Gosip sering dikaitkan
dengan hal-hal negatif. Rumor dan fitnah contohnya, yang biasanya bermula dari
gosip yang tidak lengkap atau tidak sesuai kebenaran. Apalagi, penggunaan media
sosial membuat penyebaran informasi menjadi lebih mudah dan cepat. Dampak
negatif inilah yang menyebabkan bergosip terkadang bukan hal yang baik untuk
dilakukan. Bahkan, penelitian oleh Michelson dan Mouly berjudul Rumour and
gossip in organisations: a conceptual study (2000), menuliskan bahwa literatur
populer terkait bisnis cenderung memperlakukan gosip sebagai aktivitas yang
merugikan bagi organisasi karena dianggap membuang-buang waktu, merusak
produktivitas, dan melemahkan moral karyawan.
Padahal, bergosip
nyatanya berperan penting untuk meningkatkan kemampuan berbahasa manusia.
Kegiatan ini adalah salah satu hal yang membuat manusia ada dan berjaya sampai
sekarang.
Bergosip Membawa Kemenangan
Berdasarkan buku
Sapiens: A Brief History of Humankind (2017) karya Yuval Noah Harari, manusia
sejatinya bermakna binatang yang masuk dalam genus Homo. Terdapat beberapa
spesies Homo, namun yang tersisa hanyalah kita alias Homo Sapiens. Revolusi
kognitif yang terjadi pada 70.000 tahun lalu membuat adanya mutasi genetik pada
otak Homo Sapiens sehingga terjadi perubahan pada cara berpikirnya. Homo
Sapiens jadi memiliki kemampuan yang tidak dimiliki manusia lain, semacam
belajar, berimajinasi, atau berkomunikasi.
Bergosip adalah salah
satu kemampuan unik dari revolusi kognitif. Ternyata, sudah menjadi naluri
alamiah manusia untuk tertarik terhadap informasi sosial satu sama lain.
"...kemampuan yang
kebanyakan berisi untuk menjelek-jelekkan orang lain nyatanya penting untuk
kerja sama dalam kawanan dengan jumlah besar." (Yuval Noah Harari, 2017).
Kebutuhan bergosip
muncul karena manusia adalah makhluk sosial dan kita saling mengandalkan untuk
bertahan hidup. Bergosip membantu kita mengetahui orang yang dapat dipercaya,
bertanggung jawab, dan berkuasa dalam kelompok tertentu. Pada zaman purba,
gosip membuat leluhur kita mengetahui kondisi kawanan mereka yang berpotensi mengancam
keselamatan dan kesejahteraannya. Ketika ada pemangsa di dekatnya, gosip
membantu mereka menghindar supaya tidak menjadi korban pemangsa.
Teori bergosip ternyata
terbukti juga pada masa kini karena orang cenderung bisa lebih akrab apabila
mereka membicarakan orang lain. Berkumpul bersama teman pun rasanya belum
lengkap tanpa bergosip. Penelitian tentang percakapan manusia pada tahun 1997
oleh Robin Dunbar, dosen psikologi evolusioner di University of Oxford,
menemukan bahwa gosip menyumbang sekitar 65% bahan pembicaraan orang-orang di
tempat umum. Beliau juga berteori bahwa gosip berperan untuk memperkuat ikatan
sosial karena manusia membutuhkan cara sederhana yang efektif untuk
menyampaikan perilaku sosial di lingkungan sekitar supaya terlindung dari
perilaku buruk orang lain.
Fakta-fakta tersebut
membuktikan bahwa bergosip tidak selalu menjadi hal yang buruk. Memang banyak
sekali kejadian kontroversial yang bermula dari penyebaran gosip. Pergosipan
bisa digunakan sebagai bentuk kuasa atau manipulasi oleh pelaku sehingga bisa
menimbulkan efek negatif pada korban. Ada juga ajaran agama yang melarang
perbuatan tersebut. Namun, bergosip sudah menjadi insting alami manusia yang
berperan penting dalam menciptakan ikatan sosial. Jadi, kegiatan ini sebenarnya
wajar saja untuk dilakukan dalam keseharian kita. Gosip dapat bernilai baik
atau buruk tergantung dengan cara kita menggunakan informasi tersebut.
Penggosip yang baik tentu akan menanggung informasi yang ada supaya tidak
merugikan orang lain.
Agama, Realitas Yang
Diimajinasikan
Bicara tentang gosip
yang dilarang agama, memang agama berperan besar dalam kehidupan sebagian besar
manusia, khususnya di Indonesia. Agama memberikan harapan serta menawarkan rasa
aman kepada para penganutnya yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Setiap
agama memiliki pedoman sebagai acuan, aturan, dan prosedur kehidupan untuk
dijalani oleh para pengikutnya.
