Tanahku yang Mati, Senandung Sunyi dari Alam (Sepenggal Sajak Kepulan Debu di Jalan Setapak Beitara Kateri)

Tanahku yang Mati, Senandung Sunyi dari Alam (Sepenggal Sajak Kepulan Debu di Jalan Setapak Beitara Kateri)



TANAHKU YANG MATI

Alam kian menabur duka,

saat masa penggerus harapan telah meranggaskan kehidupan.

Tanahku yang mati menyisakan kehancuran bagi para penghuni semesta,

simfoni riang telah menjadi isakan kelu, untaian bernada syahdu telah menjelma kehampaan,

tiada lagi gema tawa hutan dengan gemerisik rimbun hijau.

Tanahku yang mati telah menjadi racun hitam bagi para pencari hari,

hingga tandas seluruh makna yang berarti.

Menyingkap seluruh tabir kesedihan dengan rahasia terpendam,

mengalirkan luka berujung derita dalam kelamnya malam.

Betapa bangkai-bangkai penari hutan bergelimpangan dibalik fatamorgana,

menjadi saksi bisu akan masa yang merenggut raga,

menyatu bersama dahaga tanah yang telah lekang.

Tanahku yang mati tersimpan ribuan hikayat yang telah dilupakan oleh para pengobar ambisi, yang mengambil celah nikmat namun lupa dengan amanah.

Tanahku yang mati membuncahkan sungai dan melapukkan dahan,

menjadi cermin kesedihan dan mengundang angkara langit.

Hingga menorehkan hikmah bagi kaki-kaki yang menginjaknya

 

SENANDUNG SUNYI DARI ALAM

Petang tadi aku berjumpa dengan angin Ia menyapaku dalam diam dan sendu

Membawaku kepada pesan semesta yang sembunyi dan tersipu

Namun kami tidak banyak bercakap

Karena aku segan dan takut mengenang murkanya saat ini Ia berjalan bersama seekor kera yang berlumuran darah dan nenah

 Tertatih-tatih berlari dari rimbanya yang musnah dilahap api

Sesekali dicabik jalanan dan dicium oleh debu

Sedang ia juga menangisi anaknya yang tewas dalam kantung susu siang tadi Ya, kamu betul..

Tewas dilahap api kemudian dibiarkan, sungguh ah

Sesekali aku berpikir dan merenung Bersenandung iba berikut malu

Tapi kuhentikan Karena aku tahu tidak semua manusia setuju denganku

Setiap hari bertemu insan yang tersipu malu

Menutup wajah dengan kain berikut tangisan hitam

Tetesan air mata yang beradu dengan kabut

Sesekali aku mengulik kisah cinta dan kasih di dalam tempayan besar ini Mereka menamai diri sebagai alam

Dan menyapa kami sebagai manusia

Tuhan hadir sebagai saksi dari perjanjian lisan itu

Perjanjian antara manusia dengan tempatnya beranak pinak

Namun musnah, ya semua tergilas begitu hampa

Mulut kaku dan bibir lengu saat bersumpah sebagai kawan

Kanan dan kiri hutan ditebas hingga tangan dan kaki kebas

Maaf bumi Aku tidak mampu menjaga sumpah dan janji Maaf bumi

 

Tunas-tunasmu lenyap dikelabui ambisi dan eksploitasi

Maaf bumi Aku hanya insan yang kerdil dan kurang mumpuni

Tapi alam, bagaimana denganmu alam?

Tidak.. jangan lagi.. Maaf alam

Bukit serta lembahmu harus perlahan meleleh dan meringis

 Maaf alam Manusia memeluk dan sayang padamu dalam bingkai konspirasi yang bengis

Maaf alam Jika kami harus berperan sebagai makhluk tiada kenal malu dan egois

Sudahlah, sajak ini memusingkanku dan membuatku menerjang pilu

Aku malu.. teramat dalam luka batinku mewakili manusia dan jenisku

Namun, apakah air baik-baik saja?

Ah nihil bedanya Maaf air Sungaimu kini ditiduri sampah dan nenah bau

Maaf air Kami tidak tahu keberadaan kasih di dalam gemericikmu

Maaf air Kini hanya gelap rupamu bagai lembayung yang tersapu dan kelabu

Tapi di tanah cahaya ini, aku berdiri dan menempa emosi Amarah dan tangis surya membakar hingga ke tulang dan sendi kami Apa daya saudaraku?

Bencana sudah bangun dari tidurnya

Ah begitulah sejenak pertanyaan insan-insan yang kehilangan akal

Manusia mesti merangkak dengan kaki patah disaat bumi bergetar dan terbakar

Di gubuk persembunyiannya sendiri

Ya, kamu betul.. gubuk buatannya sendiri

Lucunya.. ketika harmoni dan ironi mesti bermesraan di ruang kehancuran alam

Hari ini dan esok hari akan kujejali jalan-jalan berduri

Tanah-tanah sepi tanpa kicauan burung

Menyeret insan-insan yang berani untuk berlari dan berdikari

Menampar gengsi dan seberkas kemustahilan untuk memulihkan alam

Hingga menggaung nyanyian berseri

Membenahi gunung-gunungku yang sudah lama malu karena telanjang berdiri

Cahaya menyemburat melalui tunas-tunas muda yang tersipu dibalik selimut tanah

Hendak keluar dan membersihkan diri

Selamanya aku hendak mandi dan membasuh luka pada hati

Dengan sungai laksana intan di seberang sajadah hijau bumi ini

Kemarilah insan-insan penghuni air dan bumi

Menepi untuk memoles keanggunan semesta

Karena hanya aku ataupun tiada satu yang tahan terhadap setiap godaan eloknya

Mataku membelalak dan aku terjaga setiap hutanku bermandikan abu

Segenap makhluk tahu jika ini bukanlah tembok mimpi

Melainkan sebongkah impian untuk berharmoni dengan alam

Tapi doa dan harap akan menyelimuti ribuan langkah bajik Jika alam dan manusia masih tetap menjaga hati

 

 

NAFAS

Ada rimbun yang anggun

Meneduhkan sukma dikala kelelahan

Memanjakan pandangan dikala keresahan

Disambutnya aliran udara, menjelma kesejukan

Hamparan rimba ialah istana

Mahligai satwa bersyahdu

Mahligai manusia berpadu

Mahligai denyut nan menawan amat rupawan Firasat mendekat

Seketika riuh bertandang

Alam bergumam suram

Berujung menanggung cemas berkabung

Bara bergelora memalut rimba

Getir terasa memeluk jiwa

Memekik keteduhan dalam lara mencekam

Kepulan menjelma pemutus nadi terkeji

Semesta diracik cita rasa tak terduga Insan membenahi yang terjadi

Telentang manja telapak tangan

Do’a – do’a diangkasakan

***

Medio Foho Beitara Kateri Kabupaten Malaka

Selasa, 31 Oktober 2023



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama