Aduh! Tidak Mau Jadi "Kuda Beban", 1.345 Guru Honorer NTT Menanti Kejelasan

Aduh! Tidak Mau Jadi "Kuda Beban", 1.345 Guru Honorer NTT Menanti Kejelasan

Pertemuan perwakilan dari 1.345 guru honor NTT yang lulus passing grade 2021, dengan anggota Komisi X DPR RI, Anita Gah di Kupang, Sabtu (25/2/2023). Para guru ini menuntut hak agar mereka segera diakomodir oleh Pemprov. Pasalnya, 28 November 2023, semua tenaga honor akan dihapus termasuk guru honor.


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) Sebanyak 1.345 guru honorer tingkat SMA atau sederajat di Nusa Tenggara Timur menanti kepastian nasib mereka. Setelah dinyatakan lulus passing grade pada 2021, sampai hari ini formasi bagi pengangkaan mereka belum juga diusulkan oleh Pemerintah Provinsi NTT.

Padahal, dana alokasi umum atau DAU bagi 1.345 guru honorer itu sudah ditransfer oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Situasi ini membuat para guru honorer ini resah. Sebab, selama ini mereka seolah menjadi "kuda beban" yang diberi banyak tanggung jawab pekerjaan tetapi minim apresiasi dan remunerasi.

Kondisi sulit yang dihadapi oleh guru honorer ini terutama dialami mereka yang bertugas di pedalaman NTT. Nasib mereka kain tidak pasti karena pada 23 November 2023, pemerintah akan menghapus semua tenaga honorer.

Mewakili rekan-rekan mereka yang berjumlah 1.345 orang, 24 guru honorer yang lulus passing grade (PG), 2021, menceritakan kesulitan mereka kepada anggota Komisi X DPR RI di Kupang, Anita Gah. Mereka mencurahkan isi hati untuk kedua kali kepada anggota DPR RI Fraksi Demokrat, daerah pemilihan NTT ini.

Komisi tempat Anita bertugas membidangi pendidikan, kebudayaan riset dan teknologi, pariwisata, ekonomi kreatif, pemuda dan olahraga, dan perpustakaan.

Foto bersama perwakilan para guru honorer lulus PG 2021, dengan anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Demokrat, Anita Yocoba Gah, dan tim TV Parlemen DPR RI, di Kupang, Sabtu (25/2/2023).


Agus H (43) guru honorer pada salah satu SMK di Kupang berbicara lantang. Ia mencurahkan perasaan penuh emosional. Gaya bicaranya teratur dan runut. Dia sudah 13 tahun mengabdi sebagai guru honorer. Ada temannya di pedalaman bahkan sudah 20 tahun mengabdi dengan usia sudah di atas 40 tahun.

"Kami mengabdi untuk generasi masa depan NTT dengan berbagai suka-duka. Sukanya, kami bergembira saat mengajar anak-anak dan menyiapkan masa depan mereka. Dukanya, gaji kami kecil, sulit untuk hidup sebulan bersama keluarga,” kata Agus.

Ia bersama 1.344 rekan guru honorer lainnya telah lulus PG 2021. Mestinya mereka diberi formasi guru berstatus PPPK atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja oleh Pemprov NTT per Januari 2022. Akan tetapi, formasi itu diduga tidak diajukan ke pusat.

Sementara dana alokasi umum (DAU) senilai Rp 157 miliar untuk formasi para guru itu diduga sudah ditransfer ke kas daerah. “Informasinya dana itu telah dipakai untuk bangun jalan,” katanya.

Di sisi lain, guru honorer yang juga sudah lulus PG tahun 2022, sebagian sudah diakomodir pada 2023. Alokasi DAU untuk mereka ini senilai Rp 2,3 miliar, sedang diajukan ke pusat. Mestinya, formasi yang diajukan Pemprov terlebih dahulu memprioritaskan guru honorer yang lulus PG 2021.

Hidup mengabdi

Ibu dua anak ini mengatakan, guru honorer sebagai “kuda beban” di sekolah. Mengabdi dengan penuh disiplin dan tanggungjawab. Selain demi masa depan anak-anak didik, juga agar mendapat pengakuan dan penilaian positif dari kepala sekolah, dan guru-guru PNS. Ini demi masa depan guru-guru honorer.

Berbeda dengan guru dengan status pegawai negeri sipil (PNS), yang masuk atau tidak masuk kelas, gaji dan dan tunjangan profesi guru tetap jalan, guru honorer harus bekerja lebih keras dari itu. Para guru PNS itu, lanjut Agus, hadir di sekolah hanya mengisi absensi kemudian hilang dari sekolah. Anak-anak diberikan tugas untuk mengerjakan di sekolah. Setelah beberapa jam kemudian guru itu datang ke sekolah.

Agus H (43) berbicara sambil mengusap dada kepada media yang hadir dalam acara dengan anggota Komisi X DPR itu. Agus merasa semua pengorbanan dan dedikasi guru honorer selama puluhan tahun bagi anak-anak NTT tidak dihargai oleh pemda.

Guru berstatus PNS pun mudah keluar dari sekolah dengan berbagai alasan. Mereka antara lain beralasan menjemput anak di sekolah, melayat anggota keluarga yang meninggal, menjemput anggota keluarga yang datang di pelabuhan atau bandara, anak sakit, orangtua sakit, dan lain-lain.

Terkadang bahkan diminta bantuan mengawasi anak-anak yang ditinggalkan oleh guru PNS (Agus)

"Dalam situasi seperti itu guru honorer tetap bertahan di sekolah dari pagi sampai selesai. Terkadang bahkan diminta bantuan mengawasi anak-anak yang ditinggalkan oleh guru PNS,” katanya.

Agus melanjutkan, guru-guru PNS juga acap kali tidak bersedia dipindahkan ke sekolah di pedalaman, termasuk mereka yang masih calon PNS. Jika terpaksa menerima tugas penempatan itu, mereka jarang berada di sekolah pedalaman. Guru datang hanya untuk memperkenalkan diri. Mengajar 1-2 pekan kemudian kembali ke kota sampai berbulan-bulan. Mendekati ujian tengah semester, ujian semester, atau ujian akhir, mereka baru datang kembali ke sekolah itu.

Situasi ini, menurut Agus, buruk bagi pendidikan anak-anak NTT di pedalaman. Sebab, kerap kali karena takut mendapat protes atau komplain dari siswa dan orangtuanya, guru memberi nilai tinggi kepada semua siswa. Tidak heran, lulusan SD, SMP, dan SMA/SMK di pedalaman, memiliki nilai tinggi tetapi tidak tahu baca dan tulis.

Koordinator guru honorer lulus PG 2021, Dina Nomleni (45) mengatakan, hampir semua sekolah di pedalaman hanya memiliki satu guru PNS, yang menetap di sekolah itu.



Hak guru honorer

Umumnya, guru yang menetap itu adalah kepala sekolah. Adapun belasan guru lainnya berstatus guru honorer. Ada dari guru honorer itu yang dibayar komite sekolah, dan ada pula yang dibayar dengan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Honor mereka berkisar Rp 200.000-Rp 500.000 per bulan. Itu pun terkadang diterima mereka tiga bulan sekali.

“Di pedalaman itu mereka (guru honorer) berladang guna menopang hidup, dengan meminjam lahan warga. Ini, saya sampaikan sesuai pesan teman-teman guru honorer dari pedalaman. Jumlah kami 1.345 orang. Sebagian besar mengabdi di pedalaman. Mereka ini ada yang sudah berusia di atas 45 tahun,” katanya.

Sesuai SK Menpan dan RB Nomor 185/M.SM,02.03/2022, semua tenaga honorer, tentunya termasuk guru honorer, terhitung mulai 28 November 2023 akan dihapus. “Untuk itu, kami sangat mengharapkan agar pemprov segera mengajukan formasi bagi 1.345 guru yang sudah lulus PG 2021 ini. NTT masih kekurangan 6.580 tenaga guru SMA/SMK,” kata Nomleni.

Anggota Komisi X Anita Gah yang hadir mendengar curhatan para guru itu mengatakan, dirinya bersama para guru terus berjuang sampai hak para guru diperoleh. Perlu dibentuk tim khusus beranggotakan guru honorer untuk menelusuri penggunaan DAU yang sudah ditrasnfer itu dengan bukti-bukti yang jelas.

Dalam kerjanya nanti, tim ini harus mengklarifikasi dugaan itu ke Kementerian Keuangan. "Data-data dari Kemenkeu, dibawa ke Pemprov. Jika Pemprov tetap diam, kita ke KPK. Jika dana itu salah dimanfaatkan, tentu bertentangan dengan juknis (petunjuk teknis) pusat. Itu hak teman-teman guru yang harus diperjuangkan sampai dapat,” tegas Anita.

Yoka Oeluan (45), guru PNS di salah satu SMP di Kupang mengatakan, apa yang diceritakan oleh guru honorer mengenai guru berstatus PNS itu betul. “Saya mengakui. Ini lebih banyak terjadi pada sekolah pemerintah. Sekolah swasta cukup ketat terutama yang dikelola oleh lembaga agama," katanya.

 “Pukul 07.40 Wita semua guru sudah harus ada di sekolah untuk kegiatan doa dan persiapan masuk kelas. Sekolah negeri, juga punya ketentuan seperti itu tetapi banyak dilanggar,” ujarnya.

Ia juga menilai, guru SMP, dan SMA di Kota Kupang selama ini terlalu kikir (irit) memberi nilai pada siswa. Siswa yang berprestasi, tetapi masih kelas satu, diberi nilai 65. Mereka berpendapat, setelah kelas dua dan tiga, siswa itu boleh diberi nilai 70, 80, atau 90.

“Itu keliru besar. Bahkan menurunkan mutu sekolah. Kini, seleksi masuk SMA atau perguruan tinggi, dilihat dari nilai rapor, dari kelas satu sampai kelas tiga. Kalau nilai rapor 80 ke atas, mereka diterima, tetapi di bawah 80, ditolak,” kata Oeluan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi mengatakan, Pemprov sedang memperjuangkan nasib guru-guru honorer yang sudah lulus PG 2021 yang belum diakomodir itu. Aspirasi mereka sudah didengar, dan sedang dicarikan jalan keluar. Mengenai disiplin guru, akan ditegakkan dengan ketat. *** kompas.com



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama