Munculnya Simony
Dalam beberapa abad
pertama M, hampir tidak ada contoh simoni di antara orang Kristen. Status
Kekristenan sebagai agama yang ilegal dan tertindas berarti bahwa hanya ada
sedikit orang yang cukup tertarik untuk mendapatkan sesuatu dari orang Kristen
sehingga mereka akan membayarnya lebih mahal. Tetapi setelah agama Kristen menjadi agama resmi kekaisaran Romawi barat ,
yang mulai berubah. Dengan kemajuan kekaisaran sering tergantung pada
asosiasi-asosiasi Gereja, semakin kurang saleh dan lebih banyak lagi tentara
bayaran mencari kantor-kantor Gereja untuk prestise dan keuntungan ekonomi yang
menyertainya, dan mereka bersedia membelanjakan uang untuk mendapatkannya.
Percaya bahwa simony
dapat merusak jiwa, pejabat gereja yang tinggi berusaha untuk menghentikannya.
Perundang-undangan pertama yang diloloskan adalah di Dewan Kalsedon pada tahun
451, di mana pembelian atau penjualan promosi kepada ordo suci, termasuk
keuskupan, imamat, dan diakonat, dilarang.
Masalahnya akan
diangkat di banyak dewan masa depan karena, selama berabad-abad, simoni menjadi
lebih luas. Akhirnya, perdagangan keuntungan, minyak diberkati atau benda-benda
suci lainnya, dan membayar massa (selain dari penawaran resmi) termasuk dalam
pelanggaran simony.
Di Gereja Katolik Abad
Pertengahan, simony dianggap sebagai salah satu kejahatan terbesar, dan pada
abad ke-9 dan 10 itu adalah masalah khusus.
Terutama di
daerah-daerah di mana para pejabat gereja ditunjuk oleh para pemimpin sekuler.
Pada abad ke-11, paus reformasi seperti Gregorius VII bekerja
keras untuk menghapus praktik, dan memang, simony mulai menurun. Pada abad
ke-16, insiden simoni sedikit dan jarang.
Pandangan AlKitab
Terhadap Simony
Simony berasal
dari nama seorang tukang sihir Samaria yang ditobatkan rasul Filipus dan
dihardik karena ingin memberi uang untuk menerima karunia Roh (Napel, 2006:
291). Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Al-Kitab Perjanjian Baru, Kis
(Kisah Para Rasul) 8: 9-25 yang berbunyi: Seorang yang bernama Simon
telah sejak dahulu melakukan sihir di kota itu dan mentakjubkan rakyat Samaria,
serta belagak seolah-olah ia seorang yang sangat penting. Semua orang, besar
kecil, mengikuti dia dan berkata: “Orang ini adalah kuasa Allah yang terkenal
sebagai kuasa besar.Dan mereka mengikutinya, karena sudah lama ia mentakjubkan
mereka oleh perbuatan sihirnya. Tetapi sekarang mereka percaya kepada Filipus
yang memberikan Injil tentang kerajaan Allah dan tentang nama Yesus Kristus,
dan mereka memberi diri mereka dibaptis, baik laki-laki maupun perempuan. Simon
sendiri juga menjadi percaya, dan sudah dibaptis, ia senantiasa bersama-sama
dengan Filipus, dan takjub ketika ia melihat tanda-tanda dan mujizatmujizat
besar yang terjadi. Ketika rasul-rasul di Yerusalem mendengar, bahwa tanah
Samaria telah menerima firman Allah, mereka mengutus Petrus dan Yohanes ke
situ. Setibanya di situ kedua rasul itu berdoa, supaya orang-orang Samaria itu
beroleh Roh Kudus. Sebab Roh Kudus belum turun di atas seorang pun di antara
mereka,karena mereka hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Kemudian keduanya
menumpangkan tangan di atas mereka, lalu mereka menerima Roh Kudus. Ketika
Simon melihat, bahwa pemberian Roh Kudus terjadi oleh karena rasul-rasul itu
menumpangkan tangannya, ia menawarkan uang kepada mereka, serta berkata:
“Berikanlah juga kepadaku kuasa itu, supaya jika aku menumpangkan tanganku di
atas seseorang, ia boleh menerima Roh Kudus.” Tetapi Petrus berkata kepadanya:
“Binasalah kiranya uangmu itu bersama dengan engkau, karena engkau menyangka,
bahwa engkau dapat membeli karunia Allah dengan uang. Tidak ada bagian atau
hakmu dalam perkara ini, sebab hatimu tidak lurus dihadapan Allah. Jadi
bertobatlah dari kejahatanmu ini dan berdoalah kepada Tuhan, supaya Ia
mengampuni niat hatimu ini. Sebab kulihat, bahwa hatimu telah seperti empedu
yang pahit dan terjerat dalam kejahatan.” Jawab Simon: “Hendaklah
kamu berdoa untuk aku kepada Tuhan, supaya kepadaku jangan kiranya terjadi
segala apa yang telah kamu katakan itu.” Setelah keduanya bersaksi dan
memberitakan firman Tuhan, kembalilah mereka ke Yerusalem dan dalam
perjalanannya itu mereka memberitakan injil dalam banyak kampung di Samaria
(Lembaga Alkitab Indonesia, 2003: 152).
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah timbulnya simony
berawal dari seorang tokoh yang bernama Simon Magus, ia adalah seorang penyihir
Samaria yang ingin menukarkan uangnya untuk memperoleh karunia-karunia Roh dari
Petrus dan Yohanes. Hal ini yang menyebabkan Simon dihardik oleh Petrus sesuai
dengan apa yang dikatakan dalam Perjanjian Baru Kis 8:9-25 di atas. Oleh sebab
itu simony memiliki pengertian menjual-belikan hal-hal yang bersifat rohani,
misalnya : jabatan gereja. Bahkan dikatakan bahwa simony merusak hidup dan
wajah gereja maka perbuatan semacam ini selalu dikutuk menurut Al-Kitab
(Perjanjian Baru).
Latar Belakang dan
Pengaruh Simoni Dalam Gereja
Tindakan simony
lebih kental terjadi pada abad kesebelas. Dimana pada abad kesebelas ada
semacam kemajuan selama pencerahan Carolingian tetapi kemajuan itu terbukti
tidak solid. Gerakan pembaharuan pada tahap awal dipicu oleh dorongan moral.
Dimana pendeta biasa dan pendeta istana terjebak dalam tindakan buruk. Dan
orang yang paling mulia berusaha menjadikan mereka untuk hidup sesuai dengan
prinsip yang mereka yakini. Tetapi di balik motif moral murni ini, ada motif
lain yang tanpa disadari terlihat jelas, yaitu motif pemisahan antara pendeta
dan orang awam. Pemisahan ini memiliki dua aspek yaitu aspek doktrinal dan
aspek politik. Aspek politik tergantung pada aspek doktrinal. Dua tokoh di atas
Santo Agustinus dan Thomas Aquinas merupakan beberapa tokoh yang berpengaruh
besar dalam memperjuangkan adanya doktrin yang diciptakan oleh para Bapak
Gereja.
Baru pada abad
kesebelas, tahun 1079, doktrin ini menjadi ajaran agama. Kekuasaan lembaga
kependetaan secara keseluruhan hanya bisa dipertahankan dengan pengorbanan yang
sangat besar di pihak pendeta-pendeta. Dua kejahatan yang ingin dihapuskan oleh
para pembaharu gereja adalah penjualan atau pembelian barang-barang suci
(simony). Adapun macam-macam tindakan dari simony, diantaranya yaitu:
Wewenang Pendeta
Karena
kekuasaan langit yang mereka miliki, pendeta bisa menentukan apakah seseorang
masuk surga atau masuk neraka. Jika orang itu mati dalam keadaan sendiri, ia
masuk neraka, jika ia mati setelah pendeta melakukan semua upacara yang
diperlukan, ia akhirnya akan masuk surga asalkan ia benar-benar bertobat dan
mengakui dosanya. Tetapi, sebelum masuk surga ia akan menjalani hukuman di api
penyucian dosa untuk beberapa lama, mungkin untuk waktu yang sangat lama.
