STIPENDIUM & IURA
STOLAE, serta HONOR
Dalam KATEKESE
LITURGI berbicara tentang “kolekte”
sehubungan dengan penjelasan Bahan Persembahan dalam perayaan Ekaristi. Saya hanya
mau mengi-ngatkan kembali dan sedikit menjelaskan apa makna kolekte dan
pelaksanaannya. Saya katakan pada waktu itu demikian an-tara lain disebutkan:
((Catatan penting:
1. Kolekte adalah
bagian persembahan umat kepada Tuhan da-lam Misa. Kolekte bukan sumbangan untuk
dana atau kegiatan gereja. Ini dua hal yang berbeda. Maka kolekte tidak perlu
di-umumkan jumlahnya. Hak pengelolaannya adalah keuskupan, walaupun mungkin
saja kemudian keuskupan mempercayakan kepada paroki dalam penggunaannya dengan
aturan-aturan khusus yang sudah ditetapkan oleh pihak keuskupan. Sedang-kan
“kolekte ke dua” sebenarnya tidak ada, kalau toh diadakan (dengan izin Uskup)
sebaiknya tidak disebut ‘kolekte ke-2’ me-lainkan memakai nama yang berbeda
supaya tidak rancu dan membingungkan. Sebagaimana kita ketahui maksud dan
tujuan “kolekte ke-2” biasanya untuk sumbangan kegiatan gereja, atau bantuan
untuk membangun (fasilitas) gereja, dlsb. Maka, bisa saja kita namakan atau
kita katakan ”akan ada pengumpulan dana gereja untuk (?)……..maka dari itu akan
diedarkan kantong berwarna…. Mohon partisipasi umat”, misalnya.
2. Kolekte melambangkan
partisipasi umat dalam kurban dan menyatakan tanggung jawabnya terhadap
keperluan ibadat, ke-perluan umat, dan keperluan-keperluan sosial. Jumlah
petugas kolekte harus cukup banyak, agar pengumpulan kolekte tidak makan
terlalu banyak waktu. Hendaknya diusahakan supaya para petugas dipilih dari
kalangan umat yang terhormat, yang selalu siap pada waktunya, berpakaian
bersih, cermat dan jujur (Pedoman Pastoral Untuk Liturgi – PPUL 35). Sangat
dianjurkan supaya jemaat, termasuk juga para pelayan liturgi, turut
berpartisipasi dalam mem-berikan kolekte. ))
Dari dua catatan di
atas dapatlah ditekankan kembali bahwa memang demikianlah bahwa kolekte itu
(termasuk) merupakan persembahan kepada Allah, kalau dulu “in natura” sekarang
berbetuk “uang”. Karena apa? persembahan “in natura” tidak praktis, tetapi
kalau hanya roti dan anggur serta kolekte “uang” seperti sekarang sangatlah
praktis. Kemudian, menjadi lucu kalau persembahan kepada Allah “ditarik
kembali” untuk kegiatan yang sedang berlangsung, misal untuk biaya makan dan
mi-num, atau stipendium, atau yang lain, padahal sudah dipersembahkan kepada
Allah. Kolekte bukanlah pengumpulan dana, seperti untuk pendidikan para calon
imam, atau perluasan gereja, atau penggalangan dana untuk pembangunan yang
sering diminta oleh paroki-paroki lain atas izin Uskup. Itu yang umum disebut
“kolekte ke dua”. Is-tilah kolekte kedua sebenarnya kurang tepat, lebih baik
dana gereja atau dana untuk keperluan apa walaupun penyebutan dengan nama itu
tidak praktis dibandingkan dengan sebutan “kolekte kedua”. Lalu tetap ada
kolekte “pertama”, selalu ada dan tidak boleh dihilangkan tanpa izin bapak
Uskup. Nah, kalau kolekte merupakan per-sembahan kepada Allah, lalu kemana
larinya? Semua kolekte misa diserahkan kepada keuskupan melalui paroki.
Keuskupanlah yang berhak mengatur penggunaannya ser-ta pembagiannya untuk
kegiatan apa, bukan paroki, atau umat setempat. Maka sa-lahlah kalau kita (umat)
berfikir bahwa kolekte itu seperti “tabungan”, sewaktu-waktu ditarik kembali
bila diperlukan. Ingat sekali lagi bahwa kolekte adalah persembahan kepada
Allah. Maka seluruh kolekte misa di mana pun hendaknya diserahkan kepada
keuskupan melalui paroki dan tidak layak ditarik kembali untuk biaya
kegiatan-kegia-tan tertentu karena uang kolekte sudah dipersembahkan kepada
Allah. Kalau seandai-nya kelompok-kelompok kategorial membutuhkan dana untuk
kegiatannya silahkan mengedarkan “kantong rahasia” atau apa namanya setelah
misa, jadi bukan “kolekte” (persembahan kepada Allah) di dalam misa. Saya harap
ini bisa dipahami dengan baik dan benar. Ini bukan aturan baru tetapi justru
aturan lama yang hampir dilupakan karena tidak pernah lagi dikatekesekan kepada
umat.
Lalu bagaimana dengan
STIPENDIUM dan IURA STOLE? Pertama-tama harus di-ingat bahwa Gereja tidak
pernah jualan sakramen. Maka salahlah kalau ada umat yang mengatakan bahwa
pelayanan sakramen Ekaristi atau sakramen-sakramentali “ma-hal”. Mengapa?
Karena baik itu Iura Stolae dan Stipendium itu sifatnya SUKARELA. Bahkan kalau
ada umat yang tidak mampu memberikan kedua hal tersebut, Pastor/ Romo harus
melayani mereka (‘intentio pro populo’). Nah, kalau ada oknum (siapa pun
mereka) yang mengatakan pelayanan misa harus dengan uang stipendium atau iura
stolae “sekian” … Ketahuilah bahwa sampai sekarang gereja belum bahkan tidak
memasang tarif untuk pelayanan itu, karena memang gereja tidak “jualan”
sakramen, mengkomersialkan pelayanan sakramen-sakramentali.
Yang namanya STIPENDIUM
adalah hanya diberikan kepada imam kalau memper-sembahkan Misa kudus sedangkan
IURA STOLAE kalau seorang imam melayani dalam pelayanan sakramen-sakramentali
di luar atau di dalam Misa kudus. Lalu bagaimana dengan HONOR kalau imam itu
memberikan, misalnya, pengajaran atau pimpin reko-leksi kepada kelompok
tertentu? Yang dari luar paroki/keuskupan kiranya wajib di-berikan honor itu,
tetapi bagi imam dari parokinya sendiri ingatlah bahwa yang nama-nya pengajaran
(pewartaan), pengudusan, dan memimpin itu sudah menjadi tugas kewajibannya
dalam membantu Uskup setempat di paroki tertentu di mana ditugas-kan. Jadi,
menurut saya, rasanya “kurang pas” kalau masih diberi honor karena “pengajaran”
itu sudah merupakan kewajiban/tugasnya di mana imam itu di “benum”
(ditugaskan), kecuali, misal, kalau imam paroki Cilandak memberikan pengajaran
atau memimpin rekoleksi di luar parokinya. Maka sekali lagi, kiranya hal-hal di
atas men-jadi jelas bagi kita semua.*** st-stefanus.or.id