Ilustrasi. Ketua Litbang PB PGRI menilai
kesejahteraan guru akan di bawah minimum jika tunjangan profesi benar-benar
dihapus. Foto: (Antara Foto/Paramayuda) |
Ketua Litbang PB
PGRI, Sumardiansyah menyebut hal itu tak selaras dengan
semangat merdeka belajar yang ingin memerdekakan guru. Hal itu disampaikan
dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi X DPR RI, diikuti secara
daring pada Senin (5/9).
"UU tentang Guru
dan Dosen yang mengangkat harkat martabat kami sebagai profesi guru dengan
kesejahteraan di atas minimum, dengan tambahan tunjangan maslahat dan tunjangan
profesi dijadikan standar minimum bahkan di bawah minimum (dengan adanya RUU
Sisdiknas)," kata Sumardiansyah.
Menurut Sumardiansyah,
hilangnya ayat tunjangan profesi guru dalam RUU Sisdiknas versi Agustus 2022
sangat mencoreng pihaknya. Ia menilai RUU ini sangat berbeda dengan UU Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mampu mengakomodasi berbagai tunjangan
yang dibutuhkan para tenaga pendidik.
Sumardiansyah
menjelaskan Pasal 15 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan
guru berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan minimum yang meliputi
tunjangan gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain
berupa tunjangan profesi, tunjangan khusus dan tunjangan kehormatan.
Adapun terkait dengan
tunjangan profesi guru secara lebih rinci diatur dalam Pasal 16 ayat 1 sampai 6
UU tentang Guru dan Dosen, tunjangan fungsional diatur di Pasal 17 ayat 1
sampai 3, tunjangan khusus dalam pasal 18 ayat 1 sampai 4, dan maslahat tambahan
di pasal 19.
"Poin-poin yang
menginginkan agar guru mendapat kesejahteraan di atas minimum, hilang dalam RUU
Sisdiknas versi Agustus," ujarnya
Ia menuturkan jika
pemerintah menghapus ayat tunjangan profesi guru pada RUU Sisdiknas maka guru
hanya akan mengandalkan gaji pokok. Sebab, tidak semua guru mendapat tunjangan
khusus dan mereka tak bisa mengandalkan tunjangan fungsional yang jumlahnya
tidak signifikan.
Selain itu, tidak semua
daerah mendapat tunjangan kinerja karena bergantung pada kekuatan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) daerag masing-masing.
Lebih lanjut,
Sumardiansyah menilai pengusunan RUU Sisdiknas tergesa-gesa, diam-diam, tidak
transparan, dan minim keterlibatan baik ahli maupun partisipasi publik.
Kemudian, roadmap
pendidikan yang seharusnya menjadi prasyarat atau acuan dalam penyusunan RUU
belum selesai dituntaskan.
Oleh karena itu, PB
PGRI menyambut baik usulan Komisi X DPR RI untuk membentuk kelompok pekerja
(Pokja) nasional RUU Sisdiknas yang terdiri dari berbagai unsur organisasi.
"Secara substansi
bidang pendidikan yang sebelumnya diatur dalam UU 20/2003, UU 14/2005 tentang
Guru dan Dosen, dan UU 12/2005 tentang Pendidikan Tinggi itu masih banyak yang
secara substansial belum termuat di dalam UU Sisdiknas," tuturnya.
Sebelumnya, aturan
tentang tunjangan profesi guru tidak tercantum secara eksplisit dalam RUU
Sisdiknas naskah Agustus 2022. Dalam versi terbaru hanya diatur terkait upah,
jaminan sosial, penghargaan sesuai dengan prestasi kerja, yakni pada Pasal 105.
Padahal, pada naskah
RUU Sisdiknas versi April 2022, aturan mengenai tunjangan profesi guru dimuat
pada Pasal 127 ayat 1-10.
Sementara itu,
pemerintah secara resmi mengusulkan RUU Sisdiknas masuk dalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) prioritas 2023. RUU Sisdiknas yang diusulkan pemerintah
disebut akan mengintegrasikan sekaligus mencabut tiga undang-undang terkait
pendidikan.
Ketiga UU itu yakni UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. ***cnnindonesia.com