Menurut dia, ada tiga
kerugian yang didapatkan jika anak terlahir sebagai stunting. Yang pertama
pasti berpostur pendek sehingga tidak bisa masuk sebagai anggota TNI-Polri. Yang
kedua kemampuan intelektualnya lambat bahkan berat.
"Yang ketiga, jika
di hari tua akan sering alami sakit-sakitan. Orang stunting itu kalau pendek
dan makannya banyak akan gemuk di tubuh bagian tengah, dengan ancaman darah
tinggi, obesitas, kolesterol dan lain-lain," kata Hasto Wardoyo, Senin
(20/3).
Sedangkan Kepala BKKBN
NTT Marius Mau Kuru mengatakan, prevalensi stunting diharapkan bisa turun ke
angka 13 persen sesuai trend tersebut. Dia juga berharap intervensi dari semua
pihak untuk ikut menekan prevalensi stunting di NTT.
Menurut dia, pada
Agustus 2021 penyebaran stunting di NTT ada pada angka 20,9 persen. Sementara
hasil timbang dan ukur terhadap balita pada Agustus 2022 turun ke 17 persen.
Laporan terakhir
menyatakan, adanya 77.378 kasus stunting di NTT pada Agustus 2022 lalu dengan
prevalensi 17,7 persen. Prevalensi ini ditekan dari beberapa tahun lalu yang
mencapai 20 persen.
Sedangkan pada Februari
2023 juga telah dilakukan penimbangan atau pengukuran terhadap balita. Angka
terbaru mengenai stunting ini akan dipublikasikan secara sah oleh Gubernur NTT
Viktor Bungtilu Laiskodat, setelah semua data dari kabupaten dan kota
terkumpul.
"Diharapkan turun
lagi ke 14 atau bahkan 13 persen. Harapan kita seperti itu karena dalam
persiapan untuk operasi timbang kita semua sudah bergerak," kata Marius
Mau Kuru, Senin (20/3).
Dia menambahkan,
sasaran timbang untuk Februari ini pun mencapai 440 ribu anak dan sebelumnya BKKBN
NTT mengedukasi agar semua keluarga yang memiliki balita dapat mengikuti
operasi timbang.
"Partisipasi
balita untuk mengikuti operasi timbang ini diharapkan juga telah 100 persen,
sehingga dapat terdata seluruhnya," ujar Marius Mau Kuru.
Penanganan stunting ini
kini diintervensi oleh semua sektor melalui berbagai program. Misalnya program
orang tua asuh yang juga diterapkan oleh TNI Polri. BKKBN NTT juga bergerak ke
pelbagai stakeholder termasuk melalui tokoh agama dan rumah ibadah.
Anggaran Rp77 Triliun Untuk Penanganan Stunting
Menteri Keuangan
(Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan anggaran sub kegiatan
penanganan stunting senilai Rp77 triliun tetapi hanya Rp34 triliun yang
langsung diterima oleh balita.
Menurut Marius
Pemerintah NTT telah memiliki strategi untuk menjaga agar anggaran stunting
tepat sasaran searah dengan prevalensi stunting yang turun ini. Menurutnya,
anggaran stunting juga diharapkannya tepat sasaran sesuai dengan penanganan
stunting pada anak.
"Untuk pengawasan
saya pikir strategi dari setiap pemerintah daerah tentunya pasti ada karena
pemerintah daerah tidak ingin anggaran itu bocor. Itu pasti,"
tutupnya. [gil] *** merdeka.com