Dikutip dari
Wikipedia.org menyebutkan, kata semana santa berasal dari bahasa Portugis
semana yang berarti "pekan" atau "minggu" dan santa yang
berarti "suci".
Secara keseluruhan,
semana santa berarti pekan suci
yang dimulai dari Minggu Palma, Rabu Pengkhianatan, Kamis Putih, Jumat Agung,
Sabtu Suci hingga perayaan Minggu Halleluya atau Minggu Paskah.
Semana Santa merupakan
ikon dari Flores Timur dan menjadi daya tarik tarik tersendiri, baik bagi peziarah maupun
wisatawan. Selain menggeliatkan ekonomi dan pariwisata, tradisi ini juga
menjadi wujud toleransi antar umat beragama di Flores Timur.
SEMANA SANTA LARANTUKA - Prosesi Semana Santa di Larantuka Flores Timur beberapa tahun silam. Semana Santa Larantuka kembali digelar tahun 2023 ini di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. |
Asal-usul
Pengaruh Portugis
sangat terasa pada kehidupan umat Katholik di Larantuka. Hal inilah yang
menyebabkan Larantuka juga disebut sebagai Nagi dan Kota Reinha (kota yang
diberkati Maria).
Bahkan wilayah di
pesisir pantai ini menjadi kota dengan sebuah wilayah gerejawi yang diatur oleh
seorang uskup (Keuskupan) pertama di Pulau Flores sejak lima abad yang lalu.
Interaksi itu diawali
ketika pada tahun 1511, yaitu setelah menaklukkan Bandar Malaka, kapal-kapal
dagang milik Portugis berlayar menuju Kepulauan Maluku dan Kepulauan Banda
untuk mencari rempah-rempah.
Sebagian kapal-kapal
Portugis itu ada yang bergerak ke arah selatan dan ketika melewati Laut Flores
dan Laut Banda, tepatnya ke wilayah Nusa Tenggara Timur.
Cerita rakyat yang
beredar bisa dipastikan bahwa tradisi Semana Santa dimulai sejak
penemuan Patung Tuan Ma di Pantai Larantuka pada tahun 1510.
Patung tersebut
diperkirakan terdampar di pantai akibat karamnya kapal milik Portugis di
perairan Larantuka. Atas perintah dari Kepala Kampung Lewonama saat itu, patung
Tuan Ma tersebut kemudian disimpan di rumah pemujaan korke (bahasa lokal).
Warga setempat yang
kala itu belum mengenal sosok patung tersebut, kemudian menghormatinya sebagai
benda sakral. Masyarakat pun kerap memberikan sesaji ketika merayakan peristiwa
tertentu seperti perayaan panen dan perayaan-perayaan lainnya.
Perayaan Semana Santa
di tempat ini terjadi tiga kali, yang kerap disebut dengan Hari Baedi Nagi,
Hari Bae diKonga, dan Hari Baedi Wureh.
Perayaan ini
menempatkan Yesus dan Bunda Maria yang berkabung menyaksikan penderitaan
anaknya sebelum dan saat disalibkan sebagai pusat ritual.
Wureh, Adonara Barat,
Flores Timur adalah sebuah desa yang memiliki pengaruh kuat dari budaya
Portugis. Desa ini terletak di Pulau Adonara atau tepatnya di Kecamatan Adonara
Barat yang dapat ditempuh dengan transportasi laut selama kurang lebih 20 menit
dari kota Larantuka.
Sejarah Semana Santa
Pada tahun
1500-an, Larantuka sangat kuat menjalani tradisi tua kekatolikan dengan devosi
Katolik kepada Bunda Maria sebagai pusat iman.
Melalui Maria,
seseorang akan sampai kepada Yesus. Dalam tradisi Larantuka, serangkaian ritual
rohani dan upacara keagamaan ini disebut dengan Semana Sancta (semana =
seminggu/sepekan, sancta = kudus) atau dalam tradisi Gereja Katolik disebut
dengan pekan suci.
Semana Santa di
Larantuka tidak bisa dilepaskan dengan warisan
Portugis untuk Indonesia baik secara umum dan khususnya untuk Larantuka.
Orang Katolik Larantuka
masih tetap mewarisi ritual keagamaan yang ditinggalkan bangsa Portugis itu
secara lengkap. Sejarah tradisi menjadi jawaban atas terjadinya hal ini.
Tradisi ini dibawa oleh
Portugis yang datang untuk berdagang rempah-rempah, termasuk cendana dari Pulau
Solor dan Timor pada abad ke-16 yang berpusat di Lohayong, Solor Timur, Flores
Timur.
Pada awalnya, setelah
menaklukkan Bandar Malaka tahun 1511, kapal-kapal dagang milik Portugis
berlayar menuju Kepulauan Maluku dan Kepulauan Banda untuk mencari
rempah-rempah.
Sebagian kapal-kapal
Portugis itu ada yang bergerak tajam ke arah selatan ketika melewati Laut
Flores atau Laut Banda. Mereka singgah di pulau-pulau yang menghasilkan kayu
cendana putih yang tumbuh subur di sana.
Jenis kayu ini sudah
sejak lama menjadi barang dagangan yang dicari oleh para pedagang-pedagang asal
Tiongkok dan dipakai sebagai bahan pembuatan dupa, minyak wangi, dan peti mati
yang berbau wangi.
