Anggota Konferensi Waligereja Ethiopia diambil pada 13 Maret. (Foto: CBCE) |
Dalam seruan
berjudul “No More War!” (Tidak ada perang lagi), para uskup mendesak
“semua pihak untuk menyerahkan senjata mereka dan kembali ke opsi perdamaian,
memprioritaskan dialog dan opsi yang akan mengakhiri penderitaan warga kita,”
kata pernyataan para uskup itu tertanggal 18 Agustus, tetapi dirilis pada 2
September.
Pertempuran telah
berubah menjadi perang skala besar di antara pasukan pemerintah federal dan
Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) sejak 24 Agustus.
Pertempuran terbaru itu
mematahkan kesepakatan gencatan senjata kemanusiaan lima bulan yang diumumkan
pemerintah pada Mei untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan menjangkau jutaan
orang yang membutuhkan di Negara Bagian Tigray.
Selama periode itu,
makanan, obat-obatan dan kebutuhan dasar lainnya mencapai wilayah tersebut,
tetapi para pemimpin Gereja itu mengatakan khawatir itu terlalu sedikit,
sudah terlambat.
Masing-masing pihak
menyalahkan lawan terkait pertempuran baru tersebut.
Para uskup mengatakan
pertempuran berlanjut ketika orang-orang memiliki harapan untuk perdamaian dan
mengatakan banyak orang “menderita kelaparan, penyakit dan kerusakan
psikologis” dan telah mengungsi dari rumah-rumah mereka.
“Seluruh negara kita
sedang berjuang di bawah tekanan biaya hidup,” kata para uskup.
“Gereja … merindukan
penderitaan orang-orang yang tinggal di Tigray, Amhara, Afar dan daerah lain di
negara itu dihentikan,” kata para uskup.
Sementara itu, laporan
berita menyatakan setidaknya 50 orang tewas di wilayah barat Oromia.
Wilayah tersebut, yang meliputi Addis Ababa, ibu kota negara itu, yang terus
mengalami serangan kekerasan, selain pertempuran di Utara.
Perang di Tigray
dimulai pada November 2020 ketika Perdana Menteri Abiy Ahmed Ali mengumumkan
tindakan militer terhadap TPLF. Dia menuduh pasukan TPLF menyerang pangkalan
militer nasional di Mekele.
Sumber: Ethiopian
bishops say no more war