Kurang dari satu
setengah abad yang lalu, seorang fisikawan Albert Einstein lahir. Ia merupakan
deretan orang jenius, yang kemudian menjadi tokoh pengubah sejarah dunia.
Ia lahir di era perang
dunia dan menemukan teori relativitas yang menjadi cikal bakal kehancuran
Hirosima dan Nagasaki, sekaligus usainya perang dunia kedua.
Di usia yang relatif
muda, Einstein unggul dalam pelajaran matematika. Meraih nilai matematika lebih
tinggi dari teman sekelasnya selama bertahun-tahun.
Einstein mempelajari
sendiri aljabar dan geometri Euklides selama musim panas. Berhasil membuktikan
sendiri kebenaran teorema Pythagoras saat berusia 12 tahun.
Tak hanya berhenti di
situ, Einstein juga memiliki minat filsafat yang kuat. Di usia belianya, yakni
13 tahun, ia menghabiskan buku Kritik Atas Akal Budi Murni, karya nabi filsafat
Jerman terbesar, Immanuel Kant. Karya-karya Kant, yang tidak dipahami oleh
orang biasa, telah dipahami jelas olehnya.
Jauh dari Jakarta, ke
arah timur Indonesia. Seorang bocah bernama Nono berhasil mengharumkan nama
Indonesia di kancah dunia. Ia menjadi juara 1 olimpiade matematika
International Abacus Brain Gym yang diikuti sekitar 7.000 peserta dari berbagai
negara.
Kecerdasan Nono bahkan
mengalahkan peserta dari negara lahirnya Enstein, Jerman. Sekaligus Amerika
Serikat yang menjadi tempat karir gemilang Einstein tumbuh.
Kecerdasan Nono bukan
semacam tabula rasa (sebagaimana kertas kosong) tetapi diwarisi dari orang
tuanya. Mungkin sudah sekian generasi, warisan luhur itu disepelekan oleh
negara.
Jargon negara
mencerdaskan bangsa itu hanya pepesan kosong. Sehingga 77 tahun kemudian,
sebagain wilayah terluar baru disentuh. Sebagai catatan, belum semua mendapat
sentuhan, hanya sebagian kecil.
Anak-anak di daerah
pinggir dan terluar memang fasilitas pendidikannya tak selayak di kota-kota
besar dengan gemerlap kosmopolitnya. Namun tak menyurutkan semangat belajar.
Orang tua Nono bukan
seperti Einstein. Ayahnya pekerja serabutan. Sedang ibu seorang guru
berpenghasilan rendah. Kondisi ini tidak menyurutkan semangat mereka untuk
mencerdaskan anak-anaknya sekedar mengubah nasib.
Tidak seperti situasi
Einstein dan Kant, dalam keterbatasan Nono memberikan hadiah terbesar untuk
NKRI. Enstein hidup lebih dari kata cukup, pun Kant. Keduanya lahir dari orang
tua berkecukupan.
Nono dalam berbagai
kesempatan, menyampaikan cita-cita luhurnya, ingin menciptakan mobil dan
pesawat tercepat. Ia sangat mengagumi Elon Musk, CEO Tesla. Kelak ia ingin
melebihinya, membawa negara ini membumbung tinggi.
Kualitas pendidikan di
provinsi yang sering dipelesetkan menjadi Nanti Tuhan Tolong (NTT) itu paling
rendah di antara provinsi lainnya di Indonesia. Bukan karena anak-anak NTT
memliki kecerdasan di bawah rata-rata. Ini karena absennya kehendak baik dan
kebijaksanaan mengola tata pemerintahan.
Lebih dari itu, tak ada
kehendak baik dari para pemangku kebijakan. Fasilitas sekolah cukup memprihatinkan,
pun nasib para pendidik demikian.
Keberhasilan Nono
merupakan buah dari peran orang tua dan sebagian pegiat pendidikan bukan dari
pemerintah (difasilitasi kementerian pendidikan). Pemerintah hanya memeras
manisnya saja.
Yang oleh seorang
sahabat lama menyebut peran pemerintah layaknya fotografer. Ia datang memotret
dan mengunggah di media sosial dengan caption alai ala anak zaman now. Seolah
itu bagian dari perjuangannya mencerdaskan anak bangsa.
Ketika ini tidak
diselesaikan dengan segera, maka ketimpangan kualitas pendidikan di NTT akan
semakin tinggi. Merdeka belajar sebagai upaya memperkuat pilar pendidikan tak
akan pernah terwujud.
Konsep pengembangan
pendidikan yang melibatkan banyak pihak diharapkan menjadi agen perubahan
(agent of change) menjadi stagnan. Sebab pemerintah sendiri lamban dan apatis
melihat realitas pendidikan kita.
Masih banyak anak-anak
NTT berprestasi. Nono-Nono akan banyak bermunculan jika pemerintah mampu
memfasilitasi anak bangsa yang memiliki kemampuan luar biasa tersebut.
Pendidikan merupakan hak dasar seluruh warga negara, oleh karenanya perlu
dijamin dan difasilitasi oleh negara.
Pesawat dan mobil
tercepat yang menjadi cita-cita Nono akan menjadi kenyataan apabila dunia
penidikan kita berbenah dan benar-benar merdeka sebagaimana yang dicita-citakan
oleh pendiri bangsa.*