Padahal, dana alokasi
umum atau DAU bagi 1.345 guru honorer itu sudah ditransfer oleh pemerintah
pusat ke pemerintah daerah. Situasi ini membuat para guru honorer ini resah.
Sebab, selama ini mereka seolah menjadi "kuda beban" yang diberi
banyak tanggung jawab pekerjaan tetapi minim apresiasi dan remunerasi.
Kondisi sulit yang dihadapi
oleh guru honorer ini terutama dialami mereka yang bertugas di pedalaman NTT.
Nasib mereka kain tidak pasti karena pada 23 November 2023, pemerintah akan
menghapus semua tenaga honorer.
Mewakili rekan-rekan
mereka yang berjumlah 1.345 orang, 24 guru honorer yang lulus passing grade
(PG), 2021, menceritakan kesulitan mereka kepada anggota Komisi X DPR RI di
Kupang, Anita Gah. Mereka mencurahkan isi hati untuk kedua kali kepada anggota
DPR RI Fraksi Demokrat, daerah pemilihan NTT ini.
Komisi tempat Anita
bertugas membidangi pendidikan, kebudayaan riset dan teknologi, pariwisata,
ekonomi kreatif, pemuda dan olahraga, dan perpustakaan.
Foto bersama perwakilan para guru honorer lulus PG 2021, dengan anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Demokrat, Anita Yocoba Gah, dan tim TV Parlemen DPR RI, di Kupang, Sabtu (25/2/2023). |
Agus H (43) guru
honorer pada salah satu SMK di Kupang berbicara lantang. Ia mencurahkan
perasaan penuh emosional. Gaya bicaranya teratur dan runut. Dia sudah 13 tahun
mengabdi sebagai guru honorer. Ada temannya di pedalaman bahkan sudah 20 tahun
mengabdi dengan usia sudah di atas 40 tahun.
"Kami mengabdi
untuk generasi masa depan NTT dengan berbagai suka-duka. Sukanya, kami
bergembira saat mengajar anak-anak dan menyiapkan masa depan mereka. Dukanya,
gaji kami kecil, sulit untuk hidup sebulan bersama keluarga,” kata Agus.
Ia bersama 1.344 rekan
guru honorer lainnya telah lulus PG 2021. Mestinya mereka diberi formasi guru
berstatus PPPK atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja oleh Pemprov NTT
per Januari 2022. Akan tetapi, formasi itu diduga tidak diajukan ke pusat.
Sementara dana alokasi
umum (DAU) senilai Rp 157 miliar untuk formasi para guru itu diduga sudah
ditransfer ke kas daerah. “Informasinya dana itu telah dipakai untuk bangun
jalan,” katanya.
Di sisi lain, guru
honorer yang juga sudah lulus PG tahun 2022, sebagian sudah diakomodir pada
2023. Alokasi DAU untuk mereka ini senilai Rp 2,3 miliar, sedang diajukan ke
pusat. Mestinya, formasi yang diajukan Pemprov terlebih dahulu memprioritaskan
guru honorer yang lulus PG 2021.
Hidup mengabdi
Ibu dua anak ini
mengatakan, guru honorer sebagai “kuda beban” di sekolah. Mengabdi dengan penuh
disiplin dan tanggungjawab. Selain demi masa depan anak-anak didik, juga agar
mendapat pengakuan dan penilaian positif dari kepala sekolah, dan guru-guru
PNS. Ini demi masa depan guru-guru honorer.
Berbeda dengan guru
dengan status pegawai negeri sipil (PNS), yang masuk atau tidak masuk kelas,
gaji dan dan tunjangan profesi guru tetap jalan, guru honorer harus bekerja
lebih keras dari itu. Para guru PNS itu, lanjut Agus, hadir di sekolah hanya
mengisi absensi kemudian hilang dari sekolah. Anak-anak diberikan tugas untuk
mengerjakan di sekolah. Setelah beberapa jam kemudian guru itu datang ke
sekolah.
Agus H (43) berbicara
sambil mengusap dada kepada media yang hadir dalam acara dengan anggota Komisi
X DPR itu. Agus merasa semua pengorbanan dan dedikasi guru honorer selama
puluhan tahun bagi anak-anak NTT tidak dihargai oleh pemda.
Guru berstatus PNS pun
mudah keluar dari sekolah dengan berbagai alasan. Mereka antara lain beralasan
menjemput anak di sekolah, melayat anggota keluarga yang meninggal, menjemput
anggota keluarga yang datang di pelabuhan atau bandara, anak sakit, orangtua
sakit, dan lain-lain.
Terkadang bahkan diminta bantuan mengawasi anak-anak yang ditinggalkan oleh guru PNS (Agus)
"Dalam situasi
seperti itu guru honorer tetap bertahan di sekolah dari pagi sampai selesai.
Terkadang bahkan diminta bantuan mengawasi anak-anak yang ditinggalkan oleh
guru PNS,” katanya.
