Pada saat perayaan ini sedang berlangsung, warga
Kota Larantuka di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur selalu antusias
menyambut perayaan ditemukannya patung Tuan Ma (Bunda Maria).
Berbagai peziarah dari sejumlah penjuru tanah air
akan berdatangan ke kota Bunda Maria itu. Mereka ingin menyaksikan perayaan
besar tersebut sekaligus ingin mendapatkan mukjizat karena sebagian besar dari
pengunjung adalah orang sakit, terutama sakit strok dan sakit cacat.
Peziarah yang sakit seperti itu kebanyakan
didampingi oleh anggota keluarganya agar dapat menyembah Tuan Ma.
Para peziarah yang datang dari daratan Flores,
Timor, Sumba, dan Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur kebanyakan merupakan
generasi muda.
Orang Flores yang sudah tua dan tinggal di
perantauan biasanya menyuruh anak mereka untuk mengikuti ziarah tersebut.
Salah satu dari peziarah bernama Manecas da Costa
menjelaskan bahwa sepulangnya dari Larantuka, perwakilan keluarga biasanya akan
membawa air berkat hasil cucian patung Tuan Ma dan Tuan Ana yang diyakini dapat
menyembuhkan penyakit dan mengusir setan.
Selain mengenakan pakaian berwarna hitam, biasanya
peziarah juga membawa doa rosario dan gambar-gambar kudus untuk disimpan di
sekitar patung Tuan Ma dan Tuan Ana. Gambar-gambar itu diyakini akan diberkati
oleh Tuan Ma untuk keselamatan seluruh keluarga.
Adapun rangkaian prosesi Semana Santa secara
keseluruhan, yaitu Minggu Palma, Rabu Trewa/Abu, Kamis Putih, Jumat Agung atau
Sesta Vera, Sabtu Santo/Suci, hingga perayaan Minggu Halleluya atau Minggu
Paskah.
Minggu Palma
Minggu Palma adalah rangkaian awal dalam ritual
Semana Santa. Masyarakat lokal menyebutnya Minggu Palma dengan nama Dominggu
Ramu atau Minggu Daun-Daun.
Minggu Palma tidak hanya diwarnai dengan perayaan
liturgis saja, tetapi juga perayaan devosi. Conferia dan para umat akan
mengadakan persisan, yaitu sebuah prosesi mengelilingi katedral dalam rangka
mengenang Yesus memasuki Kota Lama Yerusalem. Pada saat itu, Yesus dianggap
sebagai raja dengan sebutan Hosana Filio David.
Rabu Trewa (Rabu
Abu/Rabu Terbelenggu)
Rabu dalam pekan suci ini oleh masyarakat Larantuka
disebut dengan Rabu Trewa. Tradisi Rabu Trewa memang unik karena hanya ada di
Larantuka dan wilayah di sekitarnya.
Masyarakat setempat menyebut Trewa karena
berdasarkan sejarahnya pada hari tersebut Yesus dibelenggu dan menjadi awal
dari kisah sengsara Yesus. Rabu Trewa merupakan tradisi yang memiliki ciri khas
dari masyarakat Nagi.
Pada Rabu Trewa, umat Katolik Larantuka akan
memenuhi dua kapela, yakni Kapela Tuan Ma di Pantai Kebis, Kelurahan Larantuka
dan Kapela Tuan Ana di Kelurahan Lohayong.
Rabu Trewa di Larantuka ditandai dengan penutupan
“mengaji” Semana Santa (berdoa sambil bernyanyi) yang merupakan giliran Kapten
Jentera atau Fernandez Aikoli Kampung Larantuka.
Bernardus Tukan memperjelas bahwa prosesi ini
dilakukan secara bergilir oleh 13 suku, yaitu Suku Kabelen (Resiona), Suku Lewi
(Kabu dan Leweni), Suku Kea (Aliandu), Suku Sau (Diaz), Raja Ama Kelen (de
Rosary), Raja Ama Koten (Diaz Viera da Godinho), Suku Maran, Suku Riberu da
Gomez, Suku Kelen, Suku Lamury, Suku Mulowato, Suku Lawerang, dan Suku Kapten
Jentera atau Fernandez Aikoli.
