Seakan kehabisan tren,
kita cenderung mengulang sesuatu yang sempat ramai di masa lalu. Tren yang
berputar bak siklus ini, terjadi pada fashion, gaya pakaian, rambut, hingga
mainan anak. Dari siklus yang berputar ini, lato-lato sekarang kembali
menghampiri kita, -atau sebaliknya- kita yang memunculkannya kembali.
Sejak akhir tahun 2022
lalu, masyarakat Indonesia sedang ramai dengan kembalinya permainan lama, yang
dikenal dengan berbagai nama di berbagai daerah. Ada yang menyebut mainan ini
latto-latto, kato-kato, tek-tek dan semacamnya.
Permainan yang terdiri
dari dua bola plastik padat yang dihubungkan oleh seutas tali yang dimainkan
dengan cara memegang titik tengah tali penghubung dan kemudian membenturkan
kedua bola plastik di poros yang sama. Hal ini membuat mainan ini mengeluarkan
suara yang khas.
Mainan ini membuat saya
kembali mengingat ke masa saya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) ketika
mainan ini ramai dimainkan anak seusia kami. Namun faktanya mainan ini tidak
berawal pada tahun 2000an ketika saya SD. Mainan ini pada tahun 1960an telah
dikenal luas di Amerika Serikat dengan nama Clacker Balls.
Siklus (Tren) Sosial
Teori Siklus Sosial
yang dipopulerkan Oswald Spengler hingga Ibnu Khaldun kerap dikaitkan dengan
pengulangan pada tren masa lalu yang kemudian diminati kembali di masa sekarang
atau di masa depan.
Sebelum membicarakan
tren mainan, salah satu contoh spesifik adalah tren fashion atau gaya pakaian.
Pada teori mode (fashion) yang dibahas oleh George B. Sproles (1981) dalam
risetnya yang berjudul Analyzing Fashion Life Cycles: Principles and
Perspectives, tren mode berkaitan dengan berbagai faktor seperti psikologis,
sosiologis, ekonomi, komunikasi, dan lingkungan. Siklus perubahan mode terbagi
dalam siklus panjang dan siklus pendek. Mode akan berubah mengikuti siklus
musim tren tertentu, siklus ekonomi dan hingga siklus perubahan lingkungan
sosial. Lalu bagaimana dengan mainan?
Tidak jauh berbeda.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya lato-lato atau clacker balls bukan hal
baru. Permainan ini telah dikenal lebih dulu di Amerika Serikat dan juga sangat
ramai dimainkan anak-anak di Amerika Serikat pada tahun 1960-1970an. Bukan
hanya di Amerika, mainan ini bahkan telah di export ke berbagai negara pada
tahun tersebut, dan tidak menutup kemungkinan juga sempat tren di Indonesia
pada tahun yang sama.
Kemudian, trend pun
terulang ketika pada masa saya duduk di bangku SD sekitar tahun 2002 hingga
2005. Di mana kami pun kembali memainkan permainan yang sama, karena lingkungan
kami memainkannya, hingga akhirnya redup lagi dan digantikan dengan mainan yang
lain. Dan siklus itu pun kembali terulang di akhir tahun 2022 hingga sekarang
awal tahun 2023.
Bukan tanpa sebab,
mainan seperti ini tidak hadir begitu saja. Ada perkembangan yang sangat terasa
dari waktu ke waktu di mana masyarakat -utamanya anak-anak- memainkan permainan
jenis baru yang tentu didukung oleh industri mainan dan juga diberikan ruang
yang nyaman oleh media baru atau internet. Bisa kita ingat perkembangan
permainan yang juga sempat viral seperti finger spinner, squishy, pop it, pop
light, hingga sekarang clacker balls atau lato-lato.
Bukan tanpa sebab,
mainan seperti ini tidak hadir begitu saja. Ada perkembangan yang sangat terasa
dari waktu ke waktu di mana masyarakat -utamanya anak-anak- memainkan permainan
jenis baru yang tentu didukung oleh industri mainan, dan juga diberikan ruang
yang nyaman oleh media baru atau internet.
Dikutip dari tulisan
Sarah Slobin (2016) dengan judul Clacker balls: the exploding toy from the
1970s that is responsible for a generation of helicopter parents, pada akhir
1960-an orang-orang di Amerika sedang kecanduan bermain clacker balls.