Agus melanjutkan,
guru-guru PNS juga acap kali tidak bersedia dipindahkan ke sekolah di
pedalaman, termasuk mereka yang masih calon PNS. Jika terpaksa menerima tugas
penempatan itu, mereka jarang berada di sekolah pedalaman. Guru datang hanya
untuk memperkenalkan diri. Mengajar 1-2 pekan kemudian kembali ke kota sampai
berbulan-bulan. Mendekati ujian tengah semester, ujian semester, atau ujian
akhir, mereka baru datang kembali ke sekolah itu.
Situasi ini, menurut
Agus, buruk bagi pendidikan anak-anak NTT di pedalaman. Sebab, kerap kali
karena takut mendapat protes atau komplain dari siswa dan orangtuanya, guru
memberi nilai tinggi kepada semua siswa. Tidak heran, lulusan SD, SMP, dan
SMA/SMK di pedalaman, memiliki nilai tinggi tetapi tidak tahu baca dan tulis.
Koordinator guru
honorer lulus PG 2021, Dina Nomleni (45) mengatakan, hampir semua sekolah di
pedalaman hanya memiliki satu guru PNS, yang menetap di sekolah itu.
Hak guru honorer
Umumnya, guru yang
menetap itu adalah kepala sekolah. Adapun belasan guru lainnya berstatus guru
honorer. Ada dari guru honorer itu yang dibayar komite sekolah, dan ada pula
yang dibayar dengan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Honor mereka
berkisar Rp 200.000-Rp 500.000 per bulan. Itu pun terkadang diterima mereka
tiga bulan sekali.
“Di pedalaman itu
mereka (guru honorer) berladang guna menopang hidup, dengan meminjam lahan
warga. Ini, saya sampaikan sesuai pesan teman-teman guru honorer dari pedalaman.
Jumlah kami 1.345 orang. Sebagian besar mengabdi di pedalaman. Mereka ini ada
yang sudah berusia di atas 45 tahun,” katanya.
Sesuai SK Menpan dan RB
Nomor 185/M.SM,02.03/2022, semua tenaga honorer, tentunya termasuk guru
honorer, terhitung mulai 28 November 2023 akan dihapus. “Untuk itu, kami sangat
mengharapkan agar pemprov segera mengajukan formasi bagi 1.345 guru yang sudah
lulus PG 2021 ini. NTT masih kekurangan 6.580 tenaga guru SMA/SMK,” kata
Nomleni.
Anggota Komisi X Anita
Gah yang hadir mendengar curhatan para guru itu mengatakan, dirinya bersama
para guru terus berjuang sampai hak para guru diperoleh. Perlu dibentuk tim
khusus beranggotakan guru honorer untuk menelusuri penggunaan DAU yang sudah
ditrasnfer itu dengan bukti-bukti yang jelas.
Dalam kerjanya nanti,
tim ini harus mengklarifikasi dugaan itu ke Kementerian Keuangan.
"Data-data dari Kemenkeu, dibawa ke Pemprov. Jika Pemprov tetap diam, kita
ke KPK. Jika dana itu salah dimanfaatkan, tentu bertentangan dengan juknis
(petunjuk teknis) pusat. Itu hak teman-teman guru yang harus diperjuangkan
sampai dapat,” tegas Anita.
Yoka Oeluan (45), guru
PNS di salah satu SMP di Kupang mengatakan, apa yang diceritakan oleh guru
honorer mengenai guru berstatus PNS itu betul. “Saya mengakui. Ini lebih banyak
terjadi pada sekolah pemerintah. Sekolah swasta cukup ketat terutama yang
dikelola oleh lembaga agama," katanya.
“Pukul 07.40 Wita semua guru sudah harus ada
di sekolah untuk kegiatan doa dan persiapan masuk kelas. Sekolah negeri, juga
punya ketentuan seperti itu tetapi banyak dilanggar,” ujarnya.
Ia juga menilai, guru
SMP, dan SMA di Kota Kupang selama ini terlalu kikir (irit) memberi nilai pada
siswa. Siswa yang berprestasi, tetapi masih kelas satu, diberi nilai 65. Mereka
berpendapat, setelah kelas dua dan tiga, siswa itu boleh diberi nilai 70, 80,
atau 90.
“Itu keliru besar.
Bahkan menurunkan mutu sekolah. Kini, seleksi masuk SMA atau perguruan tinggi,
dilihat dari nilai rapor, dari kelas satu sampai kelas tiga. Kalau nilai rapor
80 ke atas, mereka diterima, tetapi di bawah 80, ditolak,” kata Oeluan.
Kepala Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan NTT Linus Lusi mengatakan, Pemprov sedang memperjuangkan nasib
guru-guru honorer yang sudah lulus PG 2021 yang belum diakomodir itu. Aspirasi
mereka sudah didengar, dan sedang dicarikan jalan keluar. Mengenai disiplin
guru, akan ditegakkan dengan ketat. *** kompas.com