Ilustrasi anak-anak korban kekerasan
seksual. (iStockphoto) |
"Terkait kasus
(pencabulan) tersebut sejak tanggal 3 September 2022 Majelis Sinode GMIT telah
bersikap," kata Ketua Majelis Sinode GMIT, Merry Kolimon dalam keterangan
tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (7/9) siang.
Merry mengatakan saat
ini MS GMIT lebih fokus untuk memerhatikan dan memberi perlindungan serta
pendampingan psikologis bagi para korban kekerasan seksual yang diduga
dilakukan SAS.
Dia menyebutkan telah
mengirim dua psikolog dan satu pendamping hukum ke Alor untuk
pendampingan untuk pemulihan psikologis anak-anak korban kekerasan
seksual.
"Mendampingi
anak-anak baik dalam proses pemulihan psikologis sampai pada proses hukum di
kepolisian," ujarnya.
Dia menyampaikan
Majelis Sinode GMIT sangat menghormati hak para korban dan orangtua serta
keluarga untuk menempuh jalur hukum bagi oknum vikaris atau calon pendeta SAS
untuk mendapatkan keadilan melalui mekanismes hukum yang berlaku.
"Kami tidak akan
menghalangi proses hukum bagi oknum yang bersangkutan," tegas tulis Merry
dalam keterangannya.
Dia menuturkan yang
terpenting saat ini adalah proses pemulihan psikologis bagi para korban yang
semuanya masih anak-anak berusia 13 tahun hingga 15 tahun dan masih berstatus
pelajar. Sehingga kata Dia semua pihak agar bisa turut membantu melindungi para
korban dari kekerasan berlapis.
"MS GMIT berharap
semua pihak agar turut melindungi para korban dari kekerasan berlapis,' ujar
Merry.
Koordinasi dengan KMK Alor Timur Laut
Merry mengatakan
Majelis Sinode GMIT setelah mendapat laporan terkait dugaan kekerasan seksual
yang dilakukan vikaris SAS lalu berkoordinasi dengan Ketua Majelis Klasis (KMK)
Alor Timur Laut untuk mendapat penanganan.
Merry menyebutkan
sanksi pun telah dijatuhkan oleh MS GMIT kepada SAS berupa penundaan penahbisan
SAS ke dalam jabatan pendeta.
"Ini untuk
penyelidikan kebenaran berita yang diterima," kata Merry.
Sebelumnya, Aparat
Polres Alor, pada Senin (5/9) menangkap dan menahan SAS, seorang vikaris atau
calon pendeta GMIT di Alor, Nusa Tenggara Timur yang diduga melakukan
pencabulan terhadap enam orang anak yang berstatus pelajar berusia belasan
tahun. Para korban adalah warga Desa Waisika, Kecamatan Alor Timur Laut,
Kabupaten Alor.
Kapolres Alor, AKBP Ari
Satmoko menjelaskan terbongkarnya kasus pencabulan oleh SAS setelah dilaporkan
dengan nomor LP-B/277/IX/2022/SPKT /Polres Alor/Polda NTT tanggal 1 September
2022.
Dalam kasus tersebut,
polisi telah memeriksa 17 orang saksi termasuk enam saksi korban dan keluarga
para korban.
"Dari hasil
pemeriksaan, tersangka tidak bisa menahan hasrat napsu seksualnya sehingga dia
(tersangka) terpicu melakukan pencabulan," kata Kapolres Alor, AKBP Ari
Satmoko, Selasa (6/9) malam.
Ari menerangkan
pencabulan terhadap enam korban itu dilakukan berulang kali di dalam kompleks
gereja tempat tersangka SAS melaksanakan tugas pelayanan sebagai calon pendeta.
Itu dilakukan dalam kurun waktu satu tahun sejak Mei 2021 hingga Mei 2022.
"Dia memperdayai dan mengancam para korban akan menyebarkan video asusila
yang direkamnya," ujar Ari.*** cnnindonesia.com