Di Indonesia
filsafat hanya diajarkan di seminari atau panti pembinaan imam Katolik (Sekolah
Tinggi Filsafat dan Teologi). Sedikit sekali ditemukan fakultas Filsafat,
terutama di universitas negeri (hanya ditemukan di UGM dan UI).
Mempelajari
Filsafat itu menarik dan itu saja sudah menjadi alasan yang cukup untuk menjadi
mahasiswa Filsafat. Filsafat membantu untuk merefleksikan secara lebih dalam tentang
ada dari segala sesuatu.
Filsafat membebaskan
Filsafat
berharga karena manfaatnya pada mereka yang mempelajarinya. Filsafat membantu
“perubahan hidup” dan bahwa filsuf tertentu telah membuat kesan pada mereka
sehingga mereka merasa “dibebaskan”.
Nilai Filsafat
yang paling penting adalah membuat kita menyadari bahwa kita semua adalah
tawanan dari doktrin komprehensif kita sendiri. Sama seperti para tahanan dalam
alegori gua Plato. Para filsuf mungkin merasa hanya melihat bayang-bayang
realitas sebelum perjalanan filosofis mereka.
Dunia ini hitam
dan putih, ada sedikit substansi, sederhana dan kebanyakan dari kita terikat
pada dogma sampai kita memiliki keberanian untuk mengajukan pertanyaan mendalam
tentangnya. Pertanyaan paling penting yang perlu diajukan seperti: “mengapa
kita ada?” “Apa yang terjadi ketika kita mati?” “apa itu kehidupan yang baik?”
“apa itu kebahagiaan?” “Mengapa matahari terbit setiap pagi dan terbenam setiap
sore?” Efek dari mengajukan pertanyaan semacam itu adalah memperluas dunia
kita. Filsafat persis melakukan itu.
Filsafat membuat kita lebih imajinatif
Ketika Filsafat
mengajukan pertanyaan mendalam, menyelidiki permukaan realitas, menuntut kita
untuk menjadi lebih imajinatif. Filsafat mengajak kita untuk melihat melampaui
status quo dan mencari kemungkinan baru.
Dalam sebuah
kelas Teori Politik yang diisi oleh mahasiswa Ilmu Politik dan Teori Politik,
dimana membahas peran pendidikan bagi warga negara. Semua orang mengatakan
bahwa kita harus mengizinkan lebih banyak orang bersekolah seolah-olah
bersekolah adalah hak asasi manusia.
Di sela diskusi
tersebut ada pertanyaan: “apakah kita benar-benar membutuhkan lebih banyak
sekolah atau sekolah itu berbahaya? Dan apakah ada cara lain untuk mendidik
diri kita sendiri di luar sekolah?” Tentu saja hal semacam itu dikritisi
beberapa filsuf pendidikan seperti Ivan Ilyich dan Paolo Freire yang sangat
kritis terhadap sekolah.
Filsafat menopang minat spekulatif kita pada alam
semesta
Jika kita hanya
peduli pada pengetahuan yang telah dibuktikan, kita akan kehilangan sesuatu
yang disediakan oleh para filsuf. Kita manusia, memiliki minat yang mendalam
pada spekulatif dan metafisik. “Apakah ada Tuhan?” “Apakah kebenaran itu
mutlak?” “Apakah pra-kelahiran sama dengan kematian?” “Mengapa kita mencintai?”
Pertanyaan
seperti itu paling sering menjadi pertanyaan paling mendasar bagi kebanyakan
orang. Pertanyaan semacam itu membantu kita untuk menguak makna dalam hidup.
Filsafat melatih pikiran
Bagi banyak
orang mempelajari Filsafat itu sangat sulit. Tidak mengejutkan bahwa secara
umum mahasiswa Filsafat daya kritis yang berbeda dengan yang lain. Masalah
filosofis tidak mudah dipecahkan dan beberapa mungkin tidak akan pernah
terpecahkan. Ini membutuhkan keterampilan berpikir logis tanpa henti dan penyelidikan
argumentatif yang konstan. Bagi anak filsafat ini merupakan tantangan yang
sangat menyegarkan, sebaliknya beberapa orang mungkin merasa frustrasi.
Filsafat membuat kita tetap rendah hati dan mencegah
kita menjadi dogmatis
Salah satu
pelajaran terpenting yang diajarkan Socrates kepada kita adalah bahwa dia
adalah yang paling bijak, karena dia tahu bahwa dia tahu sangat sedikit. Sikap
filosofis ini membuat kita tetap rendah hati dalam pengetahuan kita dan
mencegah kita menjadi dogmatis. Seringkali, ketika para filsuf mempelajari
pertanyaan filosofis, mereka berakhir dengan pertanyaan yang lebih filosofis.* bulir.id