“Orang-orang Katolik
sejak dahulu kala telah menetapkan hari Jumat untuk perayaan penyesalan khusus
yang dengannya mereka dengan senang hati menderita bersama Kristus yang
diyakini menderita dan wafat di kayu salib pada hari itu, sehingga suatu hari
mereka pun dapat dimuliakan bersama-Nya. Ini adalah jantung dari tradisi
pantang daging pada hari Jumat di Gereja Katolik” tulis situs resmi United States Conference of Catholic Bishops (USCCB),
seperti dilansir Aleteia, 27/2.
Inilah alasan yang
menuntun Gereja untuk mengenali setiap hari Jumat sebagai Jumat Agung di mana
orang-orang Kristen dapat mengingat Yesus Kristus dengan mempersembahkan jenis
penebusan dosa tertentu.
Untuk sebagian besar
sejarah Gereja, daging dipilih sebagai pengorbanan yang layak karena
hubungannya dengan pesta dan perayaan. Dalam kebanyakan budaya kuno, daging
dianggap sebagai makanan lezat dan anak sapi yang digemukkan tidak disembelih
kecuali ada sesuatu untuk dirayakan.
Karena hari Jumat
dianggap sebagai hari penebusan dosa dan kematian, makan daging pada hari Jumat
untuk “merayakan” kematian Kristus tampaknya tidak sesuai. Gereja
memperbolehkan ikan sebagai menu pengganti, karena tidak dianggap daging dan
diperbolehkan untuk dimakan pada saat pantang dan puasa.
Menurut USCCB, Hukum
Gereja telah mengklasifikasikan pantang dari “binatang darat”. Peraturan
pantang menganggap bahwa daging hanya berasal dari hewan seperti ayam, sapi,
domba atau babi, yang semuanya hidup di darat, kecuali burung yang juga
dianggap daging. Ikan, di sisi lain, tidak berada dalam klasifikasi yang sama.
Ikan adalah kategori hewan yang berbeda. Spesies ikan, amfibi, reptil (hewan
berdarah dingin) dan kerang laut maupun air tawar diperbolehkan.
Pada akhirnya, niat
Gereja adalah untuk mendorong umat beriman mempersembahkan kurban kepada Allah
yang datang dari ketulusan hati dan mempersatukan penderitaan seseorang dengan
penderitaan Kristus di kayu salib. Yang paling utama adalah bagaimana kesadaran
membuat pengorbanan yang mendekatkan seseorang kepada Kristus.