Melodi Massa: Budaya Populis di Indonesia (Nyanyian Akar Rumput dan Debu Berterbangan Dunia Politik NKRI)

Melodi Massa: Budaya Populis di Indonesia (Nyanyian Akar Rumput dan Debu Berterbangan Dunia Politik NKRI)



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) Populisme adalah sebuah fenomena yang bisa dikenali melalui sejumlah ciri khasnya salah satunya adalah kecenderungannya memiliki ideologi yang kabur atau tidak jelas, memungkinkannya untuk beroperasi di berbagai spektrum ideologi yang berbeda.

Populisme juga cenderung berfokus pada isu-isu yang mendesak dan belum terselesaikan dalam masyarakat, seringkali dengan menggunakan retorika yang tajam terhadap elite politik yang ada sambil mengusulkan alternatif mereka sendiri.

Pada tahun 2016, Inglehart dan Norris mencatat dua peristiwa yang sering dikaitkan dengan lahirnya budaya populisme: Brexit di Inggris dan kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat.

Di dalam konteks ini, mereka mengidentifikasi strategi retorika populis yang melibatkan pengalihan perhatian dari kelompok minoritas ke kelompok mayoritas dan masyarakat secara keseluruhan. Caranya adalah dengan menciptakan musuh yang dianggap menyimpang, tidak produktif, bahkan sebagai ancaman bagi negara. Pemahaman ini sejalan dengan definisi populisme yang digambarkan oleh Cas Mudde dalam risetnya yang berjudul "Populist Radical Right Parties in Europe." Dalam pandangan ini, populisme menekankan perpecahan masyarakat menjadi dua kelompok yang dianggap homogen dan berkompetisi satu sama lain, yaitu 'rakyat yang murni' versus 'elite yang korup'.

Hal ini juga mencerminkan keyakinan bahwa politik harus mencerminkan kehendak umum rakyat. Dengan kata lain, populisme memanfaatkan retorika polarisasi dan kepentingan umum untuk membangun panggung politiknya.

Secara mendasar, populisme dapat diuraikan menjadi dua varian yang berbeda. Populisme kiri, pada dasarnya, berpusat pada isu ketidaksetaraan ekonomi dan mengarahkan kritiknya terhadap perusahaan-perusahaan besar dan kaya. Di sisi lain, populisme sayap kanan lebih menekankan ketidaksetaraan identitas, seperti perbedaan etnis, agama, dan status imigran. Populisme sayap kanan seringkali memfokuskan targetnya pada kelompok asing atau minoritas dalam masyarakat.

Di Indonesia, populisme sayap kanan memiliki dominasi yang kuat dalam dunia politik. Dalam konteks pemilihan umum, populisme ini seringkali memanfaatkan isu-isu agama dan etnis sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Hal ini dapat mencakup retorika yang menghasut perpecahan dan memanipulasi sentimen agama serta etnis guna meraih dukungan politik.

Pada pemilihan umum tahun 2019 di Indonesia, politik populisme tercermin dengan jelas dalam kampanye kedua kubu, yaitu Prabowo dan Jokowi. Prabowo membangun narasi populisme dengan memanfaatkan hubungan mutualisme yang erat dengan konstituennya. Ia menggambarkan dirinya sebagai pemimpin yang kuat yang mampu mengatasi krisis bangsa.

Di sisi lain, Jokowi mengadopsi moda interaksi ideational inter-sistemik melalui pendekatan yang dikenal sebagai "blusukan." Pendekatan ini terkenal karena komunikasi terbuka yang digunakan oleh Jokowi. Ia secara aktif turun langsung ke lapangan untuk bertemu dengan masyarakat akar rumput.

Pendekatan ini sangat berbeda dengan dominasi gaya politik elite yang umumnya ada. Blusukan Jokowi dianggap sangat efektif dalam menghubungkan dirinya dengan rakyat, mengukuhkan citra dirinya sebagai pemimpin yang dekat dengan masyarakat, dan meraih dukungan yang kuat dalam pemilihan tersebut.

Tanggal 14 Februari 2024, sebuah pemilihan umum berlangsung di Indonesia, menjadi sorotan utama dalam dunia politik. Dalam pemilihan ini, peran pemilih muda menjadi sangat signifikan.

Sebagaimana yang diuraikan dalam riset oleh A. Fernandes, E.G. Suryahudaya, dan N. Okthariza dalam laporan mereka yang berjudul "Pemilih Muda dalam Pemilihan Umum 2024," generasi Z dan milenial menjadi protagonis dengan jumlah mencapai 114 juta orang, atau sekitar 60% dari total pemilih. Angka ini sebanding dengan kemenangan Jokowi dalam pemilu 2019, dengan meraih 85.607.362 suara, atau sekitar 55,50% suara nasional.

Persaingan untuk mendapatkan dukungan dari pemilih muda menjadi sangat sengit, karena budaya populis memiliki ikatan erat dengan kelompok ini. Teori yang dikemukakan oleh Abdul Noury dan Gerard Roland mengungkapkan bahwa perubahan dalam nilai-nilai budaya populis sering terjadi di kalangan generasi muda dan lulusan perguruan tinggi, terutama di negara-negara Barat.

Dalam pandangan populisme, rakyat sering diartikan sebagai pemilih mayoritas, sehingga penting untuk memahami dan mengakomodasi aspirasi serta nilai-nilai yang berkembang di kalangan pemilih muda dalam proses politik.

