Pantulan Cinta dan Perselingkuhan (Nyanyian Akar Rumput Dunia Filsafat)

Pantulan Cinta dan Perselingkuhan (Nyanyian Akar Rumput Dunia Filsafat)

Cinta adalah petualangan yang keras kepala, bukan dalam arti saling egois, melainkan upaya untuk benar-benar meneguhkan hati—menolak segala macam godaan—demi bersama orang yang dicintai.

 


Perselingkuhan itu bagaikan petir di siang bolong. Ia mengguncang dan mengagetkan. Perselingkuhan merupakan tindak mematahkan janji untuk tetap setia terhadap pasangan intim. Ia menciptakan kegembiraan sesaat dengan jutaan sakit hati serta masalah yang nantinya datang mengikuti.

Bagi banyak orang, ini adalah tema yang amat sensitif. Tak sedikit orang yang terluka karenanya. Berbagai lagu dan film berkembang dari tema ini. Berbagai tragedi berdarah juga terjadi di atasnya.

Memang, daya rusak perselingkuhan amatlah besar. Ia mengoyak hati yang sebelumnya tulus menyayangi. Ia memecah keluarga ke dalam kepingan-kepingan sakit hati. Ujung yang paling menyakitkan, akibat perselingkuhan, pembunuhan pun terjadi.

Ini semua terjadi, karena perselingkuhan merusak salah satu sumber kebahagiaan terbesar manusia, yakni hubungan cinta yang mendalam dengan manusia lain. Ketika jatuh cinta, semua terasa begitu indah. Hati berbunga-bunga, dan hidup terasa kembali bermakna. Ketika itu lenyap, akibat perselingkuhan, luka yang ditinggal begitu menyayat. Tak jarang, kematian pun dianggap sebagai pelepasan yang melegakan. 



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Sebagai suatu realitas yang eksis dalam diri manusia, cinta dihadapkan dengan sejumlah tantangan dan problem. Di sinilah kemampuan, pengetahuan, keyakinan, dan komitmen manusia atas cinta benar-benar diuji. Apakah seseorang akan tetap setia pada cinta atau justru mengkhianati prinsip-prinsip dalam cinta itu sendiri. Pada dasarnya, semua jenis cinta berpotensi dihadapkan pada problem, baik cinta kemanusiaan, persahabatan, orang tua, diri sendiri, romantik, sampai ketuhanan. Namun problem dalam cinta romantik lebih sering menjadi perhatian dan bahan diskusi publik. Setidaknya terdapat beberapa problem dalam cinta romantik yang dapat diinventarisasi, seperti pengekangan, ketergantungan, penguasaan, proteksi berlebihan, kekerasan, sampai perselingkuhan. Dari sejumlah problem tersebut, perselingkuhan dianggap sebagai problem paling akut yang tidak bisa ditoleransi dan nodanya sulit untuk dihilangkan. Menarik untuk dipertanyakan, apa yang menjadi sebab utama dari terjadinya perselingkuhan.

Secara common sense, perselingkuhan merupakan aktivitas mengkhianati individu yang dicintai dengan menjalin hubungan serupa—yang romantik—dengan individu lain secara diam-diam. Biasanya problem ini terjadi pada dua individu yang telah berkomitmen dalam sebuah relasi cinta romantik, seperti berpacaran, bertunangan, maupun pernikahan. Tentu hal ini tidak terjadi begitu saja, ada sebab dan alasan yang melatarbelakanginya, baik itu mengenai kecocokan, ketertarikan, kesepahaman, kepribadian, pemikiran, dan lain sebagainya. Persoalan mengenai apakah sejumlah sebab dan alasan tersebut dapat diterima atau tidak, tentu perlu memperhatikan argumentasi dibaliknya.

Selain itu, perlu ditekankan pula bahwa tidak ada ketetapan bahwa perselingkuhan cenderung dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Keduanya sama-sama manusia, sehingga pada dasarnya keduanya sama-sama berpotensi untuk berselingkuh. Jika problem perselingkuhan selalu dikaitkan dengan argumentasi kecenderungan mutlak, maka pada dasarnya jalan keluar tidak pernah ditemukan. Hal ini dikarenakan diskursus yang terbangun adalah upaya-upaya untuk saling menguliti dan mencari kesalahan satu sama lain. Ini semacam lingkaran setan yang tak berujung.

Kritik atas Naturalitas dalam Cinta

Secara filosofis terdapat sejumlah pandangan mengenai cinta, mulai dari yang idealis, eksistensialis, termasuk naturalis. Menurut naturalis, cinta itu semacam gejala natural/alamiah atau dalam penjelasan tertentu bersifat instingtif/naluriah. Artinya, setiap manusia pada dasarnya memiliki potensi untuk bisa mencintai dengan sendirinya. Gagasan semacam ini dapat kita jumpai pada penjelasan cinta yang bersifat biologis—di mana cinta lahir oleh karena dinamika hormonal, dan psikologis—di mana cinta lahir oleh kecenderungan emosi dan rasa. Atau dalam penjelasan Sigmund Freud (seorang Psikoanalis) bahwa sumber utama pendorong cinta adalah libido seksual.

Memang gagasan mengenai naturalitas dalam cinta tidak dapat sepenuhnya disalahkan, namun jika berhenti hanya pada penjelasan ini, yang terjadi adalah mereduksi makna cinta itu sendiri. Nantinya segala macam gejala, fenomena, termasuk problem dalam cinta dianggap sebagai dinamika yang natural, sehingga diterima begitu saja dan dirasa tidak perlu dipersoalkan. Perselingkuhan juga berpotensi dianggap sebagai hal yang natural. Misalnya dengan alasan bahwa pasangannya sudah tidak lagi menarik (cantik atau tampan), maka menjadi wajar jika perlu untuk mencari orang lain yang lebih menarik (cantik atau tampan). Merasa sudah tidak ada kecocokan satu sama lain, sehingga wajar jika perlu mencari individu yang dirasa cocok. Atau jika menggunakan penjelasan Freud, menjadi wajar jika ada individu berpaling kepada individu lain yang lebih menggairahkan secara seksual daripada pasangannya. Jadi, perselingkuhan dianggap sebagai sebuah panggilan yang alamiah, di mana individu hanya mengikuti nalurinya, sehingga mereka merasa tidak bisa disalahkan atas tindakannya.

Cinta sebagai Upaya

Argumentasi bahwa perselingkuhan adalah hal yang natural jelas tidak bisa diterima. Naturalitas hanyalah dalih untuk memuluskan praktik yang menodai keagungan cinta. Dinamika biologis dan psikologis seperti yang telah dijelaskan memang benar tidak mungkin ditolak kemunculannya, namun manusia punya kemampuan untuk menolak mewujudkan naluri tersebut, sehingga sebenarnya individu amat sangat bisa mencegah dorongan untuk berselingkuh. Alasan khilaf sebenarnya juga tidak bisa diterima, karena sebenarnya manusia punya kehendak bebas (free will), apakah ia akan berselingkuh atau tidak, keputusannya murni ada pada dirinya.

Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan pandangan eksistensialis tentang cinta, di mana konsepsi tentang cinta juga berada dalam kendali eksistensi manusia. Dalam gagasan Erich Fromm cinta tidak hanya timbul dari sensasi nyaman yang natural, tetapi juga dapat diwujudkan melalui sejumlah upaya berbasis pengetahuan, kepedulian, tanggung jawab, dan hormat. Atau dalam pembacaan Fahruddin Faiz (seorang penulis) atas Kahlil Gibran, di mana menurutnya cinta dapat diupayakan dengan dasar kebebasan, keindahan, ketulusan, dan penyucian. Alain Badiou (seorang filsuf dan novelis) juga punya gagasan yang serupa bahwa cinta adalah petualangan yang keras kepala, bukan dalam arti saling egois, melainkan upaya untuk benar-benar meneguhkan hati—menolak segala macam godaan—demi bersama orang yang dicintai.

Dengan kesadaran bahwa cinta merupakan bagian dari sebuah upaya, gagasan naturalitas atas perselingkuhan lambat laun dapat terkikis. Memang benar bahwa cinta tidak mungkin terlepas dari segala macam ujian dan tantangan, namun semua itu dapat disikapi sebagai bagian dari upaya untuk semakin meneguhkan hati, rasa, serta komitmen atas cinta.

Referensi

Badiou, Alain. 2009. Eloge de l’amour. Terjemahan Andreas Nova. 2020. Sanjungan Kepada Cinta. Edisi Pertama. Circa: Yogyakarta.

Faiz, Fahruddin. 2019. Dunia Cinta Filosofis Kahlil Gibran. Cetakan ke-2. Yogyakarta: MJS Press.

Fromm, Erich. 1956. The Art of Loving. New York: Harper & Brothers. Terjemahan Aquarina  Kharisma Sari. 2018. Seni Mencintai. Cetakan Pertama. Basabasi: Yogyakarta.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama