Pohon cendana (Santalum album linn) mengiringi sejarah perjalanan hidup suku-suku bangsa di Nusa Tenggara Timur. Cendana telah dikokohkan menjadi citra yang sangat melekat dengan provinsi ini. Namun, sejak lima tahun terakhir Cendana seakan tenggelam di balik euforia budidaya kelor dan bambu. Dua jenis komoditas ini dinilai lebih bisa menyejahterakan warga di daerah ini.
Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) - Koordinator Divisi Perikliman dan Kebencanaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Wilayah NTT, Dedi Holo di Kupang, Selasa (22/8/2023), sangat menyayangkan kebijakan Pemprov NTT mengabaikan cendana selama lima tahun terakhir. Pidato Gubernur NTT Viktor Laiskodat pada peringatan kemerdekaan RI 2023 tidak menyinggung pohon cendana. Cendana tidak masuk dalam program kerja pemprov, pemkot, dan pemkab. Sama sekali tidak tersentuh.
”Cendana ini salah satu tanaman endemik dan unik di
NTT. Memiliki sejarah peradaban panjang, terkait kedatangan bangsa-bangsa asing
ke daerah ini seperti Portugal dan Belanda. Dua bangsa ini memperebutkan
wilayah ini karena kehadiran cendana dan sejumlah kekayaan alam lain,” kata
Dedi.
Kesohoran cendana NTT karena kualitas yang hebat dan
sebagai rempah-rempat rebutan dunia. Sentra cendana pada masa penjajahan
terfokus diPulau Timor, Sumba, dan Pulau Solor. Ini terbukti dengan sejumlah
catatan sejarah kehadiran Portugal di pulau-pulau itu sekedar mengambil
cendana. Belanda kemudian iri kepada Portugaldan memperebutkan wilayah-wilayah
yang dikuasai Portugal.
Cendana menghasilkan minyak asiri dengan aroma harum
dan memiliki nilai pasar cukup tinggi. Perdagangan kayu cendana pada 1991
berkontribusi pada pendapatan asli daerah hingga 47,67 persen. Saat itu cendana
memiliki peran sentral dalam pembangunan NTT.
Eksploitasi cendana terus ditingkatkan tahun 1980
sampai mencapai puncak pada 1996. Produksi cendana saat itu 2.458 ton. Cendana
yang ditebang pada 1996 mencapai 12.804 pohon. Eksploitasi berlebihan saat itu
menyebabkandegradasi cendana di mana-mana sampai hari ini.
”Sangat sulit menemukan tegakan pohon cendana yang
rindang dan subur di lahan warga, pekarangan rumah, dan hutan-hutan,” ujarnya.
Berdasarkan data BPS NTT 2008-2017, tercatat 3.318
hektar cendana dikembangkan di sejumlah kabupaten/kota. Kota Kupang, misalnya,
terdapat 15 hektar dengan 15.000 pohon cendana. Kabupaten Kupang dikembangkan
100 hektar dengan 10.000 anakan pohon cendana. Pulau Solor dikembangkan 2.000
anakan cendana, Timor Tengah Selatan 3.000 anakan cendana dan Kabupaten Alor
150 hektar dengan 15.000 anakan cendana.
Dibiarkan merana
Ribuan tegakan pohon cendana itu dibiarkan merana
sejak lima tahun terakhir. Terbakar, ditebang, dirusak hewan, kekeringan, mati
terimpit semak, dan terserang hama. Cendana terlupakan dari agenda kerja
pemprov. Masyarakat pun membiarkan tanaman itu merana dan mati.
Kekurangan budidaya cendana antara lain bisa dipanen
setelah berusia di atas 30 tahun, waktu yang relatif lama. Pada usia itu, pohon
cendana sudah mengeluarkan aroma yang harum mewangi dan juga menghasilkan
minyak asiri dalam jumlah yang cukup.
Kayu cendana layak dijadikan sejumlah aksesori dan
perabot rumah tangga, seperti manik-manik, rosario, tasbih, patung, dan salib.
Serbuk cendana dibakar untuk pengharum ruangan dan persembahan kepada leluhur.
Pada usia itu, harga kayu cendana Rp 200.000-Rp
300.000 per kilogram. Satu pohon cendana bisa menghasilkan 100 kg kayu cendana.
Tahun 2016, seorang petani cendana di Timor Tengah Selatan mendapatkan sebuah
mobil Toyota Avanza dari seorang pengusaha setelah menukarkan dengan empat
pohon cendana di sekitar rumah kediamannya.
Cendana dibudidayakan masyarakat dengan sistem
tumpang sari. Petani menanam tanaman umur pendek seperti pagi, jagung, dan
kacang-kacangan di sela pohon cendana. Namun, kekeringan sering menyebabkan
gagal panen. Petani pun kecewa dan membiarkan tanaman cendana merana, bahkan
sampai mati ditimpa kekeringan.
Cendana paling merana bahkan terancam punah dalam
lima tahun terakhir. Pemprov di bawah kepemimpinan Gubernur Viktor Laiskodat
(2018-2023) lebih fokus budidaya tanaman kelor sejak 2019 dan bambu pada 2021.
Kelor diklaim sebagai cara paling ampuh menurunkan angka tengkes di di provinsi
dengan 5,48 juta jiwa ini, yang menempati nomor satu tengkes nasional.
Sangat sulit menemukan tegakan pohon cendana yang rindang dan subur di lahan warga, pekarangan rumah, dan hutan-hutan. (Dedi Holo)
Lima tahun terakhir, pemprov pun mengeklaim tengkes
menurun drastis. Tahun 2018 tengkes berada pada posisi 35,5 persen atau 81.434
anak balita, sedangkan Februari 2023 turun sampai 15,7 persen atau 67.518 anak
balita. Namun,tidak disebutkan penurunan tengkes itu karena mengonsumsi daun
kelor atau asupan gizi dari sumber lain.
Maret 2023 pemprov mendapatkan kucuran anggaran Rp
115 miliar dari pusat untuk menangani tengkes. Tahun 2022, pemprov mendapat
kucuran dana tengkes senilai Rp 75 miliar dan 2021 sebesar Rp 50 miliar. Dengan
alokasi dana sebesar itu, tentu kasus tengkes bisa turun. Sejumlah pihak
terlibat mengatasi tengkes meski penurunan kasus itu bukan semata karena kelor.
Namun, kelor menjadi salah satu program prioritas
pemprov. Kelor bisa diproduksi dalam usia dua tahun. Sejumlah industri kecil
berbahan baku kelor dihasilkan masyarakat. Namun, sebagian dari mereka
kesulitan memasarkan hasil produk usaha mikro, kecil, dan menengah berbahan
kelor ini.
Tegakan kelor hasil budidaya mencapai 8.279.282
pohon yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Namun, kelor bukan tanaman yang baru
dikenal masyarakat NTT. Sudah ratusan tahun sebagian masyarakat memanfaatkan
daun kelor sebagai sayur harian rumah tangga dan kebutuhan pakan ternak.
”Masyarakat NTT tidak tertarik membeli produk olahan
kelor ini. Mereka lebih suka mengonsumsi daun hijau, langsung dari pohon
sebagai sayur. Produk olahan ini sudah dalam bentuk bubuk kelor. Bisa
dimanfaatkan sebagai teh kelor juga bubur kelor,” kata Kristina Boleng, salah
satu pelaku UMKM berbahan baku kelor.
Pemprov NTT bekerja sama dengan Yayasan Bambu
Lingkungan Lestari (YBLL) yang berkantor pusat di Denpasar, Bali, mendirikan
kampus bambu di Turetego, Mataloko, Kabupaten Ngada. Kampus bambu ini
dikembangkan berbagai produk unggulan berbahan baku bambu seperti sepeda,
mangkok, dan arang bambu.
Pemprov dan YBLL telah memperluas lahan budidaya 1,9
anakan bambu di atas lahan seluas 1.500 hektar. Budidaya bambu itu tersebar di
Kabupaten Sikka, Ende, Nagekeo, Ngada, Manggarai Timur, Manggarai, dan
Manggarai Barat. Sementara yang dalam proses perluasan lahan berada di tiga
kabupaten, yakni Alor, Timor Tengah Utara, dan Kabupaten Sumba Timur.
Pemprov NTT menegaskan, dengan kunjungan Presiden
Joko Widodo ke kampus bambu di Turetogo, Ngada, 2022, pemerintah ingin
menjadikan NTT sentra bambu nasional. Suatu saat NTT bisa keluar dari
kemiskinan dan keterbelakangan. Bambu yang dikembangkan itu jenis petung, aur,
dan pering.
Gubernur Viktor mengatakan, satu rumpun bambu sehat
menghasilkan 5.000 liter air per tahun. Jika ada lebih dari 5.000 rumpun bambu,
bisa menghasilkan satusampai dua sumber mata air di sekitar lahan bambu itu.
Kehadiran sumber air tersebut sebagai upaya mengatasi kesulitan air bagi
masyarakat dan ternak di daerah itu.
”Kekeringan ekstrem menjadi masalah serius di daerah
ini. Budidaya bambu bermanfaat ganda. Sebagai kayu, perabot rumah tangga, bahan
bangunan, aksesori, penghasil karbon dioksida, menyuburkan lahan kritis,
penghasil sumber mata air, rebung sebagai sumber pangan, dan menghijaukan
lingkungan sekitar,” kata Viktor.
Hanya dalam jangka waktu empat tahun, bambu sudah
bisa berproduksi. NTT memiliki 20 jenis bambu, empat di antaranya jenis endemik.
Indonesia terdapat 176 jenis bambu. Terbanyak di Kalimantan, Sumatera, dan
Papua. Masih banyak jenis bambu yang belum ditemukan dan diberi nama. *** kompas.com