Benteng Belanda di
Kupang tahun 1850-1874(AVS) |
Di tengah tekanan dan
dominasi pemerintah kolonial untuk menguasai wilayah-wilayah Indonesia,
khususnya di Nusa Tenggara Timur, Sonbai adalah salah satu dinasti yang paling
keras melawan.
Perlawanan Dinasti
Sonbai pun berlangsung selama tiga generasi raja.
Di antara raja-raja
Sonbai yang keras menolak tunduk kepada Belanda adalah Raja Sonbai I, Sobe
Sonbai II, dan Sobe Sonbai III.
Perlawanan Sonbai I
Pada dasarnya,
perlawanan rakyat NTT terhadap Belanda telah berlangsung di berbagai wilayah.
Misalnya, masyarakat Lidak di Belu melakukan perlawanan pada 1857. Namun,
perlawanan masyarakat Lidak berlangsung singkat karena sangat tertindas.
Di sisi lain, Dinasti Sonbai telah menentang
Belanda jauh sebelum adanya perlawanan masyarakat Lidak. Dinasti Sonbai telah
menentang upaya ikut campur tangan Belanda terhadap wilayah NTT paling tidak
sejak tahun 1700-an di bawah kekuasaan Raja Sonbai I. Beberapa upaya perlawanan
yang dilakukan Raja Sonbai I adalah dengan menolak menandatangani perjanjian
kerja sama dengan Belanda. Atas sikap kerasnya tersebut, Belanda benar-benar
menganggap
Dinasti Sonbai di bawah
kekuasaan Raja Sonbai I, adalah tantangan besar. Salah satu cara yang dilakukan
Belanda untuk meredam perlawanan Dinasti Sonbai adalah dengan menangkap
sang raja. Ia kemudian diasingkan ke Batavia dan meninggal pada 1785.
Meskipun Raja Sonbai I
telah meninggal, bukan berarti perlawanan terhadap Belanda juga padam. Dinasti
Sonbai justri melakukan perlawanan kian keras terhadap Belanda.
Perlawanan
Sobe Sonbai II
Upaya menentang Belanda selanjutnya dipimpin
Sobe Sonbai II. Sengitnya konflik antara Dinasti Sonbai dengan pihak kolonial
kemudian memaksa Belanda menerapkan taktik pecah belah pada 1823. Pihak Belanda
kemudian menghasut kerajaan-kerajaan kecil di bawah naungan Dinasti Sonbai agar
memisahkan diri. Dengan begitu, Belanda lebih mudah menyerang Dinasti Sonbai.
Politik pecah belah
yang dilancarkan Belanda tampaknya berjalan cukup lancar. Beberapa kerajaan
kecil di bawah Dinasti Sonbai berangsur memisahkan diri. Kerajaan kecil Kono
dan Oematan benar terhasut oleh taktik Belanda yang membuat mereka memberontak
terhadap Sonbai.
Pemberontakan itu
dikenal dengan peristiwa Perang Bijili tahun 1823. Kemudian, kerajaaan lain
seperti Amfoang, Pitai, Takaeb, juga turut memisahkan diri dari Dinasti Sonbai dan
sesegera mungkin diakui kedaulatannya oleh Belanda. Meskipun kondisi Sonbai
agak runyam pada masa ini, dinasti itu tetap gagah dengan sikapnya yang
menentang dan melawan Belanda. Keteguhan sikap Dinasti Sonbai ini, ternyata
menarik perhatian beberapa kerajaan kecil lainnya yang masih teguh melawan
Belanda.
Pada 1836, Sonbai
bersama tiga kekuatan kerajaan kecil yang memihak kepadanya, menyerang pusat
pemerintahan Belanda di Kupang, NTT.
Serangan Sonbai dan
sekutunya belum memberikan dampak yang besar dan dapat dikatakan gagal.
Pada 1847, Belanda
melancarkan serangan besar-besaran ke berbagai kekuatan di NTT. Hasilnya,
banyak wilayah yang dikuasai Belanda, tetapi tidak dengan Sonbai. Berselang
beberapa saat kemudian, serangan ke Sonbai terjadi lagi di bawah pimpinan
Residen Baron van Lynder.
Misi penangkapan Sobe
Sonbai ini tetap gagal, tetapi beberapa prajurit dan menantu Sobe Sonbai II
ditawan. Belanda kemudian menerbitkan “Timor Traktat” yang berisi pembagian
wilayah tanpa menghiraukan kedaulatan kerajaan. Traktat ini pun menyulitkan
Sonbai dalam bertindak.
Perlawanan Sobe Sonbai III
Pada masa kekuasan Sobe
Sonbai III, perlawanan terhadap Belanda juga tidak surut. Salah satu upayanya
adalah mendirikan benteng-benteng pertahanan.
Benteng-benteng yang
didirikan oleh Sobe Sonbai III meliputi:
1. Benteng Ektob, terletak di Desa Benu dan dijaga oleh
O’neno dan Tean Suan.
2.
Benteng Kabun,
dibangun di Desa Fatukona dan dijaga oleh Meo Kusi Nakbena dan Beu Ebnani.
3. Benteng Fatusiki, lokasinya berada di Desa
Oelnaineno dan dijaga oleh Meo Totosmaut.
Belanda yang telah kewalahan menaklukan Sonbai
yang menentang sejak tahun 1700-an, kemudian melancarkan taktik. Akhirnya, Sobe
Sonbai III berhasil dikelaui dan ditangkap Belanda pada 1906. Raja Sobe Sonbai
III kemudian dibuang ke Sumba, beberapa lama kemudian dibawa kembali ke Kupang,
dan meninggal pada 1923.
Referensi:
- Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur, Terbitan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Tahun 1977/1978
- https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/sobe-sonbai-iii/