Kita kehilangan
satu-satunya Matahari, so beware! Pandangan semacam ini tentu berbeda dengan
pandangan Kristen. Kekristenan menganggap kematian sebagai berkat. Kematian
membawa manusia pada kemuliaan hidup baru.
Tulisan ini tentu tidak
berupaya untuk membedah masalah filosofis sekitar kematian, tetapi lebih
sebagai ilustrasi sederhana untuk mempersoalkan gaya berpikir Rocky yang selalu
merepresentasikan “filsafat” dalam seluruh narasi publiknya.Tampak sekilas,
Rocky seperti pahlawan Rasionalisme Kritis ala Kantian. Namun berbeda dengan
Kant, Ia acapkali terburu-buru mengabarkan kematian “akal sehat”. Tetapi mari
kita lihat apa persisnya berpikir rasional itu?
Masyarakat Modern
ditandai dengan lahirnya rasionalisme pada abad XVII. Aliran ini mengutamakan
akal budi ratio untuk menemukan kebenaran. Salah satu tokoh penting
rasionalisme adalah Rene Descartes. Adagium Descartes yang terkenal
adalah Cogito Ergo Sum: “Aku berpikir, maka aku ada” yang berarti
essensi mendahului eksistensi.
Otoritas ratio adalah
sumber dari segala pengetahuan. (Praja, 2003 Hal;91). Jauh sebelumnya,
pandangan rationalisme ini sebenarnya sudah berkembang di tangan tokoh-tokoh
seperti Socrates, Plato dan Aristoteles (Hadiwijono, 1980;15).
Mereka menjadi penopang
utama bagi perkembangan rasionalisme modern yang lahir sebagai bentuk penolakan
terhadap penafsiran tunggal agama atas kebenaran.
Secara historis, tampak
jelas bahwa rasionalisme kritis bukan merupakan hal yang baru. Cara berpikir
rasional telah mengalami evolusi dari zaman ke zaman dan menyusup ke hampir
seluruh dimensi kehidupan manusia, terutama dunia politik.
Sam Harris
mengategorikan perkembangan rasionalitas manusia itu ke dalam apa yang dia
sebut sebagai “fase kognitif”. Fase inilah yang menurut Rocky hilang dari
cakrawala berpikir masyarakat Indonesia. Kemunduran akal ini sering ia sebut
sebagai kedunguan.
Atas kepiawaiannya itu,
rocky tak jarang dijuluki sebagai filsuf. Namun dari sejumlah antrian panjang
tokoh-tokoh besar dunia, Rocky tidak lebih dari “catatan kuku kaki” dalam
khasanah Filsafat.
Meski demikian, orang
tentu tidak bisa meremehkan retorika seorang Rocky. Diksi dan gaya bahasanya
yang nyentrik selalu berhasil mencuri perhatian publik. No rocky no party (Q&A
Metro TV). Bagi Rocky, ini adalah gaya filsafat yang sesungguhnya, yang ia
sebut sebagai “Big Ideas” bukan “Big Datas”.
Secara historis, model
berpikir semacam ini dapat ditemukan akarnya di dalam tradisi filsafat Yunani
Kuno, suatu cara berpikir yang khas Sofistik.Rocky dalam jebakan sofisme
Sofisme berkembang
sekitar abad 5 sebelum Masehi. Kelompok ini biasanya mengembara dari suatu
tempat ke tempat lain di sekitar Wilayah Yunani. Mereka mengajarkan pengetahuan
tentang politik dan pemerintahan dengan penekanan terutama pada kemampuan
berpidato menggunakan pendekatan persuasi.
Beberapa alasan
kemunculan sofisme antara lain; pertama adalah menurunnya minat para sofis
dalam kosmologisme, yaitu suatu cara berpikir kontemplatif kosmis. Kedua,
runtuhnya kekuatan politik yang berpusat pada aristokrat sekaligus memicu
kemunculan demos sebagai kekuatan politik baru (Sunarjo 1983:55).
Di Indonesia, cara
berpikir sofistik ini muncul dengan gejala yang more or less seperti
di Yunani meski dengan varian berbeda. Pertama, menurunnya refleksi
kosmologis-kontemplatif masyarakat Indonesia, sebagai gantinya orang mulai
berpikir pragmatis.
Kedua menurunnya
pengaruh aristokrat yang cukup dominatif pada masa Soeharto. Kelompok aristokrat
ini akhirnya tumbang dalam revolusi 1998. Lalu muncullah kekuatan politik baru
yang berbasis pada demos.
Model politik berbasis
demos ini terus berkembang hingga hari ini. Rocky lahir dari lingkungan
berpikir semacam itu, tapi dengan kiblat yang agak berbeda, yang oleh Tesich
sebut sebagai golongan Post-Truth.
Rocky dan The death of expertise
Berkembangnya cara
berpikir sofistik dan post-truth tentu saja berdampak pada apa yang ditulis Tom
Nichols dalam bukunya “The death of expertise”. Orang tidak lagi bicara
berdasarkan kepakarannya. Siapa saja bisa bicara apa saja, sejauh ia bisa
menarik simpati publik.
Padahal menurut
Nichols, mesti ada kriteria dasar terhadap sesuatu. Kriteria itu penting agar
tidak terjadi simpang siur informasi khususnya ketika orang sedang mencoba
untuk menemukan kebenaran yang objektif.
Bagi Nichols, kepakaran
atau keahlian adalah perpaduan antara pendidikan, bakat, pengalaman dan
rekognisi. Empat aspek inilah yang dianggap sebagai standar keahlian, namun
orang akan memilih kombinasi-kombinasi yang paling sesuai dengan masalah yang
dihadapi.
Pertama pendidikan
formal, misalnya perolehan ijazah sebagai bukti standar kompetensi. Kedua,
bakat yang ditandai dengan kemampuan kodrati. Ketiga, pengalaman atau jam
terbang. Keempat rekognisi yaitu semacam pengakuan dari suatu lembaga untuk
memastikan spesifikasi kepakaran tertentu (Nichols, 2021;36).
Rocky menurut saya
terjebak dalam ketegangan sofisme ala Protagoras, post-truth ala Tesich.
Berkali-kali ia juga jatuh pada apa yang disebut Nichols sebagai the death of
expertise.
Kematian kepakaran
tentu tidak dimengerti sebagai kekurangan kognitif, seolah-olah Rocky tidak
memiliki kemampuan apapun atau dalam istilah Rocky sendiri sebagai “Dungu”.
Hanya saja bagi
Nichols, kepakaran itu mesti dipahami sebagai orang yang memiliki pengetahuan
“komprehensif” dan “otoritatif”. Pakar adalah juga berarti seseorang yang
perintahnya dalam bidang tertentu merupakan informasi yang sepenuhnya benar dan
dapat dipercaya. Dalam arti itulah penulis menjerat Rocky sebagai tersangka
utama dalam tragedi kematian filsafat. “Filsafat sudah mati, Rocky-lah yang
membunuhnya”.* bulir.id
*Penulis:
Gregorius Sukur* (Alumnus Institute Filsafat dan Teknologi Ledalero) – Tulisan
ini pernah terbit di NetiTalk.com tanggal 01 Juni 2023 dengan judul yang
sama Filsafat Sudah Mati, Rocky yang Membunuhnya.