Pada pagi hari akan diadakan doa di Kapela Maria
dengan upacara yang diatur secara baku oleh suku-suku yang telah mentradisi.
Doa Semana Santa sendiri dihantar oleh mama muji
(ibu-ibu penyanyi dalam bahasa Latin atau Portugis), sedangkan pada sore
harinya diadakan lamentasi (ratapan Nabi Yeremia) di Gereja Katedral Reinha
Rosari, Larantuka yang dilakukan menurut ritus gereja Katolik Romawi Kuno di
Postoh, Larantuka, Flores Timur.
Di akhir lamentasi dibuat semacam keributan dan
kegaduhan dengan teriakan “trewa, trewa, trewa!”. Pada zaman dahulu acara ini
memperbolehkan penghancuran kapal-kapal yang ada di pelabuhan serta dihiasi
pula dengan pesta dan mabuk-mabukan, tetapi hal tersebut kini tidak dilakukan
lagi.
Kamis Putih
Kegiatan Kamis Putih diawali dengan perayaan
perjamuan Kudus oleh Uskup Larantuka yang bersifat liturgis. Sementara itu,
mardomu bersama dengan keluarga, kerabat, dan umat melaksanakan tradisi tikan
turo, yaitu memasang tiang dari kayu dan bambu tempat pemasangan lilin untuk
devosi Jumat Agung serta membangun armada.
Kegiatan lantas dilanjutkan dengan upacara Muda Tuan
pada siang hari, yakni upacara pembukaan peti patung Tuan Ma atau Mater Dolorosa
yang selama satu tahun ditutup oleh petugas conferia yang diangkat melalui
sumpah. Setelah dibuka, patung Mater Dolorosa lantas dibersihkan, dimandikan,
dan dihiasi.
Sub ritual ini tertutup untuk umum. Hanya conferia
dan orang-orang terpilih saja yang dapat ikut serta dalam upacara Muda Tuan.
Sebelum umat dan peziarah dapat melakukan devosi cium Tuan Ma, pintu kapela
secara simbolis dibuka oleh raja keturunan Diaz Viera de Godinho pada sore
hari.
Pembukaan pintu Kapela Tuan Ma yang disebut dengan
buka pintu tuan ini adalah salah satu bagian dan permulaan sub ritual cium Tuan
Ma. Sebelum membuka pintu kapela tersebut, raja berdoa dan meminta restu kepada
raja-raja sebelumnya, termasuk kepada watowele (leluhur para Raja Larantuka
yang berasal dari Gunung Ile Mandiri).
Setelah pintu kapela dibuka, dimulailah devosi cium
Tuan Ma. Menurut Bernardus Tukan, kesempatan tersebut diberikan kepada para
umat untuk bersujud dengan menyampaikan promesa (permohonan berkat dan rahmat).
Para umat meyakini bahwa Bunda Maria akan membawa
doa dan permohonannya kepada Tuhan Yesus (Per Mariam ad Yesum).
Seperti tradisi Gereja Katolik umumnya, pada Kamis
Putih malam di Gereja Reinha Rosari diadakan perayaan ekaristi pembasuhan kaki
12 rasul yang dilanjutkan dengan adorasi (penyembahan umum), doa bergilir di
depan sakramen Maha Kudus, mencium Tuan Ma di Kapela Tuan Ma, dan mencium Tuan
Ana di Kapela Tuan Ana.
Tahap yang disebut dengan promesa lakademu ini
disiapkan secara sukarela oleh beberapa orang. Adapun tugas dari lakademu atau
nikodemus hanya dari Gereja Reinha Rosari sampai ke Kapela Tuan Ana selama
prosesi Jumat Agung malam. Para anggota lakademu yang dipilih secara sukarela
dan rahasia ini memeriksa rute perjalanan dan mengecek kesiapan armida-armida
(tempat pemberhentian).
Aksi jalan-jalan melakukan “inspeksi” ini disebut
dengan jalan kure. Para lakademu berjalan bergandengan tangan sepanjang rute
prosesi dan berhenti di tiap armida untuk memeriksa keamanan jalan dan keadaan
sekitar armida itu.
Jumat Agung
Menurut sejarahnya ketika prosesi ini digelar di
awal-awal, nuansa kesan tobat dan syukur begitu mewarnai. Makna itulah yang
terus dipelihara, dijaga, dan dipertahankan hingga sekarang.
Tak ayal, umat Katolik Larantuka menyebutnya dengan
Sesta Vera. Prosesi Jumat Agung merupakan perarakan dalam mengantar jenazah
Yesus Kristus setelah disalibkan.
Perarakan patung Tuan Ma dan Tuan Ana menuju Gereja
Katedral Reinha Rosari dilaksanakan pukul 14.00 waktu setempat.
Perarakannya diatur dengan susunan sebagai berikut:
1)
Genda Do, yang
ditabuh terus-menerus sampai dengan selesai prosesi di malam hari.
2)
Serdati (Panji
Conferia Reinha Rosari).
3)
Anak-anak yang
membawa ornamen sengsara.
4)
Salib dan Serai
(lilin besar yang mengait salib).
Penyanyi O Vos dan Eus.
5)
Tangan Dayabu (tangan
setan), yang merupakan lambang godaan setan sepanjang sejarah manusia.
6)
Gian de Morti
(lukisan rangka manusia), yang merupakan lambang kematian dan pengaruh setan.
7)
Lampion (lambang
terang).
8)
Krenti dan Krona
Spina (rantai dan mahkota duri), yang merupakan lambang belenggu setan dan
keangkuhan manusia.
9)
Paku dan
pemukul.
Pundi-pundi.
Tongkat dan bunga karang.
Lembing atau tombak.
Dadu dalam piring.
Buah-buahan.
Tempayan.
Ayam jantan.
Salib.
Tangga.
Patung Tuan Ana.
Umat promesa Tuan Ana.
Patung Tuan Ma.
10)Para
pesadu conferia dan irmao conferia bersama raja.
11)Umat
promesa Tuan Ma.
Sekitar pukul 18.00 waktu setempat, para umat
berkumpul di Gereja Katedral Larantuka untuk melaksanakan lamentasi.
Selanjutnya, para conferia mengumandangkan ratapan
Yeremiah dan nyanyian popule meus hingga perarakan patung keluar dari Gereja
Katedral.
Suasana prosesi ini terkesan sunyi, meskipun diikuti
oleh banyak orang. Prosesi perarakan pun berjalan dengan melewati
armida-armida. Armida bersifat temporal hanya ketika Prosesi Jumat Agung.
Minggu
Halleluya/Minggu Paskah
Pada Minggu Paskah, dilaksanakan upacara ekaristi
Paskah di gereja, sedangkan pada sore harinya para umat bersama dengan irmao
conferia dan pesadu conferia mengantar patung Maria Halleluya dari Kapela
Pantekebis ke Gereja Katedral untuk disemayamkan selama upacara ekaristi.
Setelah selesai perayaan ekaristi, patung Maria
Halleluya diarak kembali ke Kapela Pantekebis untuk pentahtaan. Prosesi ini
dilakukan dengan acara Sera Punto Dama (kegiatan penyerahan tugas mardomu dari
yang lama kepada yang baru).
Acara Sera Punto Dama juga dilakukan di Kapela
Missericordia Pante Besar setelah prosesi Minggu Paskah selesai. Dengan
demikian, berakhirlah prosesi suci Semana Santa yang panjang dengan Sesta Vera
sebagai mahkotanya.
Sebagai budaya sakral warisan Portugis, ritus suci
juga digelar di Konga dan Wureh.
