Cinta adalah petualangan yang keras kepala, bukan dalam arti saling egois, melainkan upaya untuk benar-benar meneguhkan hati—menolak segala macam godaan—demi bersama orang yang dicintai.
Perselingkuhan itu bagaikan petir di siang bolong. Ia mengguncang dan mengagetkan. Perselingkuhan merupakan tindak mematahkan janji untuk tetap setia terhadap pasangan intim. Ia menciptakan kegembiraan sesaat dengan jutaan sakit hati serta masalah yang nantinya datang mengikuti.
Bagi banyak orang, ini adalah tema yang amat sensitif. Tak sedikit orang yang terluka karenanya. Berbagai lagu dan film berkembang dari tema ini. Berbagai tragedi berdarah juga terjadi di atasnya.
Memang, daya rusak perselingkuhan amatlah besar. Ia mengoyak hati yang sebelumnya tulus menyayangi. Ia memecah keluarga ke dalam kepingan-kepingan sakit hati. Ujung yang paling menyakitkan, akibat perselingkuhan, pembunuhan pun terjadi.
Ini semua terjadi, karena perselingkuhan merusak salah satu sumber kebahagiaan terbesar manusia, yakni hubungan cinta yang mendalam dengan manusia lain. Ketika jatuh cinta, semua terasa begitu indah. Hati berbunga-bunga, dan hidup terasa kembali bermakna. Ketika itu lenyap, akibat perselingkuhan, luka yang ditinggal begitu menyayat. Tak jarang, kematian pun dianggap sebagai pelepasan yang melegakan.
Secara common
sense, perselingkuhan merupakan aktivitas mengkhianati individu yang
dicintai dengan menjalin hubungan serupa—yang romantik—dengan individu lain
secara diam-diam. Biasanya problem ini terjadi pada dua individu yang telah
berkomitmen dalam sebuah relasi cinta romantik, seperti berpacaran,
bertunangan, maupun pernikahan. Tentu hal ini tidak terjadi begitu saja, ada
sebab dan alasan yang melatarbelakanginya, baik itu mengenai kecocokan,
ketertarikan, kesepahaman, kepribadian, pemikiran, dan lain sebagainya.
Persoalan mengenai apakah sejumlah sebab dan alasan tersebut dapat diterima
atau tidak, tentu perlu memperhatikan argumentasi dibaliknya.
Selain itu, perlu
ditekankan pula bahwa tidak ada ketetapan bahwa perselingkuhan cenderung
dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Keduanya sama-sama manusia, sehingga
pada dasarnya keduanya sama-sama berpotensi untuk berselingkuh. Jika problem
perselingkuhan selalu dikaitkan dengan argumentasi kecenderungan mutlak, maka
pada dasarnya jalan keluar tidak pernah ditemukan. Hal ini dikarenakan
diskursus yang terbangun adalah upaya-upaya untuk saling menguliti dan mencari
kesalahan satu sama lain. Ini semacam lingkaran setan yang tak berujung.
Kritik atas Naturalitas dalam Cinta
Secara filosofis
terdapat sejumlah pandangan mengenai cinta, mulai dari yang idealis,
eksistensialis, termasuk naturalis. Menurut naturalis, cinta itu semacam gejala
natural/alamiah atau dalam penjelasan tertentu bersifat instingtif/naluriah.
Artinya, setiap manusia pada dasarnya memiliki potensi untuk bisa mencintai dengan
sendirinya. Gagasan semacam ini dapat kita jumpai pada penjelasan cinta yang
bersifat biologis—di mana cinta lahir oleh karena dinamika hormonal, dan
psikologis—di mana cinta lahir oleh kecenderungan emosi dan rasa. Atau dalam
penjelasan Sigmund Freud (seorang Psikoanalis) bahwa sumber utama pendorong
cinta adalah libido seksual.