Pendeta bisa memperpendek siksaan ini dengan mendoakan rohnya, jika mereka
bersedia melakukan dengan bayaran uang tertentu (Russel, 2007: 544).
Mesti
dipahami bahwa semuanya ini benar-benar diyakini secara teguh baik oleh pendeta
maupun masyarakat awam sendiri, dan bukan sekedar ajaran yang ditetapkan secara
resmi. Berulang kali, kekuasaan langit pendeta memberi mereka kemenangan
terhadap raja-raja yang kuat di mata rakyat mereka. Namun demikian, kekuasaan
ini terbatas pada dua hal : dengan memecah nafsu di pihak orang awam yang marah
dan dengan pembagian di antara para pendeta. Warga Roma, sampai pada masa Paus
Gregory VII, tidak begitu menghormati orang yang ditunjuk menjadi paus. Mereka
terkadang menculiknya, kapan saja perselisihan kelompok yang sengit yang
terjadi dalam masyarakat menuntut mereka melakukan hal tersebut. Bagaimana
tindakan ini sejalan dengan keyakinan mereka ? Jelas, sebagian dalam anggapan
bahwa orang bisa bertobat di tempat tidur sebelum meninggal. Alasan lain, yang
lebih banyak berlaku di wilayah lain dibandingkan di Roma, bahwa raja-raja bisa
menyetir uskup-uskup menurut kehendak mereka di dalam kerajaan mereka, dan
dengan demikian, mengamankan karisma kependetaan untuk menyelamatkan mereka
dari kutukan (Russel, 2007: 545).
Warisan Jabatan Anak Gereja Kepada Anak
Hal
yang hampir sama berlaku dalam kehidupan selibat pendeta. Para pembaru abad
kesebelas sering berbicara tentang “pengundikan” meskipun kata yang lebih tepat
“perkawinan”.Para uskup sebagian besar merujuk pada perintah St. Paulus: “seorang uskup karenanya mesti tidak
bersalah, suami dari satu istri.” Ketika pendeta kawin, mereka secara
alamiah berusaha mewariskan kekayaan gereja kepada anak-anak mereka. Langkah
pertama dari partai reformasi, ketika mereka berkuasa, adalah mencegah
pentahbisan anak-anak pendeta. Tetapi pada masa penuh gejolak, masih ada bahaya
bahwa, jika pendeta mempunyai anak laki-laki, mereka akan berusaha menemukan
cara untuk memindahkan hak tanah-tanah gereja secara tidak syah. Disamping
pertimbangan ekonomi ini, juga terdapat kenyataan bahwa, jika pendeta adalah
kepala keluarga seperti halnya tetangga-tetangganya, ia cenderung tidak bisa
memisahkan diri dari keluarga mereka. Paling tidak sejak abad kelima dan
seterusnya, muncul tuntutan yang intens akan hidup membujang, dan jika pendeta
ingin mengajarkan ketaatan di atas mana kekuasaan mereka tergantung, sangat
berguna jika mereka mestinya dipisahkan dari komunitas lain dengan tidak kawin
(Russel, 2007: 547).
Begitu
banyak para paus terdahulu melakukan semua bentuk penyelewengan. Banyak di
antara mereka melakukan perkawinan. Meski tetap berpura-pura menjalankan madat
(tidak kawin atau celibacy), telah
menempatkan gundik-gundiknya di Vatikan dan mempromosikan anak-anak haramnya
atau “keponakan” sebagaimana yang
dikenal di gereja, menduduki jabatan tinggi (Cawthome, 2001: i). Contohnya:
Paus Anastasius I (399-401) memiliki seorang putra yang menjadi pembantunya (deacon), kemudian menggantikan ayahnya
sebagai Paus Innocent I (401-417). dan salah satu putra pendeta lainnya yang
menjadi paus yaitu Boniface I (418-422).
