Dikatakan Agustinus,
Kedua korban ini digarapaksa oleh kakek kandung mereka sendiri. Kasus
dugaan garapaksa terhadap anak di bawah umur ini telah dilaporkan oleh keluarga
korban ke Polres TTS pada 26 Mei 2023 lalu dengan nomor laporan; STTLP/
1687/V/2023/SPRT/POLRES TTS/POLDA NTT.
Meskipun demikian,
hingga saat ini berdasarkan pengakuan keluarga korban kasus itu belum
ditindaklanjuti.
Ia menerangkan,
keluarga korban juga menilai penanganan laporan kasus tersebut diduga sangat
lamban dan kurang ada respon dari kepolisian.
Hal ini mendorong
keluarga korban meminta dirinya untuk mendampingi kasus dugaan rudapaksa
terhadap anak ini.
"Karena satu saya
sebagai Ketua Dewan Etik Perlindungan Nasional Anak Indonesia sekaligus
pengacara, artinya ini adalah bahwa kasus pidana anak yang harus kita tangani
dengan serius," ucapnya saat diwawancarai POS-KUPANG.COM, Sabtu, 24 Juni
2023.
Pasalnya, berdasarkan
data dan informasi yang diperoleh bahwa kasus pencabulan anak di bawah umur di
Provinsi NTT sangat tinggi. Sebagai Dewan Perlindungan Nasional Anak Indonesia,
Agustinus mengaku miris dengan banyaknya jumlah kasus pencabulan terhadap anak
di bawah umur di NTT.
Parahnya lagi, kasus
pencabulan terhadap anak di bawah umur di NTT dilakukan oleh orang-orang dekat
korban. Modus terduga pelaku melancarkan aksinya dengan ancaman dan iming-iming
uang.
Ia menambahkan, kedua
korban diduga dirudapaksa oleh kakeknya sejak umur 13 dan 14 tahun. Kejadian
ini terjadi berulangkali selama 3 hingga 4 tahun terakhir.
Merasa trauma dengan
perlakuan terduga pelaku, kedua korban saat ini telah kabur dari rumah dan
menetap di rumah keluarga yang lain di luar desa tersebut karena takut menerima
ancaman dan lain-lain.
Hal tersebut juga bisa
menjadi penyebab kasus dugaan rudapaksa terhadap anak di bawah umur di NTT
terus meningkat.
Fenomena ini,
lanjutnya, wajib menjadi tanggung jawab, pemerintah, masyarakat serta pihak
kepolisian yang bertugas untuk menindak tegas para terduga pelaku.
"Kasus anak,
harusnya Polres TTS segera merespon cepat dengan lex spesialis. Karena kasus
anak, undang-undangnya kan undang-undang khusus. Penanganan pun di PPA,"
ujarnya.
Agustinus meminta
Kapolda NTT, Kabid Propam Polda NTT, Dirintel Polda NTT dan Kapolres TT untuk
segera menindaklanjuti kasus dugaan rudapaksa terhadap anak yang terjadi di
Kecamatan Amanuban Tengah.
Pasalnya, hingga saat
ini terduga pelaku rudapaksa masih berkeliaran dan melakukan intimidasi
terhadap keluarga korban maupun korban sendiri.
Berdasarkan informasi
yang dihimpun, ucap Agustinus, banyak sekali kasus dugaan rudapaksa yang
terjadi di wilayah tersebut. Namun para korban maupun keluarga korban takut
untuk menyampaikan laporan karena beberapa faktor.
Ia juga meminta
Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Daerah Kabupaten TTS untuk segera memberikan
perlindungan terhadap para korban. Pasalnya para korban adalah anak di bawah
umur.
Semestinya, pihak
kepolisian responsif terhadap laporan tersebut dengan membentuk tim dan
bergerak cepat menangkap terduga pelaku.
Hal ini bertujuan agar
Para terduga pelaku tidak melakukan intimidasi atau teror terhadap korban
maupun keluarga korban.
"Akhirnya kedua
orang korban yang satu inisialnya T dan satunya lagi inisialnya P ini sudah
lari dari rumah beberapa Minggu terakhir. Karena takut ancaman. Diancam diusir,
diancam putus sekolah, dan diancam macam-macam," beber Agustinus.
Undang-undang
perlindungan anak secara tegas dan lugas memberikan proteksi terhadap anak
dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp. 5 Miliar.
Oleh karena itu,
Agustinus meminta penegak hukum di NTT khususnya di wilayah Timor agar
memonitor dan prioritas mencegah kasus dugaan rudapaksa terjadi.
Sinergitas lembaga
perlindungan anak, pemerhati anak, APH, pemerintah daerah dan masyarakat sangat
penting untuk melakukan evaluasi dan sosialisasi ke bawah dalam upaya mencegah
kekerasan seksual terhadap anak.
"Dan saya minta
supaya segera melakukan perlindungan terhadap kedua anak ini. Karena mereka
sudah kabur, keluar dari rumah karena di bawah ancaman," tutupnya. (*)