Memang gagasan mengenai
naturalitas dalam cinta tidak dapat sepenuhnya disalahkan, namun jika berhenti
hanya pada penjelasan ini, yang terjadi adalah mereduksi makna cinta itu
sendiri. Nantinya segala macam gejala, fenomena, termasuk problem dalam cinta
dianggap sebagai dinamika yang natural, sehingga diterima begitu saja dan
dirasa tidak perlu dipersoalkan. Perselingkuhan juga berpotensi dianggap
sebagai hal yang natural. Misalnya dengan alasan bahwa pasangannya sudah tidak
lagi menarik (cantik atau tampan), maka menjadi wajar jika perlu untuk mencari
orang lain yang lebih menarik (cantik atau tampan). Merasa sudah tidak ada
kecocokan satu sama lain, sehingga wajar jika perlu mencari individu yang
dirasa cocok. Atau jika menggunakan penjelasan Freud, menjadi wajar jika ada
individu berpaling kepada individu lain yang lebih menggairahkan secara seksual
daripada pasangannya. Jadi, perselingkuhan dianggap sebagai sebuah panggilan
yang alamiah, di mana individu hanya mengikuti nalurinya, sehingga mereka
merasa tidak bisa disalahkan atas tindakannya.
Cinta sebagai Upaya
Argumentasi bahwa
perselingkuhan adalah hal yang natural jelas tidak bisa diterima. Naturalitas
hanyalah dalih untuk memuluskan praktik yang menodai keagungan cinta. Dinamika
biologis dan psikologis seperti yang telah dijelaskan memang benar tidak
mungkin ditolak kemunculannya, namun manusia punya kemampuan untuk menolak
mewujudkan naluri tersebut, sehingga sebenarnya individu amat sangat bisa
mencegah dorongan untuk berselingkuh. Alasan khilaf sebenarnya juga
tidak bisa diterima, karena sebenarnya manusia punya kehendak bebas (free
will), apakah ia akan berselingkuh atau tidak, keputusannya murni ada pada
dirinya.
Oleh karena itu,
penting untuk mempertimbangkan pandangan eksistensialis tentang cinta, di mana
konsepsi tentang cinta juga berada dalam kendali eksistensi manusia. Dalam
gagasan Erich Fromm cinta tidak hanya timbul dari sensasi nyaman yang natural,
tetapi juga dapat diwujudkan melalui sejumlah upaya berbasis pengetahuan,
kepedulian, tanggung jawab, dan hormat. Atau dalam pembacaan Fahruddin
Faiz (seorang penulis) atas Kahlil Gibran, di mana menurutnya cinta dapat
diupayakan dengan dasar kebebasan, keindahan, ketulusan, dan penyucian. Alain
Badiou (seorang filsuf dan novelis) juga punya gagasan yang serupa bahwa cinta
adalah petualangan yang keras kepala, bukan dalam arti saling egois, melainkan
upaya untuk benar-benar meneguhkan hati—menolak segala macam godaan—demi
bersama orang yang dicintai.
Dengan kesadaran bahwa
cinta merupakan bagian dari sebuah upaya, gagasan naturalitas atas
perselingkuhan lambat laun dapat terkikis. Memang benar bahwa cinta tidak
mungkin terlepas dari segala macam ujian dan tantangan, namun semua itu dapat
disikapi sebagai bagian dari upaya untuk semakin meneguhkan hati, rasa, serta
komitmen atas cinta.
Referensi
Badiou, Alain. 2009. Eloge de l’amour. Terjemahan
Andreas Nova. 2020. Sanjungan Kepada Cinta. Edisi Pertama. Circa:
Yogyakarta.
Faiz, Fahruddin.
2019. Dunia Cinta Filosofis Kahlil
Gibran. Cetakan ke-2. Yogyakarta: MJS Press.
Fromm, Erich.
1956. The Art of Loving. New
York: Harper & Brothers. Terjemahan Aquarina Kharisma Sari. 2018. Seni
Mencintai. Cetakan Pertama. Basabasi: Yogyakarta.