Persepsi akar rumput
tentang politik pun berubah dari politik yang konotatif dengan tipu-tipu
menjadi identik dengan adu Rupiah. Dari Ibu Kota yang kita pelajari adalah
‘dalam uang kita bersaudara’. Perbedaan ras, agama, golongan menjadi
terjembatani dengan uang. Visi dan praktek politik berubah wajah dalam bentuk
pragmatis dan oportunistik radikal.
Dunia politik kemudian
semakin dipersepsikan sebagai wilayah kotor, penuh intrik dan perbuatan licik
yang dengan uang mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara, sangat
berorientasi pada kepentingan kelompok modal sehingga dalam ranah tersebut yang
dikenal adalah strategi eksploitasi abadi.
Dalam kapitalisme pasar
yang dianut saat ini, akar rumput juga sibuk berdebat menghitung modal politik
si A atau si B yang berasal dari keluarga feodal atau pun pejabat yang baru
menjual tanah sekian puluh milyar sebagai modal kontestasi politik.
Pelajaran dari
gelanggang politik saat ini memperlemah sendi-sendi demokrasi akar rumput.
Rakyat dalam kemeleratan dan kemiskinannya sibuk berdebat soal berapa besar
uang yang dipunya si A dan si B. Dan seolah-olah paling besar uangnya yang akan
menentukan kesuksesan memimpin kedepan.
Tentu, bicara tentang
pertarungan politik tidak bisa dipisahkan dari biaya politik. Tetapi
bertarung secara all-out dengan meniscayakan money politic membuat
politik kehilangan makna.
Malaka Yang Berjalan di
Tempat
Malaka membutuhkan
perubahan. Banyak calon berkualitas menghendaki perubahan tetapi tanpa kekuatan
dana. Di satu pihak, kemiskinan dan ketimpangan menyulitkan aksi kolektif.
Kelas menengah yang terbentuk dalam satu dekade terakhir tidak mampu menyatukan
diri dalam sebuah jejaring ideologis yang bisa dimobilisasikan. Situasi ini
disenangi para pedagang politik yang mengusai atau mampu membayar partai
politik.
Banyak orang muda
menjadi jenuh dan jengkel dengan realitas nyata berpolitik yang tenggelam dalam
urusan masing-masing dan tidak mau campur dalam urusan politik. Seolah-olah
mengorbankan waktu bersama-sama dalam sebuah gerakan perubahan adalah
kesia-siaan.
Pada dasarnya manusia
adalah makhuk yang relational dan resiprokal (timbal balik). Dalam konteks
politik borjuasi kondisi ini tampak nyata dan lebih mudah mengajak
orang terlibat didalamnya, dengan imbalan jabatan, uang, proyek dan sebagainya
ketimbang mengajak orang berjuang bersama demi kehidupan bersama yang lebih
baik.
Esensi politik yang
adalah etika melayani dan memperjuangkan ketidakadilan. Tetapi yang menjadi
perubahan radikal saat ini terjadi pada kualitas pertanyaan akar rumput soal
pilkada.
Akar rumput kita tidak
lagi bertanya ”apa cita-cita besar si politisi?, atau ”kenapa katong harus
dukung dia, programnya apa? ”agenda perubahannya seperti apa?” Realitasnya
menjadi terbalik: politik semakin mengawinkan primordialisme (“dia orang (suku)
apa? dia agama apa?) dengan uang (Dia kuat ko?, dia modal berapa?).
Demokrasi dapat
berjalan baik jika ada rasa tanggung jawab. Agenda pendidikan politik terhadap
warga akar rumput mandek total. Perginya para donor internasional membuat
masyarakat sipil kelimpungan sumberdaya dan menjadikan para aktivis berlindung
di bawah ketiak pemodal yang setiap waktu agresif menyandra pesta-pesta
demokrasi yang mahal ini menjadi kemenangan modal.
Kembalikanlah politik
yang pada hekekatnya adalah partisipasi warga yang dengan kesadaran diikut
sertakan dalam sebuah proses politik dan dalam membangun sebuah sistem demi
kesejahteraan bersama. Menjadikan rakyat sebagai pusat dari semua kontestasi
politik yang dibasiskan pada kontestasi agenda demokrasi ekonomi. Jangan
membiarkan kontestasi politik menjadi kontestasi modal.
Politik adalah
pertempuran antara keyakinan (ideologi) yang kemudian berwujud dalam kebijakan
publik dan kebijakan publik pada dasarnya keluar dari sebuah keyakinan. Tentu,
berpolitik itu belajar dan melakukan (learning
by doing) ketika kita mengkritisi kita juga harus mengambil tanggung jawab
didalamnya disisi lain juga harus membangun basis massa yang melek terhadap apa
esensi dari politik. Kita harus menarik berbagai macam kesimpulan dan menjadi
pemain aktif dalam berpolitik.
Media dan masyarakat
sipil dan kita (rakyat) tidak hanya sekedar datang mencoblos dan memberikan
pilihan pada masa pemilihan tiba, tetapi harus secara aktif menyatakan apa yang
ingin di lakukan, apa yang kita (rakyat) ingin dengan daerah ini; bagaimana pemenang
kontestasi pilkada mengelola sumberdaya kita dengan melibatkan warga secara
aktif?
Karena kita akan masuk
dalam pesta demokrasi dimana rakyat akan memilih siapa pemimpinnya lima (5)
tahun kedepan, dengan sebuah kesadaran “Politik” memilih dengan pilihannya
sendiri atau memilih dengan keterpaksaan? Money politik adalah bentuk
politik yang penuh keterpaksaan (coersive).
Bagaimana dengan Malaka?
Dalam uang kita bersaudara?