Data tahun 2021 dari
cybex.pertanian.go.id menyebutkan, ada beberapa provinsi yang menjadi sentra
produksi gandum dengan total luas lahan sebesar lebih kurang 4.355 hektar.
NTT diberitakan
memiliki 78% atau 3.400 Ha dari luas lahan dimaksud. Sisanya, tersebar di Jawa
Barat (488 Ha), Kalimantan Barat (305 Ha), Jawa Timur (200 Ha), Jawa Tengah
(120 Ha) dan 100 Ha nya lagi ada di NTB.
Penyebaran Sorgum di NTT
Sejatinya, orang NTT
telah lama mengenal tanaman sorgum. Tidaklah mengherankan apabila hampir setiap
daerah memiliki nama lokal untuk tanaman ini.
Suku Atoni di Timor
Barat menyebutnya Penbuka. Sementara orang Rote menamakannya jagung Rote. Di
Sikka-Flores, sorgum dikenal dengan nama Watar. Orang Ende (juga di Flores)
menyebutnya Lolo. Demikian pula, setiap suku di NTT memiliki nama daerah untuk
sorgum ini.
Tanaman sorgum, telah
lama dikembangkan di NTT. Kemungkinan bersamaan dengan padi ladang dan jagung.
Sorgum sangat cocok
ditanam di daerah kering seperti NTT. Karenanya, penduduk setempat biasa
menanam sorgum di ladang-ladang mereka.
Generasi saya masih
melihat sorgum ditanam di ladang. Namun saat itu, hanya ditanam sebagai tanaman
selingan. Penduduk kurang mengkonsumsi sorgum daripada nasi dan jagung.
Biasanya sorgum ditanam
di batas kebun antartetangga, atau di pinggir kebun. Sebab lahan utama,
akan ditanami dengan padi ladang dan diselingi dengan jagung. Tak ketinggalan
aneka kacang-kacangan, labu dan singkong.
Para petani ladang di
NTT, menganut sistem bertanam secara multiple cropping. Tak hanya menanam satu
jenis tanaman alias monokultur di ladang mereka.
Pengalaman mereka
membuktikan, sistem multikultur ala petani subsisten lebih menjamin ketahanan
pangan petani daripada monokultur. Jika satu jenis tanaman mengalami kegagalan,
maka petani masih dapat memanfaatkan tanaman lainnya.
Kelebihan Sorgum
Sorgum dapat
dimanfaatkan sebagai pangan utama. Dapat menggantikan posisi beras yang kini
masih menjadi pangan utama penduduk Indonesia. Selain itu, sorgum dapat
dimanfaatkan pula untuk pakan ternak.
Kelompok serealia yang
satu ini memiliki kandungan gizi yang tak dapat diremehkan. Hampir setara
dengan gizi yang dimiliki oleh beras, pangan utama penduduk Indonesia saat ini.
Pakar IPB Profesor
Supriyanto mengungkapkan, jumlah energi yang dihasilkan oleh sorgum per
100 gram adalah sebesar 332 Kkal, sementara beras sebesar 360 Kkal. Sorgum juga
mengandung kalsium, zat besi, fosfor, dan vitamin B1.
Dari segi karbohidrat,
kandungan yangi dimiliki sorgum adalah 73 gram dibandingkan dengan
beras (78,9 gram). Sorgum juga lebih banyak mengandung fruktosa daripada
glukosa. Karenanya, para penderita diabetes dan yang ingin diet untuk membuat
berat badan ideal disarankan untuk bisa mengganti nasi dengan sorgum.
Sorgum juga sangat baik
untuk digunakan sebagai pakan ternak. Seluruh bagian sorgum dapat dimanfaatkan
untuk makanan ternak. Batang, daun dan biji sorgum.
Dari aspek agronomis,
sorgum ternyata tumbuh dengan baik sekali di lahan kering dan gersang. Tak
perlu input tambahan berupa pupuk dan pestisida. Artinya menghemat biaya
dibandingkan dengan kegiatan bertanam padi dan jagung.
Kendala Menuju Republik Sorgum
Sekalipun memiliki luas
lahan sebesar 4.355 Ha, mimpi Indonesia untuk menjadi Republik Sorgum belum
terealisasi. Tanaman ini sudah mulai dikembangkan di luar provinsi yang menjadi
sentra produksi. Namun masih banyak kendala yang dihadapi untuk mengembangkannya.
Budidaya sorgum masih
mengalami kendala di Indonesia. Minat petani untuk mengusahakan sorgum dalam
skala bisnis masih rendah dibandingkan dengan tanaman pangan lain, utamanya
padi dan jagung.
Minat yang masih rendah
ini juga berkaitan dengan ketersediaan pasar, baik untuk konsumsi langsung
sebagai pengganti beras maupun untuk diserap oleh industri pangan.
Selain itu,
pendampingan dari dinas pertanian untuk mengembangkan sorgum juga masih belum
terlaksana dengan baik. Fokus pengembangan masih pada program jagung, padi dan
singkong sebagai tanaman pangan andalan Indonesia.
Perlu Kerja sama Para Pihak
Agar mimpi menjadi
Republik Sorgum terealisir, maka Pemerintah perlu memfasilitasi para pemangku
kepentingan untuk tidak terlibat secara setengah-setengah alias ogah-ogahan.
Para pihak dimaksud adalah Pemerintah sendiri, petani, lembaga swadaya
masyarakat dan industri pengolahan pangan.
Dari pihak pemerintah,
perlu ada kebijakan yang jelas mulai dari level nasional hingga pada pemerintah
di tingkat operasional. Dinas-dinas teknis terkait, juga perlu dilibatkan
sehingga program ini dapat ditangani dengan baik. Tidak hanya sekedar
menjalankannya sebagai proyek untuk menggelontorkan uang lalu menghilang tanpa
bekas.
Petani merupakan
ujung tombak pelaksanaan budidaya sorgum. Usaha menciptakan pasar terlebih
dahulu oleh pemerintah, akan mendorong petani untuk membudidayakan sorgum dalam
skala bisnis.
Seringkali, proyek
dilaksanakan dengan terburu-buru. Petani diminta bertanam. Tetapi menjadi
kecewa saat panen karena tak ada pasar. Kalau pun ada, hasil pertanian petani
dibeli dengan harga yang murah. Akibatnya, ketika petani dikecewakan maka
mereka tak akan mengulangi untuk yang kedua kalinya. Proyek menjadi tidak
kontinu.
Lembaga-lembaga swadaya
yang hidup bersama masyarakat juga perlu dilibatkan untuk mengembangkan program
sorgum secara bersama-sama. Mereka hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Ketika
proyek dinyatakan berakhir, lembaga-lembaga yang hidup di masyarakat masih
terus melanjutkan karya pendampingan mereka.
Sektor yang tak kalah
penting adalah melibatkan industri-industri pangan di Indonesia. Daya serap
industri pengolahan sorgum menjadi aneka pangan dan pakan dalam jumlah besar
akan menyerap pula hasil produksi petani.
Jadinya, petani
berminat untuk mengembangkan sorgum secara lebih serius. Sementara industri-industri
pangan menjadi menggeliat karena bahan baku sorgum tersedia dalam jumlah yang
cukup.
Kreator: Gregorius
Nafanu