Harga BBM Subsidi Naik, Ekonom Sebut RI Terancam Stagflasi

Harga BBM Subsidi Naik, Ekonom Sebut RI Terancam Stagflasi

Pengendara sepeda motor mengantre untuk membeli BBM bersubsidi, usai pengumuman kenaikan harga BBM, di SPBU Pertamina, di Bekasi, Sabtu (3/9/2022). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) Pemerintah resmi menaikkan harga BBM subsidi jenis Pertalite dan Solar, Sabtu (3/9). Pertalite naik dari sebelumnya Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, sedangkan Solar naik dari sebelumnya Rp 5.150 per liter menjadi 6.800 per liter.

Tidak hanya BBM subsidi, pemerintah juga ikut menaikkan harga BBM nonsubsidi yaitu Pertamax dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.

Ekonom Center of Economics Law and Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat. Sebab, masyarakat belum siap menghadapi kenaikan harga Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter.

"Kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat, terutama jenis Pertalite," ujar Bhima kepada kumparan, Sabtu (3/9).

Bhima menilai, kenaikan harga BBM bersubsidi akan membuat Indonesia terancam stagflasi, kondisi di mana laju inflasi meningkat tajam, sedangkan pertumbuhan ekonomi justru rendah. Hal ini tentunya ikut membuat inflasi naik secara signifikan tanpa dibarengi dengan kesempatan kerja.

Menurut dia, kenaikan harga BBM bukan hanya sekadar untuk menaikkan harga energi di mana biaya transportasi kendaraan pribadi juga ikut naik. Namun, kenaikan BBM subsidi akan mempengaruhi semua sektor kehidupan masyarakat.

"Misalnya harga pengiriman bahan pangan akan naik di saat yang bersamaan pelaku sektor pertanian mengeluh biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk," jelasnya.

Inflasi Pangan Tembus 8,55 Persen di Agustus 2022

Di sisi lain, Bhima menyebutkan bahwa inflasi bahan makanan masih tercatat tinggi pada bulan Agustus yakni 8,55 persen year on year (yoy). Ia memprediksi bahwa inflasi pangan akan terus mengalami peningkatan hingga kembali menyentuh dobel digit atau di atas 10 persen (yoy) pada September 2022.

Sementara itu, lanjut Bhima, inflasi umum diperkirakan menembus di level 7 hingga 7,5 persen hingga akhir tahun dan memicu kenaikan suku bunga secara agresif. Ia mengibaratkan, kondisi konsumen saat ini seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula secara terus menerus.

"Belum sembuh pendapatan dari pandemi, kini sudah dihadapkan pada naiknya biaya hidup dan suku bunga pinjaman," jelas Bhima.

Masyarakat Akan Kurangi Daya Konsumsi

Adapun kenaikan harga BBM subsidi tidak hanya menyentuh kelompok masyarakat yang memiliki kendaraan saja, akan tetapi masyarakat yang tidak memiliki kendaraan sekalipun akan mengurangi konsumsi barang lainnya.

Masyarakat sudah menganggap BBM sebagai bagian dari kebutuhan mendasar. Apabila harganya naik, maka pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan dan minuman (mamin) hingga logistik akan merasakan hal yang sama. Pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan tentu berisiko mengambil jalan pintas dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal

"Sekarang realistis saja, biaya produksi naik, biaya operasional naik, permintaan turun ya harus potong biaya biaya. Ekspansi sektor usaha bisa macet, nanti efeknya ke PMI manufaktur kontraksi kembali di bawah 50," tambah Bhima.

Pemerintah Menyiapkan Bansos

Pemerintah tengah menyiapkan bantuan sosial (bansos) demi melindungi kelompok masyarakat miskin dalam waktu empat bulan. Bhima menganggap, bansos tersebut tidak akan cukup dalam untuk kompensasi efek kenaikan harga BBM.

Ia memberikan contoh, ada kelas menengah rentan, sebelum kenaikan harga Pertalite masih sanggup membeli di harga 7.650 per liter, sekarang harga Rp10.000 per liter. Lalu, pada waktu yang bersamaan, harga Pertamax ikut naik menjadi 14.500 per liter.

Akibatnya pengguna Pertamax akan tetap bergeser ke Pertalite. Adapun data masyarakat yang berada dalam posisi rentan miskin ini sangat mungkin tidak tercover dalam BLT BBM akibat adanya penambahan orang miskin pasca kebijakan BBM subsidi naik.

"Pemerintah perlu mempersiapkan efek berantai naiknya jumlah orang miskin baru dalam waktu dekat," pungkasnya.

Lebih lanjut, pembatasan subsidi yang menyasar pengguna solar selama ini dinikmati industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar. Padahal tujuan utama untuk membatasi konsumsi Pertalite subsidi juga tidak akan tercapai.

"Kenaikan harga merupakan mekanisme yang paling tidak kreatif," tandas Bhima. *** kumparan.com

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama