Pelaku penganiayaan di Pesanggrahan, Mario Dandy Satriyo, dihadirkan dalam jumpa pers di Mapolres Jakarta Selatan, Rabu (22/2/2023). Foto: Luthfi Humam/kumparan |
Apa sebabnya? Putranya
yang bernama Mario Dandy Satrio berbuat ulah. Bukan bermain lato-lato tak kenal
waktu sehingga membuat kuping tetangga pekak, atau merengek minta jadi calon
Presiden dan kalau tak dipenuhi mengancam bakal menyayat tangannya sendiri.
Duduk Perkara Masalah
Bukan dua hal itu.
Melainkan remaja puber itu sedang kasmaran dengan seorang perempuan bernama
Agnes Gracia Haryanto, sehingga setan manapun dari segala arah berebut
membisiki ayat-ayat asmara: lakukanlah sesuatu untuk perempuan, dia akan klepek-klepek.
Mendengar aduan
tambatan hati yang konon diganggu oleh masa lalu, kuping Mario Dandy terasa
tipis. Darahnya mendidih 35 derajat Celsius. Jagoan kita ini tiba-tiba
menguasai ilmu bela diri secara serampangan.
Skenario pertemuan
diatur. Lalu pada sebuah malam David dihajar tanpa ampun, mantan pacar Agnes
yang ternyata seorang anak pengurus pusat GP Ansor itu sampai terkapar di aspal
jalan.
Drama remaja ini terlalu panjang untuk
saya ceritakan duduk perkaranya. Juga sekaligus terlalu banyak perspektif yang
bisa dipecah untuk membahas dari sudut mana diskusi ini akan kita bawa. Namun
saya ingin melanjutkan catatan ini dengan pendekatan psikologi.
Jujur saja, saya
terpikirkan juga tentang dampak drama ini pada institusi negara. Ditjen Pajak
itu. Misalnya kemungkinan terdegradasinya kepercayaan publik yang berujung pada
pembangkangan sosial.
Tetapi saya bukan
Miftah Rinaldi Harapap, seorang kawan yang menghibahkan pikirannya untuk
memikirkan negara terus-terusan tanpa rasa capek. Biarlah itu menjadi
urusannya. Ini tanggal 25 dan saya tak mau ambil pusing membahas negara di
akhir bulan.
Agar tidak melantur
lebih jauh, biar saya mulakan apa yang sedikit saya ketahui tentang pola asuh
orang tua pada anak. Biar begini rupa, sedikit-sedikit saya tahu tentang
parenting.
Kita yakin tidak
satupun orang tua yang
menghendaki anaknya jadi berandalan. Apalagi untuk ukuran Pak Rafael yang
sangat sibuk mengumpulkan harta berpuluh miliar itu, manalah sempat dia
mengajari Mario Dandy berkelahi apalagi sambil menggasak kepala orang.
Jangankan sekejam itu, membayar pajak untuk Jeep Rubicon yang dipamerkan
anaknya saja Pak Rafael belum sempat.
Tanpa Pak Rafael sadari
saya yakin apa yang dilakukan oleh Mario Dandy adalah imbas pola asuh yang
diterapkannya selama ini.
Empat Jenis Pola Asuh Orang Tua Terhadap Anak
Kita perlu berterima
kasih kepada Diana Baumrind, sekitar tahun 1960-an perempuan asal Amerika
Serikat yang seorang psikolog klinis itu mencetuskan empat teori yang hingga
kini masih relevan, tentang pola asuh orang tua terhadap anak dan bagaimana
dampaknya pada perkembangan psikologi anak.
Empat teori itu antara
lain authoritarian, athoritative, permissive dan terakhir ada uninvolved
parenting. Apa itu?
1. Authoritarian Parenting
Sebagaimananya
sebutannya, pola asuh ini mendasarkan pada kepatuhan sang anak. Aturan ketat
dibuat. Hukuman disiapkan. Pendisiplinan habis-habisan. Tak ada atau hanya
sedikit ruang bagi si anak untuk mengemukakan pendapat.
Hubungan anak dan orang
tua seperti bawahan dan majikan. Tidak hangat. Asal bapak senang. Ini seperti
bom waktu. Duarr! Meledak.
Maka lahirlah generasi
manipulatif yang kelak jadi pembangkang. Demi terhindar dari hukuman si anak
hidup penuh dengan kepalsuan. Di rumah jadi Ayam sayur. Di luar Singa mengamuk.
2. Ahoritative Parenting
Inilah pola asuh yang
dianggap paling ideal. Pola asuh yang berada di titik tengah. Orang tua memberi
batasan namun tetap memberi kepercayaan pada si anak untuk berbuat. Kesalahan
disikapi dengan bijak. Anak diberi tanggung jawab agar bisa disiplin sambil
tetap dikomunikasikan segala sesuatunya.
Umumnya si anak akan
tumbuh jadi pribadi yang terbuka namun memiliki value yang kukuh. Adaptasi
sosialnya jempolan. Ceria, percaya diri, dan gampang saja menghadapi persoalan-persoalan
hidup dan seterusnya.
3. Permissive Parenting
Alih-alih menampilkan
diri sebagai seorang yang berwibawa, orang tua dengan pola asuh permissive
santai saja dan cenderung seperti teman sendiri. Terdengar bagus. Tetapi
sayangnya hal ini tidak dibarengi dengan kedisplinan dengan takaran yang pas.
Aturan longgar. Banyak
pemakluman. Apa-apa keinginan anak cepat dipenuhi. Orang tua gagal membedakan
antara kebutuhan dan keinginan. Yang penting anak tidak merengek.
Orang tua model ini
baru akan kewalahan ketika dihadapkan pada masalah yang serius yang membuat
mereka harus turun tangan langsung.
Dengan sentuhan seperti
itu seorang anak akan menjadi pribadi yang egois dan agresif, dan sukar
mandiri, minim tanggung jawab, melabrak aturan sosial dan agama, dan
seterusnya.
4. Uninvolved Parenting
Inilah pola asuh yang
paling buruk. Anak dilepas begitu saja. Jangankan komunikasi satu arah seperti
pada pola authoritarian, di titik yang ekstrem orang tua dengan pola uninvolved
ini bahkan tidak menetapkan aturan apapun atau memberi harapan pada sang anak.
Tidak ada waktu untuk
berkomunikasi berarti juga tidak adanya bimbingan, perhatian-perhatian kecil
yang mengekspresikan kasih sayang dan sebagainya.
Dalam prosesnya
perkembangannya si anak akan jadi pribadi yang dungu secara emosional.
Empatinya jongkok. Sehingga mudah saja bagi si anak untuk berbuat serong. Tak
perduli serong ke kiri atau ke kanan, ke segala penjuru mata angin.
Mario Dandy Satriyo pelaku penganiayaan ditampilkan di Polres Jakarta Selatan menggunakan baju tahanan. Foto: Luthfi Humam/kumparan |
Memetik Pelajaran Tentang Pola Asuh Orang Tua
Begini, dari kasus
Mario Dandy saya melihat kombinasi antara authoritarian, permissive dan uninvolved
parenting. Marilah kita ambil penyederhanaan dari teori-teori parenting di
atas.
Point pelajaran yang
ingin saya highlight adalah fakta bahwa manusia itu bukan cuma segumpal daging
yang diberi nyawa. Ada dua aspek yang sama krusialnya yang harus diisi oleh
orang tua. Lahir dan batin. Jasmani dan rohani. Jasad dan jiwa.
Kendaraan mewah,
pakaian bagus, rumah yang lantainya mengkilap, makanan dengan gizi lengkap, dan
sebagainya. Semua itu penting, tapi tidak cukup. Hal-hal kebendaan seperti itu
hanya bersifat jasadiah.
Orang tua
bertanggungjawab atas kebutuhan rohaniah anak. Memberikan teladan. Dan teladan
itu bisa menyalakan ruh si anak. Teladan itu ada dalam banyak bentuk aktivitas
bersama dan perilaku.
Anak butuh diajak
bermain, dibersamai dalam ibadah, diberi nasihat-nasihat kecil, menghadirkan
obrolan-obrolan ringan yang diselingi humor, diterima pendapatnya, diapresiasi
hal-hal yang sudah dilakukannya, tidak membanding-bandingkan, menyadari bakat
dan potensinya, dan seterusnya.
Sebab anakmu tetaplah
anakmu. Dia bukan milik fajar dan sang mentari. Kecuali kalau Anda memutuskan
childfree. Tabik! *** kumparan.com