Kampanye Pilpres Indonesia itu sejatinya hanya punya
dua makna tok.
Makna pertama untuk menunjukkan kebolehan
capres-cawapres dan koalisinya mengonstruksikan persoalan yang dihadapi negara
bangsa Indonesia khususnya persoalan yang dihadapi warga negara, entah itu
persoalan pendidikan, persoalan lapangan pekerjaan, persoalan pemerataan
kesejahteraan, atau bahkan sekadar mengonstruksikan persoalan sangat mendasar
yang tergambar dalam pertanyaan warga negara di pagi hari: "apa yang bisa
dimakan anak istri nanti sore?". Karena tanpa kemampuan itu bagaimana
seorang capres-cawapres akan mampu menjalankan makna kedua?
Makna kedua adalah untuk menunjukkan kebolehan
capres-cawapres dan koalisinya mengonstruksikan rumusan pemecahan dari makna
pertama tadi. Apakah tawaran rancangan pemecahannya benar-benar jalan keluar
terbaik? Apakah rumusan pecahannya itu realistis dan bisa dijalankan? Kalau
pemilih menilai iya, maka pilihlah capres-cawapres itu. Kalau pemilih menilai
tidak, jangan pilih capres-cawapres. Segitu sederhana saja sebenarnya.
Untuk kedua makna itulah uang negara ratusan triliun
digelontorkan untuk pesta demokrasi 5 tahunan bernama pemilihan presiden dan
wakil presiden tersebut.
Sehingga menjadi haram hukumnya, munafiklah
statusnya, pengkhianat rakyatlah seorang capres-cawapres yang berbohong
dalam kampanye.
Berbohong karena mengampanyekan yang jelas-jelas
direncanakan tidak akan dikerjakan setelah terpilih sebagai presiden dan wakil
presiden. Namun, isu yang tidak akan dikerjakan tersebut terpaksa harus masuk
materi kampanye karena daya tarik isu tersebut bagi hati pemilih.
Atau berbohong karena tidak mengampanyekan apa yang
akan dikerjakannya nanti saat menjabat, tidak menyampaikan suatu agenda
strategis saat kampanye kepada pemilih, suatu agenda tersembunyi, karena
khawatir menurunkan elektabilitas, mengurangi ketertarikan hati pemilik hak
suara dikarenakan isu itu sangat tidak disukai pemilih.
Celakalah negara, bangsa, dan masyarakat kalau
sampai terpilih presiden pembohong seperti itu. Harapan kegembiraan pemilih
saat pilpres bisa berubah menjadi malapetaka bagi rakyat setelah capres
tersebut menjadi Presiden.
Agar bencana itu tidak terjadi, perlu dipastikan
melalui regulasi, atau setidak-tidaknya melalui pakta integritas, bahwa
presiden terpilih wajib menjalankan program-program yang pernah disampaikan
kepada pemilih saat kampanye. Itu hal pertama yang harus dilakukan.
Hal kedua yang harus dilakukan, agar
bencana itu tidak terjadi adalah perlu dipastikan melalui regulasi, atau
setidaknya pakta integritas, bahwa Presiden terpilih tidak boleh menjalankan
agenda yang menyita sumber daya negara yang besar untuk program yang tak pernah
disampaikan kepada pemilih saat kampanye.
Peraturan perundang undangan atau pakta integritas
tersebut bisa membatasi jumlah APBN yang bisa dipakai untuk program-program
diluar materi kampanye, misal Rp 1 triliun. Lebih dari itu tidak boleh, harus
ada rujukan kepada materi kampanye.
Tentu saja berbeda jika ada keadaan postmajor yang
sangat luar biasa, seperti serangan pandemi atau serangan militer atau
pemberontakan meluas atau bencana alam yang luas.
Peraturan perundangan undangan atau pakta integritas
ini harusnya ada sebelum masa kampanye pilpres dimulai, dan dapat dipaksakan
oleh KPU selaku penyelenggara pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Agar apa?
Agar tidak ada dusta yang sangat berbahaya yaitu
dusta nan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) dalam kampanye pilpres dan
pemerintahan 5 tahun setelahnya.
Karena apa?
Karena sesungguhnya yang melahirkan kesengsaraan
TSM, baik kesengsaraan TSM secara lahir maupun batin bagi seluruh bangsa dan
rakyat Indonesia serta membahayakan masa depan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) diawali dusta yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis,
dan Masif (TSM) dalam masa kampanye pilpres oleh pasangan capres dan cawapres.
Menutup tulisan ini, ada baiknya sebagai pemilih
berdaya, sebagai pemilik sah Republik Indonesia, merenungkan lokal wisdom
budaya Jawa ini:
"Milih pemimpin pendusta ateges kepingin
sengsoro".
"Memilih pemimpin pendusta, sebenarnya kita
menginginkan kesengsaraan"
Semoga bangsa dan negara Indonesia dihindarkan Allah
yang
Mahakuasa, Tuhan Yang Maha Esa,
dari hal demikian, aamiin