FILE - Uskup Carlos Ximenes Belo pada Pertemuan Katolik Nasional di Kampus UCLA, Los Angeles, 17 Juli 1999. |
Pengakuan Vatikan
datang sehari setelah sebuah majalah Belanda, De Groene Amsterdammer,
membeberkan tudingan terhadap uskup Katolik yang dihormati itu, dengan mengutip
dua orang yang diduga sebagai korban Belo. Menurut majalah itu, ada sejumlah
korban lain yang belum melapor di Timor Leste, di mana gereja memiliki pengaruh
yang sangat besar.
Melalui sebuah
pernyataan, juru bicara Vatikan, Matteo Bruni, mengatakan kantor yang menangani
kasus pelecehan seksual menerima tuduhan “mengenai perilaku uskup itu'' pada
2019 dan dalam waktu satu tahun telah menjatuhkan sejumlah sanksi.
Sanksi-sanksi itu termasuk membatasi gerak Belo, dan melarangnya menjalin
kontak dengan anak di bawah umur.
Pernyataan itu
menyebutkan bahwa tindakan Vatikan itu bahkan telah “dimodifikasi dan
diperkuat'' pada November 2021, dan bahwa Belo telah secara resmi menerima
hukuman pada kedua kesempatan tersebut.
Namun, Vatikan tidak
memberikan penjelasan mengapa Paus Yohanes Paulus II mengizinkan Belo
mengundurkan diri sebagai kepala gereja di Timor Leste awal tahun 2002, dan
mengirimnya ke Mozambik, tempat ia bekerja dengan anak-anak.
Berita tentang perilaku
Belo mengejutkan masyarakat di negara Asia Tenggara yang mayoritas warganya
Katolik dan miskin itu, di mana ia dianggap sebagai pahlawan karena
memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia.
"Kami di sini juga
terkejut mendengar berita ini,'' kata seorang pejabat di Keuskupan Agung Dili
di Timor Leste, Kamis, yang berbicara kepada Associated Press dengan
syarat namanya dirahasiakan. Yang lain mengatakan mereka akan tetap mendukung
Belo karena kontribusinya bagi negara dan perjuangannya untuk kemerdekaan.
“Kami menerima dan
patuh pada setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Vatikan tentang tuduhan
terhadap Uskup Carlos Ximenes Belo, apakah itu benar atau salah,'' kata
Gregoriu Saldanha, yang memimpin Komite 12 November, sebuah organisasi pemuda
yang didirikan setelah pembantaian di Santa Cruz selama pendudukan Indonesia di
Timor Leste.
Ia mengatakan pada
konferensi pers di Dili bahwa “kami akan tetap mendukung Uskup Belo, karena
kami menyadari, sebagai manusia, Belo memiliki kelemahan atau kesalahan seperti
orang lain. Jika ia melakukan kesalahan, itu kesalahan pribadinya, tidak ada
hubungannya dengan agama.''
Ia menambahkan bahwa
``Kita tidak bisa mengabaikan kebaikannya dan apa yang telah diperjuangkannya
untuk rakyat Timor Leste. Belo adalah bagian dari perjuangan kemerdekaan kita.
Sebagai pemimpin gereja Katolik, ia telah memberikan dukungan dan solidaritas
untuk perjuangan rakyat.''
De Groene Amsterdammer mengatakan
dua tersangka korban Belo diidentifikasi hanya sebagai Paulo dan Roberto.
Majalah itu mengatakan, hasil penyelidikan mereka menunjukkan bahwa pelecehan
yang dilakukan Belo diketahui oleh pemerintah Timor Leste dan para pekerja
kemanusiaan dan gereja.
''Uskup itu memerkosa
dan melecehkan saya secara seksual pada malam itu,'' kata Roberto seperti
dikutip majalah itu. "Pagi-pagi sekali ia menyuruh saya pergi. Saya takut
karena hari masih gelap. Jadi saya harus menunggu sebelum saya bisa pulang. Ia juga
memberi saya uang. Itu dimaksudkan agar saya tutup mulut. Dan untuk memastikan
saya akan kembali," lanjutnya.
Belo memenangkan Hadiah
Nobel Perdamaian pada tahun 1996 bersama ikon kemerdekaan Timor Leste Jose
Ramos-Horta karena mengampanyekan solusi yang adil dan damai untuk konflik di
negara asal mereka sewaktu negara berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan dari
Indonesia. [ab/uh]*** voaindonesia.com