Anies Baswedan menyapa warga dalam acara perpisahannya di Balai Kota DKI Jakarta, Minggu, 16 Oktober 2022. TEMPO/Abdullah Syamil Iskandar |
Salah satu spanduk
bertuliskan “NTT sonde butuh
Anies” alias NTT tidak butuh Anies. Dalam spanduk tersebut terdapat gambar
Anies dengan latar belakang hitam. Foto Anies juga dibubuhi lambang atau kode
“terlarang”. Di lain tempat spanduk tersebut bertuliskan " Kami Menolak
Dengan Keras!! Anies Baswedan Bapak Politik Identitas".
Begini tanggapan
NasDem. "Bagi kami (NasDem) semakin banyak kampanye hitam terhadap salah
seorang kandidat maka ini semakin menunjukkan ketakutan dari lawan-lawan
politiknya," kata sekretaris NasDem NTT Yusak Meok, pada Senin 9 Januari
2023.
Apa Kategori Kampanye Hitam
Menurut Jay C. Thomas
dan Michel Hersen dalam buku Handbook of Mental Health in the Workplace
mengungkapkan kampanye hitam merupakan upaya merusak reputasi seseorang.
Modusnya dengan cara propaganda negatif. Target umumnya adalah pejabat publik,
politikus, kandidat politik, maupun aktivis.
Secara gamblang Kamus
Besar Bahasa Indonesia atau KBBI menjelaskannya bahwa kampanye hitam adalah
kampanye dengan menjelek-jelekkan lawan politik. Menjelek-jelekkan lawan
politik di sini dalam artian memfitnah. Yaitu dengan mengungkapkan fakta yang
belum tentu benar atau memang tidak benar. Sengaja dilontarkan untuk
menjatuhkan pihak lawan.
Dalam politik,
menjelekkan lawan ternyata tidak terlalu dianggap bermasalah. Asalkan kejelekan
yang disampaikan adalah kelemahan lawan yang kebenarannya dapat dibuktikan.
Kampanye ini disebut kampanye negatif. Perbedaan keduanya hanyalah benar dan
tidak benar ihwal kejelekan lawan yang disampaikan. Namun sama-sama memiliki
tujuan untuk menjatuhkan lawan politik.
“Kampanye negatif ini
aspek hukumnya sah saja. Bahkan, itu berguna membantu pemilih membuat
keputusannya. Misal, ada berita yang menunjukkan data-data, misal hutang luar
negeri, itu sah dan bisa saja dikeluarkan. Pemilih akan lebih cerdas memilih,”
kata Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso, dikutip
dari laman law.ui.ac.id.
Sementara itu, menurut
Undang-undang Pemilihan Umum atau UU Pemilu, kampanye hitam dilarang. Larangan
itu tertuang dalam Pasal 280 ayat (1) huruf d. Peserta kampanye dilarang
menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. Jika terbukti melanggar,
pelaku dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.
Namun, bagi pelaku
kampanye negatif, tidak dapat dipidanakan. Terutama jika kejelekan yang
disampaikan adalah benar. Namun jika pihak lawan merasa terfitnah dan dapat
membuktikan hal tersebut, pelaku bisa dijerat pasal UU Pemilu. Mereka dapat
melaporkan ke Bawaslu.
Selain berdampak pada pelaku, kampanye negatif yang dianggap sebagai kampanye
hitam juga berpengaruh pada partai. *** nasional.tempo.co