang sama, bahwa saat calon tersebut “bersedekah” maka suatu saat calon
tersebut juga akan menuai hasil “sedekah”nya saat terpilih nanti, bahkan bisa
jadi dengan cara yang tidak layak. Misalnya adanya niatan kontestan yang
memberikan “sedekah” tersebut dengan maksud mengambil kembali apa yang dia
berikan dari dana desa yang saat ini semakin besar nominalnya. Hal tersebut
terbukti dengan adanya banyak kades yang tersangkut kasus korupsi dana desa
sebagaimana banyak diberitakan di berbagai media.
Selain itu, sampai saat
ini “sedekah” politik selalu menjadi tranding topic, kebanyakan masyarakat
selalu beranggapan bahwa jika saatnya masuk masa pilkades, maka itulah masa
utuk bersiap-siap menerima “sedekah”, dan orang yang banyak memberi “sedekah”
dialah yang pantas untuk dipilih. Begitu juga dengan persepsi calon kades yang
beranggapan bahwa saat memutuskan untuk mencalonkan diri maka harus ber
“sedekah”. Kondisi seperti ini menyebabkan semakin gencarnya gerakan
“sedekah” masal dalam pilkades.
Bentuk pencegahan yang bisa
dilakukan
“Sedekah” bisa terjadi
jika pihak-pihak terkait sepakat untuk melakukannya, baik secara sadar
maupun tidak. Ada yang memberi dan ada yang menerima. Oleh karenanya “sedekah”
seharusnya dapat dicegah dengan berbagai macam tindakan. Pertama, dengan
gerakan dan seruan moral dari orang-orang yang disegani, misal tokoh agama dan
tokoh masyarakat yang dituakan di desa tersebut untuk menolak politik uang
dalam kondisi apapun. Kedua, perlu adanya upaya membangun kesadaran masyarakat
terkait fungsi, dampak dan mafaat politik sehingga masyarakat dapat memahami
makna politik yang sebenarnya. Ketiga, perlu adanya regulasi yang
mengatur tentang money politics dalam pilkades, sehingga para calon
dapat memahami dan mematuhi aturan tata tertib sistem pikades dan masyarakat
juga dapat menggunakan hak pilihnya secara sadar dan tanpa adanya tendensi.
Untuk kampanye, para calon dapat berlomba-lomba mengambil hati masyarakat
dengan cara melakukan kegiatan yang berfaedah, lebih mengutamakan dan
memperhatikan visi misi dan program kerja calon yang akan dilakukan selama 6
tahun kedepan sehingga program percepatan pembangunan infrastruktur dan SDM
yang berkualitas di desa dapat tercapai.