Menurut Pradjoko, harga
kayu cendana ini di Pelabuhan Canton bisa mencapai tiga kali lipat dibandingkan
dengan harga di Pulau Timor.
Sejak saat itulah,
kepulauan di wilayah Nusa Tenggara Timur mulai berinteraksi dengan bangsa
Portugis, tak terkecuali wilayah di Flores Timur beserta kota-kotanya.
Pada tahun
1515, Portugis membangun kekuatannya di dua wilayah yang berada di Flores
sebagai tempat singgah sebelum ke Pulau Timor, yakni Kabupaten Ende dan
Larantuka.
Larantuka sendiri
dipilih karena letaknya yang strategis, tidak menghadap laut lepas, dan
terlindungi oleh dua pulau di depannya, yakni Pulau Solor dan Pulau Adonara,
serta teluknya yang tenang dan indah.
Selanjutnya, Portugis
lebih memusatkan kekuatannya di Pulau Solor, tepatnya di Lohayong dan Larantuka
ditinggalkan.
Pada tahun 1561, Solor
didatangi oleh kaum misionaris Dominikan yang memulai misi Katolik di sana.
Ketika Belanda
menyerang Solor pada tahun 1613 dan benteng pertahanan yang dibangun Portugis
di Lohayong berhasil direbut, Portugis mengalami kekalahan dan melarikan diri
bersama beberapa pribumi yang sudah memeluk Katolik ke Larantuka sebagai
wilayah yang aman.
Dalam pelarian tersebut
ada hal yang menarik di dalamnya, yaitu ketika komandan garnisun Belanda di
Solor membelot dan menggabungkan diri dengan Portugis di Larantuka serta
memeluk Katolik.
Ketika berada di
Larantuka itulah, imam-imam Portugis datang kepada Raja Larantuka dan
mempermandikan raja beserta keluarganya menurut iman Katolik.
Mulai saat itu juga,
muncul semboyan di Larantuka, yaitu “raja adalah penguasa wilayah, penguasa
pemerintahan, adat, dan agama”.
Pelabuhan Larantuka
selanjutnya berkembang dengan cukup pesat. Kapal-kapal dari Jawa dan Tiongkok
rutin menyinggahi dan mendatangi Larantuka.
Pada tahun 1641,
terjadi pengungsian besar-besaran orang Portugis dari Kabupaten Malaka ke
Larantuka bersama orang Melayu-Malaka yang telah memeluk agama Katolik karena
Malaka berhasil direbut.
Pengungsian
besar-besaran inilah yang diduga juga membawa patung-patung dan benda-benda
kerohanian Katolik ke Larantuka.
Para imigran ini
membangun dua pemukiman baru, yaitu di desa Wureh dan desa Konga, Titehena,
Flores Timur. Mereka menikah dengan wanita-wanita pribumi dan membentuk sebuah
komunitas masyarakat baru.
Mereka lantas disebut
dengan orang Topas,
sedangkan orang Belanda menyebutnya dengan Zwarte Portugeesen (Portugis hitam)
yang bisa dikenali dari kulit mereka yang berwarna gelap.
Namun, orang-orang yang
tinggal di Larantuka, Konga, dan Wureh menyebut mereka dengan sebutan
Larantuqueiros (orang dari Larantuka).
Kedatangan orang-orang
Portugis dan Malaka pribumi yang telah memeluk Katolik, menikah dengan
orang-orang Larantuka, serta berinteraksi dengan masyarakat asli, hal ini
mengakibatkan agama Katolik dikenal dan dipeluk oleh masyarakat pribumi.
Pada tahun 1645, Raja
Larantuka bernama Olla Adobala dipermandikan oleh seorang imam Katolik
Portugis. Olla Adobala kemudian menyandang nama DVG (Don Fransisco Olla Adobala
Diaz Viera Ghodinho).
Para penerusnya lantas
memerintah dan membangun Kerajaan Larantuka secara Katolik. Olla Adobala juga
menyerahkan tongkat emas kerajaan pada Bunda Maria Reinha Rosari.
Ratu Kerajaan Larantuka
sesungguhnya adalah Bunda Maria Reinha Rosari dan keturunan dari Don Fransisco
Olla Adobala Diaz Viera Ghodinho adalah wakil-wakilnya di dunia.
Raja hanya bergerak di
bidang keagamaan menjadi conferia (pemimpin perserikatan) dengan bendera keloba
(gurita).
Kerajaan Larantuka
adalah kerajaan terbesar di Flores Timur dan dikenal sampai di ujung timur
Pulau Timor. Di Lospalos misalnya, kemasyhuran Kerajaan Larantuka membuat Raja
Fuiloro, Verrisimo menyimpan pusaka berupa kain Larantuka yang unik.
Dengan pemerintahan
seperti itu, Kerajaan Larantuka pun dengan tangan terbuka menerima agama
Katolik. Prosesi Jumat Agung dan pekan Semana Santa-pun mulai diberlakukan
secara rutin sejak tahun 1736. Suban turut menjelaskan bahwa prosesi Semana
Santa sebelumnya memang pernah dilakukan, tetapi belum teratur.