Jika Anda pernah membeli kartu pos atau kalender bergambar lukisan, mungkin itu hasil karya salah seorang pelukis mulut dan kaki yang bergabung dalam Mouth and Foot Painting Artists (MFPA) di seluruh dunia. Seorang pelukis disabilitas Indonesia, Harama Salim adalah salah seorang di antaranya
Salim melukis di rumahnya (foto: courtesy). |
"Kalau sore
setelah membantu orangtua menggembala kambing, hiburan saya sebelum maghrib
naik kereta api dari stasiun satu ke stasiun berikutnya. Kebetulan ketika akan
balik, terpeleset, jatuh tangan kiri dan terlindas kereta api, kemudian reflek
tangan kanan mau mengambil tangan kiri dan tangan kanan juga kena (lindas),”
tuturnya kepada VOA.
Karya seni Salim on the spot "Semar Anabdo Sungsang" (foto: courtesy). |
Setelah tragedi
menyedihkan yang mengubah hidupnya itu, Salim memulai terapi dengan kakinya
yang sejak itu berfungsi sebagai tangannya.
“Saya terapilah, dari
batu kecil, kerikil, dari biji-bijian dan sebagainya, belajar menulis, buka
baju, pegang sendok,” ujarnya.
Salim melukis "Semar Anabdo Sungsang", dengan kuas di kakinya (foto: courtesy). |
Ya, semua itu Salim
lakukan dengan kaki dan mulutnya. Setelah dewasa, pada suatu hari ia bertemu
dengan seorang pelukis. Dari sanalah ia kemudian tertarik untuk melukis yang ia
pelajari secara otodidak. Bahkan lima lukisannya setiap tahun diserahkan ke
organisasi Mouth and Foot Painting Artists (MFPA) yang berpusat di Swiss, untuk
dinilai.
Salim yang mulai
melukis sejak tahun 2004 itu, kini mempunyai ratusan lukisan. Tujuh karya
lukisnya di antaranya lukisan bunga dan buah-buahan, diterima oleh MFPA Swiss
dan memperoleh hadiah yang cukup besar. Biasanya lukisan itu dicetak ke dalam
bentuk kartu pos atau kalender dan dipasarkan ke 45 negara.
Organisasi MFPA di
Amerika terdapat di kota Atlanta, Georgia. Lain halnya dengan kantor pusat MFPA
di Swiss, MFPA Amerika memberi uang saku tiap bulan kepada anggotamya, karena
organisasi ini benar-benar mencari keuntungan dengan menjual karya seni pelukis
mulut dan kaki. Terdapat 52 pelukis yang bergabung dalam MFPA Amerika.
Untuk di Indonesia,
karya lukis Salim dipamerkan di sanggar "Tirta Kelapa" Art Space
Yogyakarta. Pemiliknya, Pambudi Sulistio yang juga membina anak-anak untuk
mencintai seni lukis mengatakan, sanggar seninya juga mendukung karya seniman
disabilitas.
Anak-anak belajar melukis di sanggar seni "Tirta Kelapa" (foto: courtesy). |
Selain Salim, ada pula
seorang pelukis tunanetra seperti yang ia tuturkan kepada VOA.
“Pariatmojo yang
tunanetra, kemudian Salim Harama yang tidak mempunyai kedua tangannya, dengan
aktifitas menorehkan karyanya dengan kaki dan mulut, tetapi ada hal yang lebih
penting dari kedua seniman ini, terutama pak Harara Salim ini, dalam melakukan
proses kreatifnya, dia melalui proses-proses yang cukup unik, yaitu meditasi,”
tutur Sulistio.
Sulistio (kiri) dan Salim (kanan) (foto: courtesy). |
Ditanya VOA mengenai
kemampuan hebat mereka dalam seni lukis dengan keterbatasan fisik mereka,
Sulistio mengatakan, “Warna-warna atau media-media yang dia lakukan dengan
fisik yang terbatas itu, tetapi bisa mewujudkan apa yang diinginkan, baik itu
dalam bentuk visual rupa, dimensi-dimensi realis, walaupun tidak sempurna di
dalam perwujudan realismenya, tetapi pesan yang dibuat bisa menjawab apa yang
menjadi inspirasi pak Salim sehingga apa yang disampaikan (karya lukisnya) bisa
ditangkap oleh siapa saja.”
Salah satu lukisan Salim bertema Gunung Merapi (foto: courtesy). |
Kini terdapat tiga
lukisan Salim yang dipajang di sanggar seni itu, yang sering dikunjungi oleh
para pelajar dan penggemar seni lukis.
Mengakhiri perbincangan
dengan VOA, Salim mengatakan ia puas dengan apa yang telah dicapai dalam
hidupnya. Ia tetap tegar untuk terus berkarya melalui goresan kuas dengan
menggunakan kaki dan atau mulutnya. [ps/em]*** voaindonesia.com