Kapela, Armida,
dan Tori
Larantuka memiliki banyak kapela. Hampir di setiap
kampung terdapat kapela dengan pelindung yang berbeda-beda.
Kapela yang terbesar dan menjadi pusat Semana Santa
adalah Kapela Tuan Ma dan Kapela Tuan Ana.
Selain itu, ada lagi dua kapela di ujung timur dan
barat Larantuka yang menjadi perhatian ketika Semana Santa, yaitu Kapela Tuan
Menino dan Kapela Miseri Cordia.
Ketika Prosesi Jumat Agung, kapela-kapela kecil di
kampung-kampung pun ikut memanjatkan doa dan menyalakan lilin tepat ketika
persisa dimulai.
Lilin tersebut baru boleh dimatikan tepat ketika
prosesi selesai dilaksanakan.
Dalam pelaksanaannya, perjalanan prosesi
mengelilingi Kota Larantuka menyinggahi delapan armida/perhentian (lambang
delapan suku yang berfungsi), yaitu:
Armida Suku Mulawato/Misericordia (Pantai Besar) di
Kelurahan Lohayong dan Kelurahan Pohon Sirih, yaitu merenungkan janji Tuhan
yang mengutus putra-Nya ke dunia.
Armida umat Sarotari di Kelurahan Pohon Sirih dan
Kelurahan Balela yang berpelindung Amu Tuan Meninu (Tuan Bayi Anak), yaitu
merenungkan masa kanak-kanak Yesus.
Armida Suku Amakelen dan Ama Hurint Balela di Kapela
St. Philipus Balela, yaitu merenungkan masa hidup dan karya Yesus selama di
dunia.
Armida Suku Kapten Jentera dengan pelindung Amu Tuan
Trewa (Tuan Terbelenggu), yaitu merenungkan Yesus yang ditangkap dan diadili.
Armida Suku Riberu/Mater Dolorosa da Gomes di depan
Kapela Tuan Ma, yaitu merenungkan Maria yang bersatu mengikuti jalan salib
Yesus.
Armida Suku Sau/Diaz di Kapela Benteng Daud/Pohon
Sirih dengan pelindung St. Antonius dari Padua, yaitu merenungkan saat Yesus
dijatuhi hukuman mati.
Armida keluarga Raja Diaz Viera de Godinho di Armida
Kuce yang berada di depan istana raja Larantuka, yaitu merenungkan Yesus yang
telah wafat di kayu salib Armida Suku Amaleken Lewonama di Kapela Tuan Ana,
yaitu merenungkan Yesus yang diturunkan dari kayu salib.
Armada Suku Amaleken Lewonama menjadi pusat dari
prosesi Jumat Agung dikarenakan prosesi perarakan berakhir di sini.
Pada armada ini pula patung Yesus diturunkan dari
salib dan diletakkan pada pangkuan Bunda Maria. Selanjutnya, seluruh umat
kemudian diantar untuk masuk ke dalam Gereja Reinha Rosari Larantuka.
Selain kapela dan armida, terdapat juga tempat
ibadah yang disebut dengan Tori. Tori adalah rumah yang secara khusus dijadikan
sebagai tempat ibadah dan menyimpan benda-benda suci seperti salib dan patung
peninggalan nenek moyang. Tori-tori ini adalah milik suku-suku tertentu yang
menjaga pusaka mereka secara turun-temurun.
Tori-tori itu antara lain Tori Tuan Trewa, Tori Suku
Teluma/ Da Santo, Tori Mesti De Kampu/Tori Pante Kebis, dan Tori Lewai.
Nilai pariwisata
dan religi
Semana Santa sebagai salah satu wisata yang
berhubungan dengan tata cara kehidupan suatu suku bangsa. yang mana turut
membuat ekonomi di Larantuka menggeliat.
Hal ini dikarenakan pada saat perayaan ini
berlangsung, hotel-hotel yang ada di Larantuka biasanya sudah penuh dan tarif
kamar hotel akan dinaikkan.
Jasa sewa mobil antarkota se-Flores pun laris manis.
Kendaraan umum dengan rute Nelle-Larantuka bahkan tidak mudah untuk dicari,
terutama mendekati Kamis Putih dan Jumat Agung.
Meskipun demikian, di balik perayaan suka cita
tersebut pihak gereja merasakan keprihatinan mendalam. Uskup Larantuka
Monsinyur Fransiskus Kopong Kung Pr.
misalnya, mengatakan bahwa Yubelium Tuan Ma
sebenarnya menggambarkan perjalanan umat di Larantuka yang sudah tua.
Seharusnya, keimanan yang mantap tercermin dalam kehidupan sehari-hari umat.
Namun, realitas di dalam banyak bidang ternyata
masih menghadapi tantangan berat. Banyak anak-anak muda setelah lulus Sekolah
Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan yang menganggur tanpa pekerjaan.
Akibatnya, hal tersebut membuat rawan dengan tindak
kekerasan atau kriminal, apalagi dicemari oleh minuman keras atau narkoba.
Masalah lainnya menurut Pater Alex Beding adalah
kesadaran berusaha, keterampilan, daya, dan daya juang yang rendah dari
generasi muda meskipun sebenarnya masih ada peluang.
Apabila iman seseorang kuat, seharusnya mereka
memiliki cara pandang positif dan optimis dalam melihat dunia dan tidak pasrah
kepada keadaan.
Dalam mengantisipasi pengaruh negatif perkembangan
zaman, Petrus Beke mengemukakan bahwa pemerintah daerah Flores telah berupaya
antara lain dengan membatasi izin kafe atau tempat hiburan malam, terutama di
daerah kota.
Mereka tidak akan memberikan izin pendirian hiburan
malam lainnya karena identitas Kota Larantuka adalah sebagai Kota Reinha.
Yubileum Tuan Ma seharusnya menjadi suatu gerakan pembaruan kesadaran umat.
Inkulturasi
Prosesi Semana Santa di Larantuka, Nusa Tenggara
Timur telah mengalami inkulturasi antara kepercayaan masyarakat lokal, ajaran
gereja, dan tradisi yang dibawa oleh Portugis.
Beberapa tradisi mengalami perubahan, tetapi
sebagian besar sampai saat ini masih dipertahankan. Meskipun demikian,
perubahan yang muncul tidak dipermasalahkan karena hal tersebut dianggap
sebagai hal yang memperkaya tradisi dan menjadi milik semua masyarakat.
Dalam perayaan Semana Santa, Tuan Ma diterjemahkan
sebagai Bunda Maria, tokoh yang paling menderita atas sengsara, wafat, dan
kebangkitan Yesus. Patung Tuan Ma pun diarak bersama Tuan Ana (patung Yesus).
Sosok Bunda Maria dalam ajaran Katolik disebarkan
oleh para misionaris Portugis, yang kemudian juga mengenalkan tradisi Semana
Santa.
Donatus da Rosari mengemukakan bahwa para misionaris
Portugis tersebut dapat diterima oleh para suku dan masyarakat adat setempat
karena secara tradisi mereka juga menjunjung tinggi peran perempuan.
Arak-arakan Semana Santa termasuk tradisi yang
mengalami perubahan. Kalau di masa lalu umat memberi upeti kepada nenek moyang
yang diyakini menghuni korke (rumah pemujaan), tetapi pada masa sekarang di
dalam korke-korke tersebut diletakkan salib di dalamnya.
Korke-korke itu kemudian diubah menjadi
gereja-gereja kecil, sedangkan upeti kepada raja berubah menjadi kolekte kepada
gereja.
Tradisi yang masih dipertahankan sampai sekarang
adalah delapan suku yang tetap berperan aktif selama masa Semana Santa.
Mereka memimpin doa di kapela, mengatur perarakan
Tuan Ma, menggerakkan masyarakat, membangun armida (tempat persinggahan Tuan Ma
dan Tuan Ana), dan memimpin prosesi Jumat Agung.
Sampai sekarang pun yang menjaga dan membersihkan Patung
Tuan Berdiri (Yesus disesah) dan juga Patung Cruz Costa (Yesus memikul salib)
hanyalah suku-suku asli di masa lalu yang diberi kepercayaan penuh oleh Raja
Larantuka.
Begitu pula urut-urutan devosi sampai sekarang masih
tetap dipertahankan sesuai dengan aslinya seperti di dalam Alkitab.
Agama asli masyarakat Flores Timur juga mengenal
Ama Lera Wulan Ina Tana Ekan (penguasa langit dan bumi). Masyarakat asli Suku
Lamaholot membayangkannya sebagai pribadi-pribadi manusia. Mereka meyakini
dengan melihat langit akan ada sesuatu yang luar biasa berkuasa dan sangat
tinggi.
Namun, keberadaan mereka juga tidak lepas dari tanah
atau bumi. Oleh karena itu, ketika para masyarakat dikenalkan dengan ajaran
Allah Tritunggal dalam ajaran Katolik, Bapa Putra, Roh Kudus, dan penguasa alam
semesta, hal tersebut dapat diterima.
Inkulturasi agama lokal, tradisi Portugis, dan
tradisi gereja dapat dikatakan cukup tercermin di dalam perayaan Semana Santa
di Larantuka.
Prosesi kegiatan tradisional tersebut dipadukan
dengan agama, sehingga ada unsur tradisi dan unsur keagamaan di dalamnya.
Keduanya menyatu sangat intens dan sulit untuk
dipisahkan. Dalam perayaan ini dapat terlihat keunikan devosi Bunda Maria oleh
masyarakat Larantuka sampai saat ini.
Manurut Herin, anggota keluarga yang jauh berada di
luar Flores Timur atau luar Nusa Tenggara Timur akan pulang untuk mengikuti
prosesi ini.
Pada bulan April tahun 2010, prosesi Jumat Agung
melibatkan delapan suku di Larantuka yang diketuai oleh Raja Diaz Diego Dinho.
Tiap-tiap suku memiliki armida sendiri yang harus disinggahi selama prosesi
berlangsung.
Pada setiap armida atau tempat perhentian biasa
dinyanyikan lagu lamentasi dan lagu yang menceritakan kisah sengsara
penderitaan Yesus yang kemudian ditangisi oleh Bunda Maria. Semua prosesi
tersebut menggunakan bahasa Portugis.
Para penyiar agama Katolik Larantuka yang
menyebarkan agama Katolik
ke wilayah Kabupaten Sikka, Kabupaten Ende, Kabupaten Ngada, sampai dengan
Kabupaten Manggarai pada tahun 1600-an selalu mewajibkan penghormatan kepada
Maria.
Namun, para pastur dan uskup tetap mengawasi semua
proses devosi ini agar Yesus tetap menjadi tokoh sentral. Kegiatan liturgi dan
devosi pun dipisahkan.
Devosi kepada Tuan Ma dipimpin oleh raja-raja dan
conferia, sedangkan kegiatan liturgi dipimpin oleh pastur atau uskup sendiri.
Kendati demikian, sampai saat ini sosok Bunda Maria masih sangat sakral atau
keramat bagi warga Larantuka.
Hal inilah yang menyebabkan
masyarakat merasa khawatir akan mengalami hal-hal buruk yang tidak diinginkan,
seperti terkenanya kutukan apabila sembarangan menyebut nama dari patung
tersebut. Begitu sakralnya sosok Maria hingga membuat masyarakat takut untuk
menyebut namanya.
Sampai sekarang, di luar masa Pekan Suci para warga
tidak diperbolehkan melihat patung Tuan Ma.
Sebab, patung itu hanya boleh dikeluarkan pada saat
Kamis Putih dan Jumat Agung saja. Setelah itu, patung tersebut akan disimpan
kembali di ruangan yang khusus. (Sumber
Wikipedia.org).