Pesta Seks Bebas (Orgy)
Bahkan
pada suatu masa ketika perilaku tidak senonoh kalangan gereja (Katolik)
memenuhi berita-berita utama surat kabar, tetap saja sulit membayangkan Paus
Yohanes II dilayani oleh kepala biarawati, sementara para kolega kardinalnya
hanya terpaku melihatnya, dan terdapat pula paus-paus gay yang menjadikan kardinalnya sebagai pasangan kencannya. Secara
menyolok terdapat paus-paus yang melakukan hubungan secara acak tanpa memilih
jenis pasangan dari kedua belah pihak. Pesta seks bebas (orgy) bukan merupakan suatu yang aneh di istana kepausan. Seorang
paus menjalankan usaha pelacuran di seberang istana Lateran. Beberapa paus
meningkatkan pendapatan mereka dengan menarik pajak dari para pelacur Roma.
Lainnya mengobral penebusan dosa kepada kalangan pendeta (Katolik) dalam bentuk
pajak dosa yang membolehkan mereka menyimpan gundiknya, dengan syarat membayar
upeti tahunan. Gereja Katolik telah berupaya mati-matian menyembunyikan aib ini
(Cawthome, 2001: i-ii).
Penjualan Surat Pengampunan Dosa (Indulgensia)
Indulgensia
itu timbul dari praktek pengakuan dosa. Gereja mulai mengajarkan bahwa
indulgensia itu bukan saja menghapuskan hukuman gereja yang harus ditanggung
dalam hidup ini, tetapi juga meniadakan siksa-siksa yang harus diderita dalam
api penyucian. Sebab itu orang ingin sekali mendapat indulgensia yang
dijanjikan oleh gereja itu, karena takutnya amat sangat terhadap api penyucian
itu. Praktek indulgensia Gereja Roma lebih meluas lagi, ketika penghapusan itu
bukan saja boleh di dapat berdasarkan amalan manusia, tetapi kemudian dijual
pula, boleh dibeli dengan uang. Jika kita ingat kelobaan paus dan klerus, yang
tak putus-putusnya membutuhkan banyak sekali uang, kita tak merasa heran bahwa
penjualan penghapusan siksa itu kemudian dijadikan perdagangan Gereja secara
internasional, teristimewa tatkala dimaklumkan oleh Gereja bahwa selain dari
siksa diri yang bersangkutan dalam api penyucian itu, maka siksa keluarga yang
sudah meninggal pun dapat dikurangi. (Entah berapa tahun orang yang sudah
meninggal perlu untuk menebus hutangnya dalam api itu tak dapat diketahui atau
dipastikan di bumi ini). Dengan segera rakyat Kristen menyamakan penghapusan
siksa itu dengan pengampunan dosa, karena sudah tentu bahwa kedua perkara itu
berhubungan rapat. Akhirnya orang menyangka, bahwa penyesalan yang benar tidak
perlu lagi, asal saja dibayar uang cukup untuk indulgensia itu. Dengan jalan
demikian maka pembebasan manusia dari dosanya dipermudah sekali. Sebenarnya
anggapan praktek pandangan yang sesat itu kurang dilawannya, dan kesalahan
memakai indulgensia itu pun tidak diberantasnya. Lebih buruk lagi percobaan theologia
gereja untuk membenarkan indulgensia itu. Yesus telah memperoleh jasa yang tak
terhingga besarnya, oleh pekerjaan dan kematianNya. Orangorang yang kudus juga
sudah mengumpulkan jasa lebih dari kebutuhannya sendiri untuk keselamatan yang
kekal (Berkhof dan Enklaar, tt: 117). Lukas 17: 10: demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu
yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata : Kami adalah hamba-hamba yang
tidak berguna, kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.
Contoh
penjual-belian surat penghapusan dosa, yaitu Uskup Agung Albrecht dari Mainz
mengambil dua daerah uskup yang lain. Pada waktu itu tidak ada uskupnya,
sehingga ia menerima pendapatan uang tiga kali ganda. Paus Leo X sudah tentu
tak mau mengizinkan itu, kecuali jika....Jikalau Albecht membayar sejumlah uang
besar kepada paus. Simony gereja itu seperti biasa saja pada zaman itu.
Banyaknya uang yang diminta paus itu kurang dari 10.000 uang keping emas.
Jumlah ini dipinjam oleh Albrecht dari bank Fugger di Ausburg, tetapi kemudian
susah baginya untuk melunasinya. Lalu paus menyarankan kepadanya untuk
memperdagangkan surat penghapusan siksa secara besarbesaran di Jerman. Separuh
dari hasilnya boleh dipakai oleh Albrecht untuk membayar hutangnya, dan
separuhnya lagi hendaknya di kirim ke Roma untuk pembangunan gedung gereja
Santa Petrus, yang sangat besar dan indah. Demikianlah dilakukan menurut
permupakatan paus Leo X dan Albrecht, tetapi perjanjian itu tidak diketahui
oleh umat Kristen, Luther pun tidak mengetahuinya. Tetapi cara menjalankan hal
itu pun mau tidak mau menimbulkan pertanyaan dan curiga. Surat kuasa yang
diberi Albrecht kepada para penjual surat penghapusan itu menimbulkan sangkaan,
bahwa indulgensi itu bukanlah hanya penghapuskan siksa, tetapi dapat pula
menebus dosa. Kepala penjual, Johan Tetzel namanya, seorang Dominican,
mengadakan propaganda besar dan mengosongkan dompet rakyat Jerman untuk mengisi
pundi-pundi Albrecht dan Leo X. Syarat indulgensia, yaitu penyesalan yang
sungguh-sungguh, tidak disebut lagi. Pembeli-pembeli mengaku dosanya kepada
rahib-rahib yang sama sekali tidak mereka kenal, rahib-rahib itu turut dengan
Tetzel untuk melancarkan penjualan surat indulgensia. Dengan demikian
pemeliharaan jiwa dan sakramen pengakuan dosa dipermainkan saja, tetapi tidak
mengapa asal saja banyak uang masuk. Menurut keterangan Tetzel, surat
penghapusan itu mendatangkan hasil yang sangat besar, baik bagi pembeli
sendiri, maupun untuk keluarganya dalam api penyucian. Kata Tetzel : “Kalau uang berdenting di dalam peti,
melompatlah jiwa itu ke dalam Sorga!” dan lagi : “Belum pernah rahmat sebesar itu ditawarkan gereja dengan harga semurah
ini!” Oleh karena surat penghapusan siksa itu dapat ditunjukkan juga kepada
imam pada jam kematian, maka pada sangka orang, bolehlah mereka berbuat dosa
sampai pada hari ajalnya (Berkhof dan Enklaar, 2007: 126-127). Bahkan paus
berani mendeklarasikan bahwa surat pengampunan dosa itu dapat menghapus dosa
orang-orang, yakni sanak keluarga, sahabat dan lainnya yang telah meninggal
dunia (Syam, 2010: 87).
Berdasarkan
penjelasan di atas, gereja mulai mengajarkan bahwa indulgensia bukan saja
menghapus hukuman gereja yang harus ditanggung dalam hidup ini, tetapi juga
meniadakan siksa yang harus di derita dalam api penyucian, sebab itu orang
ingin sekali mendapat indulgensia yang dijanjikan oleh gereja. Praktek
indulgensia lebih meluas lagi saat penghapusan itu bukan saja boleh di dapat
berdasarkan amalan manusia, tetapi dijual pula (boleh dibeli dengan uang).
