Festival Golo Koe, nama
yang mengacu pada sebuah bukit di kota pariwisaya yang sedang berkembang pesat
Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat dibuka pada 8 Agustus setelah diadakan
upacara teing hang, upacara adat suku Manggarai untuk memohon restu dari nenek
moyang terhadap festival itu.
Hari pertama festival
itu juga ditandai dengan pembagian bantuan sembako untuk keluarga miskin dan
kelompok disabilitas oleh Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat dan beberapa
pejabat pemerintah.
Dalam sebuah
pernyataan, keuskupan menyebutkan bahwa festival ini adalah bagian dari upaya
memperjuangkan “pariwisata holistik, sebuah model pariwisata yang
berpartisipasi, berbudaya, dan berkelanjutan.”
“Festival ini bertujuan
untuk menumbuhkembangkan pariwisata yang berakar dan bertumbuh dalam keunikan
dan kekayaan kultural dan spiritual setempat. Festival ini juga bermaksud untuk
mendorong dan menggiatkan semua kegiatan ekonomi kreatif masyarakat dalam
meningkatkan kesejahteraan hidup mereka,” kata keuskupan.
Festival ini digagas
dan diorganisir oleh Keuskupan Ruteng, bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten
Manggarai Barat, Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo – Flores, dan
pihak terkait lainnya.
Sejumlah agenda dalam festival
ini antara lain pameran kuliner yang melibatkan 180 usaha kecil dan menengah,
pentas seni, seminar dan diskusi, penanaman bambu dan bakau di daerah aliran
sungai dan wilayah pantai serta pembersihan lingkungan.
Selain itu pada 14
Agustus alam diadakan prosesi Akbar Bunda Maria Assumpta di darat maupun di
laut Labuan Bajo dan pada 15 Agustus Misa Agung Maria Assumpta dipimpin oleh
Uskup Sipri bersama ratusan imam konselebran di Waterfront City, Labuan Bajo.
Romo Inosensius Sutam,
Ketua Komisi Budaya dan Pariwisata Keuskupan, mengatakan, lewat festival ini
Gereja hendak mengajak agar seluruh umat menjadi pelaku, sekaligus penikmat
pariwisata di Labuan Bajo, kota yang telah ditetapkan sebagai salah satu
destinasi wisata super-prioritas oleh pemerintah pusat.
Ia mengatakan,
keindahan pariwisata di Labuan Bajo, gerbang menuju TN Komodo itu,
diperuntukkan bagi semua orang, tak terkecuali masyarakat lokal.
“Kita diajak untuk
menjadi pelaku dan penikmat pariwisata. Kalau orang dari jauh bisa menikmati
kue besar yang ada di sini, mengapa orang-orang di sini mati di depan kue besar
pariwisata ini,” imbuhnya.
Festival ini digelar di
tengah polemik di Kabupaten Manggarai Barat sejak minggu lalu atas keputusan
pemerintah untuk menaikkan tiket masuk ke TN Komodo dari 150 ribu rupiah
menjadi 3,75 juta rupiah untuk wisatawan domestik dan internasional, di mana
tiketnya dijual online oleh perusahaan milik provinsi, PT Flobamor.
Pelaku wisata di pulau
mayoritas Katolik menentang kebijakan tersebut dan memulai pemogokan selama
sebulan pada 1 Agustus. Namun, mogok dibatalkan pada 3 Agustus di tengah aksi
represif polisi yang menyebabkan sedikitnya enam orang terluka dan 42 orang
ditangkap.
Pada 8 Agustus, Menteri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, mengumumkan kebijakan
itu ditunda berdasarkan saran Presiden Joko Widodo, dan akan diterapkan tahun
depan setelah dialog dengan para pelaku pariwisata.
Doni Parera, seorang
Katolik dan operator pariwisata, mengkritik otoritas Gereja yang menurutnya
abai terhadap masalah serius terkait pariwisata dan lebih condong sibuk dengan
kegiatan-kegiatan seremonial bersama pemerintah.
“Di sisi lain gereja
diam dengan persoalan serius yang saat ini mengancam pariwisata di sini, yaitu
soal ancaman monopoli bisnis wisata oleh perusahan-perusahan besar, lalu
meminggirkan warga lokal,” katanya.
“Saat umatnya dipukuli,
gereja di mana? Saya tidak mendengar bahwa mereka kritis pada
kebijakan-kebijakan yang tidak adil. Karena tema yang bicarakan adalah
pariwisat holistik, maka harusnya gereja juga melihat masalah pariwisata secara
holistik, yaitu dengan menyikapi juga masalah yang mengancam pariwisata,”
katanya.
Menanggapi kritik
tersebut, Romo Sutam mengatakan keuskupan telah mengeluarkan pernyataan pada 27
Juli, yang di dalamnya menyatakan bahwa kebijakan menaikkan harga tiket “tidak
tepat” di tengah pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19.
Imam itu tidak mengomentari
tudingan soal sikap diam Gereja tentang berbagai masalah lain terkait
pariwisata di wilayah itu, seperti yang dituding pelaku wisata.
Sumber: Indonesian
Catholics hold tourism fest amid Komodo row