Keberaniannya semakin
bertambah lantaran setiap kali pergi berburu, ia selalu didampingi oleh sahabat
kentalnya yakni seekor anjing galak yang ia pelihara sejak kecil. Rupanya
anjing galak itu memahami kebaikan tuannya. Itu pula sebabnya, ia juga berbuat
baik pula kepada pemiliknya itu. Ini terbukti ketika pemiliknya dihadang
binatang buas, anjing itu selalu tampil beda, lalu berusaha memperlihatkan
kehebatan dan kegalakannya dengan cara merobek-robek hati binatang yang
dimangsanya di depan tuannya.
Suatu hari, keduanya
berburu ke suatu tempat yang kabarnya banyak dihuni binatang yang disukainya.
Sayangnya di kawasan itu tidak sebuah pohon pun yang tumbuh sebagai peneduh.
Tidak heran kalau terakhir keduanya cepat capai dan haus. Semakin keduanya
berburu rasa haus semakin menggerogoti kerongkongannya. Buruan pun praktis
tidak diperoleh. Maka keduanya pun berlari mencari teduhan dari sengatan sang
mentari.
Akhirnya, mereka tiba
di bebukitan yang ditumbuhi pepohonan perdu. Namun, hanya sebentar mereka
berteduh, karena kondisi lokasi tersebut tidak kondusif. Lalu, mereka
berlari-lari lagi ke tempat lain. Sayangnya di kawasan tersebut tidak dijumpai
mata air padahal rasa haus sudah tak tertolong lagi. Oleh sebab itu, keduanya
berlari-lari lagi ke tempat yang kiranya ada pohon dan mata airnya. Begitu
mereka tiba di tempat yang ditujui sang surya sudah condong ke barat dan
sebentar lagi senja merentang. Keduanya pun bermusyawarah untuk segera pulang
karena tidak ada gunanya berburu, sementara binatang buruan akan kembali ke
sarangnya masing-masing.
Semalam suntuk keduanya
tidak dapat tidur. Merenungi kesialan siang hari itu merupakan akar
permasalahannya. Dan ketika subuh bersinar terang, keduanya melangkah menuju
tempat lain. Hari itu terang benderang sebenderang pikiran keduanya. Ya, kali
ini mereka beroptimis memperoleh buruan. Sayang sekali, keoptimisan bakal
dihadang berbagai masalah, sepertinya sang mentari tidak bersahabat. Kali ini
panasnya membakar sekujur tubuh. Karena itu, mereka pun berlari-lari lagi ke
tempat teduh. Di tempat itu, angin sepoi-sepoi menerpa seantero tubuh keduanya,
sehingga keduanya langsung tertidur pulas, ya pulas sekali.
Selang beberapa menit,
anjing galak itu kaget, lalu terbangun. Ia tidak langsung mendekati tuannya
itu. Sebab ia tidak yakin, sahabat kentalnya yang gagah berani, tiba-tiba saja
meraung kesakitan. “ Mengapa tuanku ini ? “ Ia bertanya-tanya dalam hati. Akan
tetapi karena tuannya itu masih saja meraung, akhirnya ia mendekatinya. “ Apa
yang terjadi, tuanku ? Lalu meraba kening tuannya yang disangka sakit kepala,
karena menurutnya sakit kepalalah yang sering diderita tuannya. “ Bukan ! Saya
digigit kalajengking”, desis Si Pemburu sembari menambahkan, “ Sejak tadi saya
mencarinya tapi tidak kutemukan binatang keparat itu.
Anjing kesayangannya
itu pun langsung mencari kalajengking di antara bebatuan sekitar Si Pemburu.
Tidak lama kemudian, kalajengking itu diperlihatkan oleh Si Anjing. Ini dia,
katanya, lalu langsung ditelan tanpa dimatikan sebelumnya. “ Wah, ternyata kamu
suka sekali dengan kala jengking”, sahut Si Pemburu sambil menepuk-nepuk bahu
anjing kesayangnnya itu.
Semakin disayang,
anjing itu pun berujar, “ Ya, binatang yang paling enak di dunia ini adalah
kalajengking. Dengan memakan kalajengking aku semakin bersemangat”, responnya,
lalu memperlihatkan kehebatannya dan kegalakannya dalam menagkap dan memangsa
binatang buruannya.
Si pemburu senang pula
ia menyimak cakapan anjing kesayangannya. Karena itu, ia pasang senyum
seakan-akan mempersilahkan anjing itu untuk terus memaparkan kecekatan dan
kehebatannya. Gayung pun bersambut. Anjing itu pun lantas berkomentar, “Saya
suka makan apa saja. Tidak seperti tuan suka memilih-milih makanan”. Sampai di
sini, si pemburu hanya mengangguk-angguk saja.
Anjing itu terus saja
mengedepankan gagasan briliannya. Supaya tuanku tahu, lingkungan di sekitar
kita ini diciptakan Tuhan untuk hambanya. Mengapa tuanku tudak memanfaatkannya.
Tuan hanya suka memilih-milih jenis makanan. “Sekarang tuan sendiri
mengalaminya. Sudah tidak memperoleh buruan malah disakiti kalajengking. Pasti
tuan lapar sehingga meraung-raung kesakitan”, ia mencecar Si Pemburu.
Cecaran anjing itu
tidak direspons oleh Si Pemburu. Merasa di atas angin, Si Anjing melanjutkan
cacarannya. “Digigit kalajengking saja, tuanku sudah setengah mati. Menangis
melulu kayak anak kecil saja”, Si Anjing mencomel. “ Wah, kamu ini benar-benar
hebat menasehati tuanmu yang sedang menderita sakit ini ”, sahut Si Pemburu
sambil memperlihatkan kasih sayangnya, walau dalam hati ia memendam sebongkah
kejengkelan. Betapa tidak, demikian batin Si Pemburu, aku ini manusia, sedang
kamu itu anjing piaraanku. “ Tidak tahu diri “, batinnya.
Tanpa terasa, hari
sudah senja. Mereka pun berembuk untuk pulang. Dan prakstis hari itu pun keduannya
tidak membawa hasil buruan. Meski demikian, dalam hati Si Pemburu bersyukur
karena walau sahabat kentalnya itu seekor ajning tapi masih dapat menasehati
tuannya. “ Ya, itu semua berkat kalajengking tadi ”, Si Anjing membuyarkan
permenungan Si Pemburu.
Hari berikutnya, Si
Pemburu menolak ajakan anjing kesayangannya. “Tidak usah kita berburu pagi
ini”, jawabnya dari dalam kamar. “Lalu kita makan apa, Tuanku ?” balas anjing
dari serambi rumah. “Katanya, kamu makan apa saja !” jawab Si Pemburu tetapi
dengan lemah lembut. “Baiklah, aku ikut anjuran, Tuan !” jawabnya dengan penuh
kesal.
Rasa kesalnya
menimbulkan dendam kesumat. Saking tak dapat menahan dendamnya, pada suatu
siang ia nekat berbuat jahat pada Si Pemburu, tuannya. Saat tuannya sedang
berbaring lalu terlelap di balai-balai, saat itulah Si Anjing menuntaskan
dendamanya. Ia menghampiri Si Pemburu, lalu ia mengigit kaki si pemburu.
Mungkin karena terlalu lelap, Si Pemburu tidak merasakan sakitnya gigitan
anjing kesayangannya. Itu pula sebabnya, dengan seenaknya Si Anjing mengisap
darah-darah segar tuannya hingga kenyang.
Puas dengan tindakannya
itu, Si Anjing meninggalkan Si Pemburu. Dan ketika senja merentang panjang,
baru ia pulang menemui tuannya. Di depan tuannya ia mengakuinya dengan
sejujurnya bahwa yang menggigit bukan orang lain atau anjing lain. “Saya lapar,
Tuanku !. Karena itu aku nekad mengigit kaki Tuanku. Darah segar dari kaki tuan
saya lalu mengisapnya hingga kenyang ”, ujarnya sambil mengoyang-goyangkan
ekornya sendiri. Si Pemburu tidak memarahinya. Malah pencurahan kasih sayangnya
kepada Si Anjing itu semakin bertambah. Bagaimana dengan Si Anjing ? Ya, anjing
memang dari sananya hanya disebut binatang, bukan manusia kan ?