Peningkatan budaya populisme dalam dinamika politik Indonesia ternyata membawa dampak yang sangat luas bagi masa depan negara ini. Populisme telah menjadi pemicu utama polarisasi masyarakat, menciptakan perpecahan tajam antara kelompok-kelompok antagonis. Dampaknya terasa jelas dalam meningkatnya ketegangan sosial, yang kadang-kadang bisa mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, bahkan dapat memicu konflik sosial yang merusak.

Selain itu, populisme juga berpotensi mengganggu stabilitas kepemimpinan. Hal ini terjadi karena para pemimpin yang mengadopsi populisme seringkali lebih fokus pada usaha meningkatkan popularitas mereka di mata publik daripada pada pengambilan keputusan yang rasional dan berkelanjutan.

Populisme, dalam konteks ini, dapat didefinisikan sebagai bentuk retorika politik yang berorientasi pada mengumpulkan dukungan populer, gaya kebijakan yang seringkali berubah-ubah sesuai dengan tuntutan publik, kesadaran politik yang terbatas pada pesan-pesan sederhana, teknologi politik sebagai alat manipulasi kesadaran, dan praktik mobilisasi serta manipulasi yang bertujuan mencapai tujuan politik tertentu.

Semua faktor ini berperan dalam menentukan arah politik negara dan bisa memiliki konsekuensi yang signifikan terhadap stabilitas dan harmoni sosial.

Saat ini ada 10 negara di seluruh dunia yang mengalami kemunduran dalam sistem demokrasinya. Ini sekitar 10% dari total negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. Data dari "Global State of Democracy Indices" tahun 2020 memperlihatkan gambaran yang jelas, dan beberapa kasus mencolok termasuk Hongaria, Polandia, Rumania, Serbia, dan Turki.

Namun, dampak kemunduran ini juga merambat ke negara-negara lain yang sebelumnya kuat dalam demokrasinya, seperti India, Filipina, dan Ukraina.

Di beberapa negara seperti Nikaragua, kemunduran sudah berlangsung sejak tahun 2006, dan di Pakistan, fenomena serupa terjadi sejak tahun 2014. Bahkan, dalam beberapa kasus, situasi sangat serius hingga mengarah pada pergeseran menuju apa yang disebut sebagai hibriditas, di mana prinsip-prinsip demokrasi mengalami kerusakan sebagian.

Sehingga, mungkin tidak ada yang bisa menandingi dampak yang menghancurkan seperti yang terjadi di Venezuela pada tahun 2017. Di sana, proses kemunduran demokrasi telah mengakibatkan kehancuran total pada sistem demokrasi itu sendiri, meninggalkan banyak pertanyaan tak terjawab tentang masa depan demokrasi di seluruh dunia.

Pola-pola yang dapat diamati ini menggambarkan penurunan yang signifikan dalam aspek kebebasan sipil dan tiga subkomponennya, yaitu kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat dan berkumpul, serta kebebasan bergerak.

Melalui analisis data, dapat ditemukan bahwa pemerintahan non-populis mengalami peningkatan rata-rata skor "Global State of Democracy Indices" (GSoD) untuk kebebasan sipil sebesar 1,1% per tahun. Sementara itu, pemerintahan populis justru terkait dengan penurunan kebebasan sipil sebesar 0,8% per tahun. Tren ini memunculkan pertanyaan yang signifikan tentang hubungan antara populisme dan pembatasan kebebasan sipil dalam berbagai konteks politik di seluruh dunia.

Jan-Werner Müller, melalui penelitiannya dalam buku berjudul "What Is Populism?", membahas esensi populisme dengan jelas. Dalam analisisnya populisme berbasis identitas, seperti agama atau etnis, dikategorikan sebagai populis sayap kanan. Dalam pandangan Müller, populisme selalu mencerminkan politik identitas, meskipun tidak semua politik identitas bersifat populis.

Lebih lanjut, ia menunjukkan bahwa populisme cenderung memperkuat kelompok tertentu dan bahkan dapat meningkatkan ketidaksetaraan sosial. Populisme kanan radikal, khususnya, seringkali terkait erat dengan konsep nativisme dan politik identitas.

Banyak kelompok populis sering mengadopsi pendekatan yang memisahkan "rakyat" dari kelompok luar, seperti warga negara asing, terutama imigran, atau kekuatan politik dan ekonomi asing dalam pandangan populis sayap kanan. Sehingga fenomena ini mengubah populisme menjadi bentuk etno-nasionalisme yang kuat, seperti yang terjadi di India, di mana populisme etno-nasional yang berbasis agama menjadi fokus utama dalam wacana politik.

Populisme seringkali tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami transisi atau krisis yang mendalam. Ini terjadi ketika masyarakat terombang-ambing oleh dampak sosial, ekonomi, dan politik yang membingungkan, yang berakibat pada ketidakstabilan sosial dan penurunan standar hidup.

Dalam situasi semacam ini, populisme muncul sebagai kekuatan politik yang aktif menyebar. Partai-partai populis mendapatkan dukungan yang signifikan dalam konteks budaya politik yang bergerak dan sistem hukum yang belum stabil.

Yang mencolok dari populisme adalah ciri utama yang menggambarkan semua populis: kecenderungan untuk menggambarkan diri mereka sebagai perwakilan "rakyat" yang berjuang melawan "kemapanan" atau elite. Mereka mengadu kepentingan "rakyat biasa" dengan kepentingan elite, dan seringkali tidak terikat oleh ideologi yang jelas, sehingga dapat beroperasi dari ekstrem kiri hingga ekstrem kanan dalam spektrum politik.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama