Si Pemburu dan Anjing Kesayangannya - Cerita Dongeng Masyarakat Belu dan Malaka

Si Pemburu dan Anjing Kesayangannya - Cerita Dongeng Masyarakat Belu dan Malaka



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) Konon, di sebuah dusun Kabupaten Belu, hiduplah seorang pemburu yang gagah berani. Dalam kesehariannya, ia senantiasa berburu binatang-binatang seperti rusa, babi, dan binatang-binatang kesukaannya sejak kecil antara lain tikus dan biawak kecil. Ia pun tak gentar menghadapi kebuasan dari binatang buas, baik yang hidup di kawasan yang hutannya lebat maupun yang hidup di hutan belantara dan padang ilalang.

Keberaniannya semakin bertambah lantaran setiap kali pergi berburu, ia selalu didampingi oleh sahabat kentalnya yakni seekor anjing galak yang ia pelihara sejak kecil. Rupanya anjing galak itu memahami kebaikan tuannya. Itu pula sebabnya, ia juga berbuat baik pula kepada pemiliknya itu. Ini terbukti ketika pemiliknya dihadang binatang buas, anjing itu selalu tampil beda, lalu berusaha memperlihatkan kehebatan dan kegalakannya dengan cara merobek-robek hati binatang yang dimangsanya di depan tuannya.

Suatu hari, keduanya berburu ke suatu tempat yang kabarnya banyak dihuni binatang yang disukainya. Sayangnya di kawasan itu tidak sebuah pohon pun yang tumbuh sebagai peneduh. Tidak heran kalau terakhir keduanya cepat capai dan haus. Semakin keduanya berburu rasa haus semakin menggerogoti kerongkongannya. Buruan pun praktis tidak diperoleh. Maka keduanya pun berlari mencari teduhan dari sengatan sang mentari.

Akhirnya, mereka tiba di bebukitan yang ditumbuhi pepohonan perdu. Namun, hanya sebentar mereka berteduh, karena kondisi lokasi tersebut tidak kondusif. Lalu, mereka berlari-lari lagi ke tempat lain. Sayangnya di kawasan tersebut tidak dijumpai mata air padahal rasa haus sudah tak tertolong lagi. Oleh sebab itu, keduanya berlari-lari lagi ke tempat yang kiranya ada pohon dan mata airnya. Begitu mereka tiba di tempat yang ditujui sang surya sudah condong ke barat dan sebentar lagi senja merentang. Keduanya pun bermusyawarah untuk segera pulang karena tidak ada gunanya berburu, sementara binatang buruan akan kembali ke sarangnya masing-masing.

Semalam suntuk keduanya tidak dapat tidur. Merenungi kesialan siang hari itu merupakan akar permasalahannya. Dan ketika subuh bersinar terang, keduanya melangkah menuju tempat lain. Hari itu terang benderang sebenderang pikiran keduanya. Ya, kali ini mereka beroptimis memperoleh buruan. Sayang sekali, keoptimisan bakal dihadang berbagai masalah, sepertinya sang mentari tidak bersahabat. Kali ini panasnya membakar sekujur tubuh. Karena itu, mereka pun berlari-lari lagi ke tempat teduh. Di tempat itu, angin sepoi-sepoi menerpa seantero tubuh keduanya, sehingga keduanya langsung tertidur pulas, ya pulas sekali.

Selang beberapa menit, anjing galak itu kaget, lalu terbangun. Ia tidak langsung mendekati tuannya itu. Sebab ia tidak yakin, sahabat kentalnya yang gagah berani, tiba-tiba saja meraung kesakitan. “ Mengapa tuanku ini ? “ Ia bertanya-tanya dalam hati. Akan tetapi karena tuannya itu masih saja meraung, akhirnya ia mendekatinya. “ Apa yang terjadi, tuanku ? Lalu meraba kening tuannya yang disangka sakit kepala, karena menurutnya sakit kepalalah yang sering diderita tuannya. “ Bukan ! Saya digigit kalajengking”, desis Si Pemburu sembari menambahkan, “ Sejak tadi saya mencarinya tapi tidak kutemukan binatang keparat itu.

Anjing kesayangannya itu pun langsung mencari kalajengking di antara bebatuan sekitar Si Pemburu. Tidak lama kemudian, kalajengking itu diperlihatkan oleh Si Anjing. Ini dia, katanya, lalu langsung ditelan tanpa dimatikan sebelumnya. “ Wah, ternyata kamu suka sekali dengan kala jengking”, sahut Si Pemburu sambil menepuk-nepuk bahu anjing kesayangnnya itu.

Semakin disayang, anjing itu pun berujar, “ Ya, binatang yang paling enak di dunia ini adalah kalajengking. Dengan memakan kalajengking aku semakin bersemangat”, responnya, lalu memperlihatkan kehebatannya dan kegalakannya dalam menagkap dan memangsa binatang buruannya.

Si pemburu senang pula ia menyimak cakapan anjing kesayangannya. Karena itu, ia pasang senyum seakan-akan mempersilahkan anjing itu untuk terus memaparkan kecekatan dan kehebatannya. Gayung pun bersambut. Anjing itu pun lantas berkomentar, “Saya suka makan apa saja. Tidak seperti tuan suka memilih-milih makanan”. Sampai di sini, si pemburu hanya mengangguk-angguk saja.

Anjing itu terus saja mengedepankan gagasan briliannya. Supaya tuanku tahu, lingkungan di sekitar kita ini diciptakan Tuhan untuk hambanya. Mengapa tuanku tudak memanfaatkannya. Tuan hanya suka memilih-milih jenis makanan. “Sekarang tuan sendiri mengalaminya. Sudah tidak memperoleh buruan malah disakiti kalajengking. Pasti tuan lapar sehingga meraung-raung kesakitan”, ia mencecar Si Pemburu.

Cecaran anjing itu tidak direspons oleh Si Pemburu. Merasa di atas angin, Si Anjing melanjutkan cacarannya. “Digigit kalajengking saja, tuanku sudah setengah mati. Menangis melulu kayak anak kecil saja”, Si Anjing mencomel. “ Wah, kamu ini benar-benar hebat menasehati tuanmu yang sedang menderita sakit ini ”, sahut Si Pemburu sambil memperlihatkan kasih sayangnya, walau dalam hati ia memendam sebongkah kejengkelan. Betapa tidak, demikian batin Si Pemburu, aku ini manusia, sedang kamu itu anjing piaraanku. “ Tidak tahu diri “, batinnya.

Tanpa terasa, hari sudah senja. Mereka pun berembuk untuk pulang. Dan prakstis hari itu pun keduannya tidak membawa hasil buruan. Meski demikian, dalam hati Si Pemburu bersyukur karena walau sahabat kentalnya itu seekor ajning tapi masih dapat menasehati tuannya. “ Ya, itu semua berkat kalajengking tadi ”, Si Anjing membuyarkan permenungan Si Pemburu.

Hari berikutnya, Si Pemburu menolak ajakan anjing kesayangannya. “Tidak usah kita berburu pagi ini”, jawabnya dari dalam kamar. “Lalu kita makan apa, Tuanku ?” balas anjing dari serambi rumah. “Katanya, kamu makan apa saja !” jawab Si Pemburu tetapi dengan lemah lembut. “Baiklah, aku ikut anjuran, Tuan !” jawabnya dengan penuh kesal.

Rasa kesalnya menimbulkan dendam kesumat. Saking tak dapat menahan dendamnya, pada suatu siang ia nekat berbuat jahat pada Si Pemburu, tuannya. Saat tuannya sedang berbaring lalu terlelap di balai-balai, saat itulah Si Anjing menuntaskan dendamanya. Ia menghampiri Si Pemburu, lalu ia mengigit kaki si pemburu. Mungkin karena terlalu lelap, Si Pemburu tidak merasakan sakitnya gigitan anjing kesayangannya. Itu pula sebabnya, dengan seenaknya Si Anjing mengisap darah-darah segar tuannya hingga kenyang.

Puas dengan tindakannya itu, Si Anjing meninggalkan Si Pemburu. Dan ketika senja merentang panjang, baru ia pulang menemui tuannya. Di depan tuannya ia mengakuinya dengan sejujurnya bahwa yang menggigit bukan orang lain atau anjing lain. “Saya lapar, Tuanku !. Karena itu aku nekad mengigit kaki Tuanku. Darah segar dari kaki tuan saya lalu mengisapnya hingga kenyang ”, ujarnya sambil mengoyang-goyangkan ekornya sendiri. Si Pemburu tidak memarahinya. Malah pencurahan kasih sayangnya kepada Si Anjing itu semakin bertambah. Bagaimana dengan Si Anjing ? Ya, anjing memang dari sananya hanya disebut binatang, bukan manusia kan ?

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama