Meskipun terjadi kehancuran yang luar biasa dan
kekuatiran yang meluas bahwa kerusuhan anti-Kristen akan terjadi lagi, ratusan
umat Katolik tetap mengikuti Ekaristi menyusul serangan massa yang
menghancurkan lebih dari 30 gereja dan 800 rumah.
“Sebagian besar orang menangis saat Misa,” kata
seorang pemimpin komunitas Kristen kepada kelompok bantuan Katolik Aid to the
Church in Need International (ACN).
“Ini adalah saat yang sangat menyakitkan namun
merupakan kesempatan untuk saling berbagi rasa kehilangan dan kesedihan,” kata
Christian, yang tidak disebutkan namanya oleh ACN karena alasan keamanan.
Apa yang telah
terjadi?
Pada 16 Agustus, kerusuhan yang melibatkan ratusan
warga Muslim – bahkan dilaporkan berjumlah ribuan – terjadi di wilayah Kristen
di Jaranwala di provinsi Punjab, Pakistan timur laut.
Massa anti-Kristen menjadi heboh setelah dua orang
Kristen, Rocky Masih dan Raja Masih, dituduh mencemarkan Al’Quran dan menghina
Islam. Tidak menghormati Al’Quran adalah kejahatan yang dapat dihukum penjara
seumur hidup di Pakistan.
Sebelum penyelidikan formal polisi dapat dimulai,
kerumunan Muslim, yang dilaporkan didorong oleh kelompok ekstremis bernama
“Tehreek-e-Labbaik” mengamuk di distrik Kristen.
Maria Lozano, kepala pers ACN, mengatakan kepada CNA
bahwa para saksi melaporkan “pesan dari masjid yang dikirim melalui pengeras
suara menyerukan masyarakat setempat untuk ‘keluar dan membunuh’ umat Kristen.”
Setelah menerima peringatan awal dari beberapa
Muslim yang bersimpati, sebagian besar umat Kristen dapat segera meninggalkan
rumah dan gereja mereka untuk menghindari pembantaian. Meskipun terjadi
kehancuran, tidak ada orang Kristen yang dilaporkan terbunuh, menurut Lozano.
Seorang Kristen, yang diidentifikasi sebagai Ejaz
Masih, meninggal karena serangan jantung selama serangan tersebut.
Video dan gambar dramatis serangan tersebut
menunjukkan para perusuh Muslim menjatuhkan salib dan membakar gereja-gereja
dan rumah-rumah umat Kristen.
Sumber ACN yang tidak disebutkan namanya mengatakan
bahwa pada akhirnya “beberapa dari mereka kembali ke rumah mereka dengan putus
asa untuk mendapatkan sesuatu untuk dimakan tetapi ketika mereka sampai di
rumah, mereka menemukan semuanya hancur – tidak ada tempat untuk duduk, tidak
ada minuman, bahkan bola lampu pun tidak.”
Seorang pastor, Pastor Khalid Mukhtar, mengatakan
kepada ACN bahwa dia diserang namun berhasil bersembunyi di kediaman parokinya
selama berjam-jam hingga para perusuh berlalu. Dia juga mengatakan bahwa dia
menelepon polisi untuk meminta bantuan, tetapi mereka tidak pernah datang.
Meskipun polisi hadir di lokasi kejadian, mereka
tidak mampu menahan atau menghentikan kerusuhan yang melanda seluruh distrik
Kristen.
Mengapa massa
menyerang?
Kerusuhan terjadi setelah beredar laporan yang belum
diverifikasi bahwa dua orang Kristen telah merobek Al’Quran dan menulis
pesan-pesan ofensif di dalamnya.
Tanpa menunggu untuk memverifikasi kebenaran cerita
tersebut, massa yang marah mulai berkumpul di sekitar kawasan Kristen di kota
tersebut dan akhirnya pecah menjadi kerusuhan besar.
Penderitaan umat Kristen di Pakistan semakin sulit
dalam beberapa tahun terakhir.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat telah
menetapkan Pakistan sebagai “negara yang sangat memprihatinkan” karena negara
tersebut secara terang-terangan mengabaikan hak asasi manusia, terutama hak
beragama kelompok minoritas.
Negara ini telah mengesahkan serangkaian
“undang-undang penodaan agama” yang semakin ketat, yang menghukum pelanggarnya
dengan hukuman penjara, penjara seumur hidup, atau hukuman mati. Selain
mengancam kelompok agama minoritas dengan hukuman dari pengadilan negara,
banyak ahli percaya bahwa undang-undang penodaan agama juga digunakan untuk
menjatuhkan hukuman di luar hukum.
Setelah disahkannya undang-undang penodaan agama
tambahan pada bulan Agustus, Mervyn Thomas, presiden Christian Solidarity
Worldwide (CSW), memperingatkan bahwa terdapat “banyak bukti tentang bagaimana
undang-undang penodaan agama yang ada telah mengakibatkan pembunuhan di luar
proses hukum dan insiden kekerasan massa yang tak terhitung jumlahnya yang didasarkan
pada penodaan agama dan tuduhan palsu.”
Mengingat sifat tuduhan yang belum terverifikasi,
Kiri Kandhwende, perwakilan CSW, mengatakan kepada CNA bahwa kerusuhan terbaru
“mungkin merupakan kasus undang-undang penodaan agama yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah pribadi.”
Siapa yang bertanggung jawab
Menurut CSW, “Tehreek-e-Labbaik” (TLP), sebuah
partai politik Islam ekstremis yang terkenal dengan kekerasan, bertanggung
jawab atas kerusuhan tersebut. Kelompok ini mengadvokasi penerapan hukum
Syariah di Pakistan.
Laporan yang dibagikan oleh ACN dan CSW mengatakan
bahwa para pemimpin agama Islam juga mendorong serangan tersebut dengan
menyerukan massa untuk “keluar dan membunuh umat Kristen” melalui pengeras
suara masjid.
Para korban
Kristen
Setelah debu dan abu mereda akibat kerusuhan, total
3.000 keluarga, atau sekitar 12.000 hingga 15.000 orang, terkena dampaknya,
menurut CSW.
Setelah kembali ke komunitasnya, umat Kristiani di
Jaranwala menemukan bekas rumah mereka yang kosong. Harta benda mereka dijarah
dan kerusakan infrastruktur menyebabkan banyak orang tidak mempunyai listrik
atau air.
Sumber ACN mengatakan “tidak ada yang tersisa” dan
“di gereja-gereja yang mereka serang, semuanya dihancurkan,” termasuk altar dan
patung.
“Apa yang mereka lakukan terhadap patung Yesus dan
Maria, saya tidak dapat menjelaskannya,” kata sumber itu.
Tiga puluh enam gereja dinodai dan sekitar 3.000
keluarga Kristen kehilangan rumah dan seluruh harta benda mereka, menurut CSW.
Tanggapan orang-orang Kristen
Di tengah semua ini, umat Kristiani di Jaranwala
menanggapi krisis ini dengan keberanian yang luar biasa.
Menurut sumber saksi mata yang diwawancarai oleh
ACN, beberapa warga Muslim marah karena umat Kristen mengadakan Misa segera
setelah kerusuhan.
“Saat kami masuk, beberapa warga Muslim setempat
menatap dengan mata terbelalak,” kata saksi tersebut. “Mereka memasang wajah
marah dan mulai mengutuk kami serta menggunakan kata-kata kasar.”
Misa tersebut dirayakan oleh Uskup Indrias Rehmat
dari Keuskupan Faisalabad. Meski ada 30 petugas polisi, banyak yang kuatir
pihak berwenang akan gagal lagi menahan massa yang marah.
Kandhwende mengatakan kepada CNA bahwa para imam
Katolik telah berada di lapangan “sejak Hari Pertama,” memberikan “bantuan dan
kenyamanan bagi mereka yang membutuhkannya.”
Pada 19 Agustus, gambar dan video beredar di media
sosial yang memperlihatkan para biarawati Dominikan mengunjungi komunitas
Kristen dan menghibur mereka.
Kelompok bantuan Katolik Caritas Pakistan, yang
merupakan cabang dari Caritas Internasional, juga berada di lapangan memberikan
bantuan kepada para korban dengan menawarkan makanan dan perbekalan, sementara
para imam dari kelompok tersebut memberikan kenyamanan spiritual.
Dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan di situs
“Umat Katolik di Pakistan,” Uskup Agung Islamabad Joseph Arshad, presiden
Konferensi Waligereja Katolik Pakistan, mengatakan dia telah “meminta
pemerintah (provinsi) Punjab untuk mengambil tindakan hukum segera dan tegas
terhadap para penyerang.”
Arshad menyerukan “hukuman tegas terhadap kelompok
penyerang” dan mengatakan bahwa “insiden seperti itu membuka jalan bagi ketidakamanan
bagi kelompok minoritas yang tinggal di negara Pakistan karena tempat ibadat
dan masyarakat kami tidak aman sama sekali.”
Uskup Agung Benny Travas dari Karachi, Pakistan,
mengatakan bahwa meskipun “kami sebagai komunitas Kristen berulang kali menunjukkan
kesetiaan kami kepada bangsa Pakistan,” insiden seperti serangan di Jaranwala
“menunjukkan bahwa kami pada kenyataannya adalah warga negara kelas dua,
diteror dan ditakuti sesuka hati.”
Di seluruh negeri, umat Kristen berkumpul untuk
memprotes kekerasan tersebut, BBC melaporkan.
Di AS, Inggris, dan Kanada, umat Kristen Pakistan
berunjuk rasa untuk mendukung umat Kristen yang dianiaya di tanah air mereka.
Tanggapan Pemerintah
Pemerintah setempat dengan cepat menyatakan
solidaritasnya terhadap komunitas Kristen di Jaranwala dan mengutuk para
penyerang.
Menurut ACN, polisi setempat melaporkan melakukan
700 ratus penangkapan terkait kerusuhan tersebut. Namun, belum ada kepastian
apakah pemerintah akan mengambil tindakan lebih lanjut untuk menghukum para
perusuh.
Terdakwa Kristen, Rocky Masih dan Raja Masih, juga
telah ditangkap dan didakwa melakukan penodaan agama. Menurut CSW, penuduhnya
adalah seorang polisi bernama Mansoor Sadiq.
Pemerintah Pakistan telah memberikan kompensasi
sebesar $6.800 kepada hampir 100 keluarga Kristen, menurut AP.
Baik perdana menteri sementara Pakistan, Anwaar ul
Haq Kakar, dan Ketua Menteri Punjab Mohsin Naqvi mengunjungi komunitas Kristen
di Jaranwala dan mengutuk serangan tersebut.
Kakar mengatakan bahwa dia “patah hati dengan visual
yang keluar dari Jaranwala” dan “tindakan tegas akan diambil terhadap mereka
yang melanggar hukum dan menargetkan kelompok minoritas.”
Naqvi berjanji pemerintah akan memulihkan semua
gereja dan rumah yang terkena dampak dalam beberapa hari.
Naqvi menyebut para perusuh sebagai “konspirator”
yang bermaksud “mengganggu persatuan bangsa.”
“Sebagai warga Pakistan, kami semua mengutuk insiden
yang terjadi di Jaranwala. Kami jamin bahwa para konspirator dan pelaku akan
segera menghadapi hukuman hukum,” kata Naqvi. “Biarlah diketahui semua
konspirator bahwa upaya mereka pasti akan gagal; kami bersatu, setia pada visi
(pendiri) Quaid kami.”
Meskipun ada janji dari pemerintah, beberapa orang
Kristen tidak begitu optimis bahwa keadilan akan ditegakkan.
“Sekali lagi,” kata Travas, “kita mendapat kecaman
dan kunjungan yang sama dari para politisi dan pejabat pemerintah lainnya yang
mengungkapkan solidaritas mereka terhadap komunitas Kristen dan bahwa ‘keadilan
akan ditegakkan’ tetapi kenyataannya tidak ada yang terwujud dan semuanya
terlupakan.” **
Peter Pinedo
(Catholic News Agency)/Frans de Sales