Selain dari siksa diri yang bersangkutan dalam api penyucian itu, siksa
keluarga yang sudah meninggalpun, dapat di kurangi. Betapa sikap iman injili
sudah merosot sekali sekarang kesalehan tidak lain dari pada usaha kerajinan
manusia untuk melunasi hutangnya di sorga. Contohnya penjual-belian surat
penghapusan siksa yang dilakukan Uskup Albrecht dari Mainz. Awalnya Paus Leo X
sudah tentu tak mengizinkan, kecuali jika Albrecht membayar sejumlah uang besar
kepadanya. Simony gereja seperti biasa saja. Banyak uang yang di minta paus
kurang dari 10.000 uang keping emas. Jumlah ini dipinjam Albrecht dari Bank
Fugger di Ausburg tapi ia sulit untuk melunasinya, sehingga paus menyarankan
untuk memperdagangkan surat penghapusan dosa secara besar-besaran di Jerman.
Separuh hasilnya untuk membayar hutang Albrecht dan separuhnya lagi hendak di
kirim ke Roma untuk pembangunan gedung gereja Santa Petrus, demikian
permupakatan antara Albrecht dan paus Leo X. Dengan Johan Tetzel sebagai kepala
penjual surat penghapusan siksa yang menyebabkan mengosongnya uang rakyat
Jerman untuk mengisi pundi-undi Albrecht dan Paus Leo X.
Simony,
tentu saja adalah dosa. Tetapi ini bukan satu-satunya alasan. Ia (simony)
menyebabkan kekuasaan gereja ditegakkan oleh kekayaan, bukan kebaikan. Ia
memberikan wewenang orang dalam menunjukkan uskup, dan ketundukan gereja pada
penguasa sekuler, dan ia cenderung menjadikan gereja sebagai bagian dari sistem
feudal (Russel, 2007: 546).
Berdasarkan
penjelasan dari macam-macam simony di atas, dapat disimpulkan bahwa simony bisa
dilakukan dengan cara menukar tanah, emas, perak, uang, bahkan dengan cara
pengundikan sekalipun. Tidak hanya itu jabatan gereja juga bisa diwariskan
kepada anak laki-laki pendeta. Simony adalah dosa, tetapi bukan satu-satunya
alasan yang menyebabkan kekuasaan gereja ditegakkan oleh kekayaan bukan
kebaikan. Simony cenderung menjadikan gereja sebagai bagian dari sistem feodal.
Kesimpulan
Dari penjelasan
di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu:
pertama, Simony merupakan
tindakan menjual-belikan hal-hal yang bersifat rohani. Dosa simony misalnya
menjual-belikan jabatan gereja atau sakramen. Istilah simony berasal dari nama
Simon Magus yang merupakan seorang tukang sihir di Samaria yang telah
ditobatkan oleh Filipus, dan dihardik oleh Petrus karena ingin memberi uang
untuk menerima karunia roh.
Kedua,
Latar belakang simony bermula saat paus takut ditaklukkan oleh suku Barbar.
Paus bersekutu dengan suku Frank. Tetapi saat Dinasti Carolingian merosot. Paus
mengambil keuntungan yang menyebabkan aristokrasi Roma bebas, dan mengendalikan
kepausan dengan akibat yang menghancurkan.
Daftar Pustaka
Berkhof dan
Enklaar. (2007). “Sejarah Gereja”. Jakarta: Gunung Mulia.
Cawthorne,
Nigel. (2001). Skandal Asmara Wakil Yesus
: Pesta Seks Ala Vatikan. Surabaya: Credo Press.
Lembaga Alkitab
Indonesia. (1997). Alkitab. Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia.
Napel,
Henk Ten. (2006). “Kamus Teologi: Inggris-Indonesia”, Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
O’Collins,
Gerald, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ. (1996). Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius.
Russell,
Bertrand. (2007). Sejarah Filsafat Barat:
Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Syam, Firdaus.
(2010). Pemikiran Politik Barat: Sejarah,
Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia ke-3. Jakarta: Bumi
Aksara.