Permainan saat digunakan mengeluarkan suara yang khas, membuat orang kecanduan
dan pada akhirnya cenderung membahayakan pemain dan sekitarnya karena dapat
menyakiti tangan atau wajah anak-anak yang menggunakannya jika terkena kedua
bola plastik yang padat tersebut. Itulah sebabnya mainan ini dilarang pada
tahun 1970an.
Tepatnya tahun 1976, clacker
balls menjadi mainan yang menggemparkan Amerika Serikat. Menurut pemerintah
Amerika saat itu, permainan ini lebih cenderung membahayakan, sehingga demi
alasan menjaga masyarakat dari bahaya mainan ini, pemerintah Amerika Serikat
menerbitkan keputusan untuk menyita dan memusnahkan mainan ini. Kejadian
tersebut diingat sebagai United States v. Article Consisting of 50,000
Cardboard Boxes More or Less, Each Containing One Pair of Clacker Balls.
Pemerintah Eastern District of Wisconsin tahun 1976 diminta oleh pemerintah
Amerika Serikat untuk menyita dan menghancurkan pengiriman sekitar 50.000 clacker
balls atau lato-lato karena dianggap sebagai mainan anak-anak yang berbahaya.
Sayangnya karena belum
ada aturan yang mengatur tentang hal ini, maka untuk dapat mengaturnya
pemerintah Amerika Serikat awalnya menugaskan FDA atau Food and Drugs
Administration, badan khusus yang mengontrol makanan dan obat-obatan terlarang
untuk juga mengontrol mainan ini.
Walaupun jelas, mainan
ini bukanlah makanan apalagi narkoba, bahan kimia atau radioaktivitas dan
sejenisnya. Hal ini yang menjadikan keputusan yang diambil oleh pemerintah
Amerika ini dianggap sebagai hal yang lucu di era tersebut. Tiga tahun
kemudian, kewenangan tersebut diperluas di bawah “Child Protection and Toy
Safety Act” badan khusus yang mengontrol dan melarang penjualan mainan yang
dianggap berbahaya.
Seperti yang saya
sebutkan sebelumnya, mainan yang ramai dimainkan pada tahun 1960an di Amerika
telah diekspor ke berbagai negara. Tidak hanya di Amerika, mainan ini telah
dimainkan oleh anak-anak di belahan negara lain. Seperti contohnya di Italia
yang bahkan pada tahun 1970an telah menyelenggarakan kompetisi tahunan clacker
balls. Seakan ingin mengulangi tren yang ada, 40 tahun kemudian, tepatnya akhir
tahun 2022 lalu kerap kita melihat kompetisi
lato-lato banyak diselenggarakan di berbagai daerah di Indonesia yang
menjadikan anak-anak sebagai peserta kompetisinya
Di Mesir sekitar tahun
2017, diberitakan bahwa 41 pedagang clacker balls atau lato-lato pernah
ditangkap karena menjual mainan yang dianggap berbahaya dan meresahkan
masyarakat. Selain menangkap pedagang kaki lima, polisi juga menyita 1.403
pasang mainan clacker balls atau di Mesir dikenal dengan nama sisi’s pendulum.
Pemerintah Mesir
beralasan bahwa upaya ini dilakukan untuk menghilangkan kebiasaan negatif
masyarakat yang membuat marah dan kesal masyarakat lain. Begitu pula yang
sekarang dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia ketika lato-lato ramai
kembali dimainkan di Indonesia akhir tahun 2022 lalu. Bahkan, Kementerian
Pendidikan Mesir kala itu memerintahkan guru untuk menyita mainan ini, jika
dimainkan di sekolah.
Di awal tahun 2023, di
Indonesia, tepatnya di Lampung dikeluarkan imbauan
larangan membawa latto-latto di lingkungan sekolah yang tertuang dalam
surat yang ditandatangani langsung oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pesisir
Barat.
Kapan bunyi latto-latto
akan hilang dari lingkungan kita? Kapan mainan ini akan diganti dengan mainan
lain? Tinggal menunggu waktu saja. Seperti sejarah, tren juga berputar dan
berulang.