Suster Ayelech Gebeyehu mengawasi acara makan di Sekolah Katolik Beato Gebremichael di Bahir Dar, Addis Ababa, ibu kota Etiopia. (Foto: CNEWA) |
Para uskup menegaskan
kembali bahwa ketidakamanan juga mempersulit Gereja untuk secara efektif melaksanakan
karya pastoralnya di banyak paroki, termasuk di Keuskupan Adigrat di Tigray.
“Gereja menghadapi
tantangan besar, terutama kurangnya perdamaian di negara kami. … Banyak paroki
kami, termasuk Keuskupan Adigrat, menghadapi tantangan. Para imam dan suster
telah meninggalkan biara mereka akibat ancaman keamanan dan jumlah kapel dan
biara yang ditutup meningkat,” kata Kardinal Souraphiel Berhaneyesus, Ketua
Konferensi Waligereja Ethiopia, pada akhir Juli.
Selama lebih dari 20
bulan di Tigray, Uskup Adigrat, Mgr. Tesfaselassie Medhin, para imamnya, dan
orang-orang di wilayah itu tetap terisolasi di negara itu karena pemerintah
mempertahankan blokade.
Sambil mendesak
pihak-pihak yang berkonflik untuk fokus pada perdamaian, dialog dan
rekonsiliasi untuk mengakhiri penderitaan rakyat, Kardinal Berhaneyesus
mengatakan warga masih dibunuh dan diasingkan di banyak tempat.
“Kami sangat mendesak
pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama memastikan perdamaian di negara
kita sehingga warga dapat hidup dalam kebebasan. Mereka juga berjuang
memenuhi kebutuhan dasar mereka,” katanya.
Pada November 2020,
Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed Ali memerintahkan aksi militer
terhadap the Tigray People’s Liberation Front (TPLF), kelompok
penguasa wilayah semi-otonom itu.
Perdana menteri itu
menuduh TPLF menyerbu pangkalan militer di Mekele, ibu kota Tigray. Namun,
operasi yang seharusnya merupakan misi singkat itu menyebar ke daerah lain.
Lembaga-lembaga
memperkirakan kematian di Tigray telah mencapai 500.000 orang karena
penyebab gabungan yang meliputi kelaparan, pembunuhan langsung dan kurangnya
perawatan medis atau kesehatan.
Laporan terbaru oleh International
Displacement Monitoring Centre, sebuah organisasi internasional yang
mengumpulkan data dan analisis tentang pengungsian internal, mengatakan konflik
dan kekerasan di Tigray telah menelantarkan sekitar 5,1 juta orang. Orang-orang
ini membutuhkan makanan, dan jutaan orang akan kelaparan.
Pada 26 Juli, Uskup
Medhin mendesak penyelesaian konflik segera untuk mencegah krisis kemanusiaan
yang lebih serius dan kematian.
Dia meminta
pemerintah federal dan pemerintah lain yang mendukung Ethiopia, serta
organisasi nasional dan internasional untuk mengambil peran apa pun
menghentikan perang, pengepungan, dan blokade.
“Jika situasi
mengerikan ini tidak diselesaikan secepat mungkin, kita sudah menyaksikan dan
akan menyaksikan kengerian sebuah krisis yang jauh lebih serius dan hilangnya
nyawa di Tigray,” kata Uskup Medhin dalam pernyataan yang dikutip Fides.
Uskup itu mengatakan
sulit atau tidak mungkin bagi Gereja memberikan pelayanan pastoral, kesehatan
dan kemanusiaan, karena blokade pemerintah dan penempatan pasukan. Kedua
tindakan itu telah mengisolasi gereja dari para gembalanya dan komunitasnya,
jaringan Katolik internasional, dan seluruh dunia.
TPLF dan pemerintah
telah mengumumkan tim perunding perdamaian, tetapi mereka belum menyepakati
tempat, tanggal, atau mengungkapkan struktur negosiasi. Selain itu, kedua belah
pihak terus berbeda pendapat tentang pilihan mediator utama.
Pejabat Gereja
menganggap pembicaraan damai itu penting dan mengatakan mereka akan melakukan
yang terbaik untuk memastikan dialog berhasil.
Sumber: Nuns
and priests flee ethiopias Tigray region