Sama seperti bergosip,
memercayai mitos layaknya agama nyatanya juga bisa membuat leluhur kita bersatu
untuk mengalahkan manusia-manusia lain. Masih berdasarkan buku Sapiens: A Brief
History of Humankind, Harari menuliskan bahwa gosip hanya bisa merangkul
maksimal 150 individu. Maka dari itu, untuk melebihi batas tersebut, Homo
Sapiens menggunakan kemampuannya dalam meyakini hal-hal yang tidak nyata.
Revolusi Kognitif ternyata membuat sejumlah orang asing bisa bersatu dengan
memercayai mitos bersama. Mitos yang dimaksud tidak hanya agama, melainkan
sistem ketatanegaraan, peraturan undang-undang, hak asasi manusia, dan hal-hal
yang tak berwujud lainnya. Semua ini hanyalah imajinasi yang diciptakan dan
diyakini manusia supaya mau saling berkompromi untuk mencapai tujuan bersama.
Bayangkan betapa sulitnya mengatur miliaran manusia apabila kita hanya mampu
bicara tentang hal-hal nyata, semacam langit, semut, dan pohon.
Namun, bagaimana dengan
mereka yang tidak beragama layaknya ateis?
Saat ini sudah ada
orang-orang yang tidak memercayai agama layaknya ateis. Penelitian Arqom
Kuswanjono berjudul Ketuhanan Dalam Telaah Filsafat Perenial : Refleksi
Pluralisme Agama di Indonesia (2006) menunjukkan beberapa alasan orang menganut
paham ateisme, salah satunya dengan masih terjadinya kejahatan di dunia. Mereka
percaya bahwa seharusnya Tuhan menghapus penderitaan dan kekerasan di dunia
karena Tuhan Mahakuasa dan Mahakasih serta mengajarkan nilai-nilai kebaikan.
Namun karena kenyataannya masih ada kekerasan, maka mereka beranggapan bahwa
Tuhan tidak memiliki sifat-sifat tersebut. Alasan ini menunjukkan bahwa ateis
menolak percaya dengan keberadaan Tuhan bukan karena Tuhan tidak berwujud,
melainkan karena mereka merasa sifat Tuhan serta nilai-nilai yang diajarkan
tidak sesuai dengan apa yang mereka lihat dan yakini, yaitu masih adanya
kejahatan di dunia. Ekspektasi mereka terhadap sifat Tuhan bersifat fiksi alias
tidak nyata yang disebabkan karena realitas yang ada tidak sesuai dengan apa
yang mereka harapkan.
Hidup Dalam Keberagaman
Memang, perbedaan
kepercayaan seperti ini sering menimbulkan kontroversi karena manusia percaya
bahwa keyakinan yang dianutnya adalah kebenaran yang tunggal. Melihat bahwa
terdapat kepercayaan lain dengan prinsip yang berbeda membuat munculnya
perbedaan pendapat yang dapat mengarahkan manusia terhadap pertikaian apabila
tidak ditanggapi dengan bijak.
Padahal, menurut Ibnu
Rusyd, penulis artikel Membaca Fenomena Agama Lewat Teori Yuval Noah Harari
(2021) di situs ibTimes, teori agama sebagai fiksi bisa dikembangkan menjadi
kisah-kisah yang beragam karena kreativitas kognitif manusia. Dengan kemampuan
kognitif yang unggul, manusia bisa membuat dan mengembangkan berbagai versi
kepercayaan, karena kepercayaan tersebut hanyalah fiksi belaka yang diciptakan
dan diyakini oleh manusia itu sendiri. Seharusnya dengan adanya kemampuan ini,
manusia juga bisa bersikap bijak dalam menanggapi keberagaman di dunia.
Jadi, setiap pilihan
terkait kepercayaan agama adalah pilihan yang wajar. Tidak ada pilihan yang
salah atau benar, karena setiap kepercayaan memiliki nilai kebenaran tertentu
bagi penganutnya. Kembali lagi terhadap bagaimana kita menggunakan kemampuan
kognitif kita dengan bijak dalam menanggapi pluralitas kepercayaan manusia di
dunia.
Dibalik kehadirannya
yang kadang menimbulkan kontroversi, gosip dan keyakinan kita terhadap mitos
ternyata melatarbelakangi kejayaan kita sampai sekarang. Kedua hal tersebut
juga melatarbelakangi hadirnya berbagai keyakinan religi serta keunikan dalam
berkomunikasi karena perkembangan cara berpikir kita yang kritis, unggul, dan
unik. Namun, keberagaman ini menyebabkan rawan sekali terjadi percekcokan
karena adanya perbedaan. Padahal, keberagaman tersebut adalah bukti bahwa
manusia memiliki kemampuan hebat yang tidak dimiliki makhluk lain. Maka,
gunakanlah kemampuan kita yang luar biasa ini secara bijak, sesuai dengan
sebutan kita sebagai Homo Sapiens alias Manusia Bijak.