Siapa yang mau
berkotor-kotor dengan berkeringat setiap hari tapi minim penghasilan dan penuh
risiko? Saya pun begitu. Pekerjaan yang nyaman, gengsi tinggi, penghasilan
besar atau setidaknya aman adalah cita-cita kebanyakan dari kita.
Jangankan kita orang awam,
berdasarkan riset Institut Pertanian Bogor (IPB) yang dikutip theconversation
pada 24 September 2022 bahwa mahasiswa pertanian saja memiliki minat yang
rendah untuk berkecimpung di sektor ini. Salah tiga dari banyak alasannya
adalah penghasilan, stigma, dan dukungan orang tua serta pendidik.
Dalam jangka panjang
jika kondisi seperti ini berlanjut, ancaman masa depan menghantui pangan kita.
Sengsara di Negeri Agraris
Negara kami yang
berjuluk negara agraris nampaknya memang sedang krisis identitas. Lihat saja
selama tiga dekade terakhir, sumbangan sektor pertanian terus menurun terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun (BPS, 2019).
Ditambah hanya 12
persen saja atau 33,4 juta dari 270 juta total penduduk yang bekerja sebagai
petani (Kemenpan, 2020). Itupun 72,03 persen di atas usia 40 tahun dengan
rata-rata penghasilan hanya Rp 1,4 juta per bulan (dataindonesia.id).
Kondisi tersebut
membuat petani harus menghadapi hidup yang serba sulit. Belum lagi, harga jual
hasil panen seringkali turun dan tidak sebanding dengan biaya produksi yang
dikeluarkan, seperti biaya pupuk, pestisida, dan pengeluaran lainnya.
Masalah lainnya adalah
sulitnya mendapatkan modal untuk meningkatkan produksi atau memperbaiki
fasilitas pertanian,
sehingga petani seringkali terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Sebenarnya petani dapat
menikmati hasil yang baik, jika panjang rantai niaga diperbaiki. Namun, saat
ini masih banyak pembagian keuntungan yang adil antara petani dan tengkulak.
Hasil yang didapat tidak sebanding dengan risiko yang dialami petani. Belum
lagi jika dihitung kerugian ketika cuaca tak bersahabat maupun serangan hama.
Putus Generasi
Di kampung saya,
mayoritas generasi petani berhenti di orang tua. Jika tidak kuliah atau ikut
akmil/akpol, maka anak-anaknya lebih memilih jadi buruh pabrik. Selain tak
minat, memang karena orang tua enggan anaknya menjadi petani. Ada yang
mengatakan “biarlah bertani menjadi hobi bukan pekerjaan”, ada juga yang
berkata “pekerjaan ini nasib bukan pilihan”.
Pilihan memutus
generasi petani itu bukan tanpa nalar. Bertani memerlukan lahan yang cukup
luas. Kalaupun ada lahan milik orang tua, sepeninggalannya lahan itu dibagi waris
dengan saudara, hal itu berlanjut dari generasi ke generasi sampai lahan
menjadi susut. Sedangkan teknologi bertani di lahan sempit sejauh ini belum
bisa diandalkan untuk penghasilan tetap.
Di samping itu,
pengalaman hidup petani yang susah membuat mereka berharap anaknya kelak tidak
merasakan pengalaman yang sama. "Bertani ibarat berjudi" katanya,
menggantungkan hidup pada keberuntungan dan harus siap repot untuk nyambi
menjadi kuli bangunan.
Alasan-alasan itu
begitu kompleks dan sulit menemukan penyelesaiannya. Namun petani adalah garda
depan untuk ketahanan pangan kita. Beberapa tahun sebagaimana diramalkan
nampaknya profesi ini akan sulit bertahan jika solusi konkret tak ditemukan.
Tak putus harapan,
untungnya menurut rekan saya saat dia bertanya cita-cita kepada ratusan siswa,
ada satu di antara sekian banyak yang mau menjadi petani.
Catatan menukik Foho Beitara, Kabupaten Malaka NTT
Akhir Pekan Sabtu, 06 Mei 2023