Virus HIV/AIDS semakin mengancam kalangan remaja di Nusa Tenggara Timur. Sayangnya, penanggulangan penyebaran penyakit menular itu belum dilakukan secara masif. Di sisi lain, tes HIV/AIDS belum menyentuh sebagian besar warga.
Kasus HIV di kalangan remaja ibarat gunung es. Anak usia 13-20 tahun sudah terbiasa berhubungan seks bebas. Hal itu pengaruh ponsel pintar. Butuh sosialisasi masif terkait pencegahan dan penanggulangan penyakit itu.
Dari hasil tersebut, dokter meminta sukarelawan
peduli HIV untuk mendampingi dan memberikan konseling kepada AL. Dengan adanya
pendampingan, AL tidak boleh dibiarkan bergulat dalam kesendirian. Kedua
orangtua AL dan seluruh keluarga serta guru pembimbing AL ikut mendampingi.
Namun, Nes (48), ibu AL, seakan kurang percaya
dengan hasil tes itu. Ia bersama suaminya meminta AL melakukan pemeriksaan
laboratorium ulang. ”Semua cita-cita AL dan harapan kami pupus. Meski ada
konselor yang meyakinkan obat antiretroviral bisa memperpanjang usia harapan
hidup. Semua sudah terlambat. Itu risiko dari semua nasihat orangtua dan guru
tidak didengarkan,” kata Nes.
Sementara Nal (17), siswa sebuah SMA di Kupang,
selalu tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Wajah Nal pucat dan badannya
kurus. Dia sering demam dan batuk-batuk. Diagnosis dokter di puskesmas dan
dokter praktik belum bisa mengatasi keluhan Nal.
Suatu hari, saat seorang anggota staf Komisi
Penanggulangan HIV/AIDS NTT berkunjung ke sekolah Nal, guru menceritakan
kondisi Nal. Staf KPA pun mengusulkan untuk pemeriksaan urine lengkap.
Hasilnya, Nal positif menderita infeksi menular seksual (IMS) parah. Kini, Nal
sedang didampingi untuk pemeriksaan HIV.
Koordinator Divisi Pendampingan Pemberdayaan
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Yayasan Sanggar Suara Perempuan Yundry
Kolimon di Kupang, Minggu (19/11/2023), mengatakan, dalam pendampingan terhadap
para korban tindak kekerasan seksual, para pelaku pria kebanyakan anak-anak
usia 14-18 tahun. Mereka ini sedang dalam masa pubertas.
Penggunaan gawai di kalangan anak muda ikut
memengaruhi kekerasan seksual yang terjadi pada para remaja. Gawai yang lebih
sering dipakai saat pandemi, malah digunakan untuk mencari gambar-gambar porno
di media sosial.
Hal itu terungkap dalam penanganan sejumlah kasus
pemerkosaan, pelakunya anak laki-laki yang masih berusia 14-18 tahun. Tidak
hanya remaja pria. Remaja putri pun memiliki kebiasaan serupa. Menonton
gambar-gambar asusila. Keberlanjutan dari tontonan itu adalah saling
menghubungi lawan jenis. Biasanya remaja pria yang menyapa duluan.
Berlanjut dengan ajakan remaja pria melakukan
hal-hal yang tidak layak mereka lakukan. ”Anak remaja pria dan wanita sekarang
sangat rentan terlibat pergaulan bebas. Melakukan hubungan yang dilarang norma
agama dan adat istiadat,” kata Yundry.
Apabila pendampingan anak remaja tidak dilakukan,
media sosial bisa merusak masa depan anak-anak. Tidak hanya kasus-kasus
asusila, tetapi juga perusakan mental dan moral anak. ”Di sisi lain, anak
menjadi gampang putus asa. Sering berhalusinasi, frustrasi, dan bertindak di
luar batas-batas kewajaran. Mudah menyerah, lebih suka sesuatu yang instan.
Ini, kalau dibiarkan sangat membahayakan generasi masa depan,” katanya.
Sosialisasi
pencegahan HIV
Untuk penanggulangan HIV/AIDS, pemerintah perlu
melakukan sosialisasi masif melalui pamflet, baliho, dan spanduk-spanduk di
setiap ruas jalan strategis, di kantor-kantor, sekolah, dan ruang-ruang publik.
Berbagai kampanye pencegahan juga penting dilakukan untuk mengingatkan
masyarakat, terutama generasi muda agar terhindar dari HIV/AIDS.
”Khusus generasi muda atau anak remaja, pihak
sekolah bisa menjelaskan soal HIV sehingga mereka bisa paham dan menghormati
tubuh sendiri. Kalau mereka paham, biar pengaruh media sosial menampilkan gaya
hidup bebas bagaimanapun, mereka bisa menangkal,” katanya.
Pengelola Program Komisi Penanggulangan HIV/AIDS
(KPA) Nusa Tenggara Timur, Adrianus Lamuri, mengatakan, tanpa disadari, kasus
HIV merebak diam-diam di masyarakat. KPA belum melakukan pemeriksaan massal
terhadap kelompok-kelompok masyarakat seperti dilakukan awal kemunculan virus
itu tahun 2000-an. Pemeriksaan masal belum dilakukan karena anggaran komisi
yang terbatas.
Khusus generasi muda atau anak remaja, pihak sekolah
bisa menjelaskan soal HIV sehingga mereka bisa paham dan menghormati tubuh
sendiri. Kalau mereka paham, biar pengaruh media sosial menampilkan gaya hidup
bebas bagaimanapun, mereka bisa menangkal.
”HIV/AIDS ditemukan di NTT sejak Januari-September
2023 atau selama sembilan bulan sebanyak 568 orang. Berdasarkan usia, 118
penderita adalah anak usia 14-20 tahun, tidak termasuk anak balita. Sisa 450
penderita berusia di atas 20 tahun. Jumlah ini diperoleh dari pasien dengan
berbagai keluhan. Dilanjutkan dengan konseling dan pemeriksaan darah,” kata
Lamuri.Ia menyayangkan kasus itu semakin banyak merambat ke anak remaja. Mereka
sesungguhnya harus punya masa depan yang lebih cerah. Bukan terkungkung oleh
penyakit, yang sebenarnya bisa dicegah sejak dini.
Jika tidak ada informasi yang benar kepada remaja
terkait pergaulan bebas yang berdampak pada penularan infeksi menular seksual
(IMS) dan HIV, semakin banyak dari mereka tertular IMS, termasuk HIV. ”Kami
terus bergerak melakukan sosialisasi sesuai kemapuan yang ada. Kaum remaja
harus diselamatkan,” katanya.
ODHIV yang mengonsumsi ARV di NTT sejak 2015
sebanyak 5.367 orang. ODHIV yang berhenti mengonsumsi sebanyak 636 pasien.
Menjalani pengobatan herbal tertentu, mengikuti doa penyembuhan, malu, dan
malas ke puskesmas atau rumah sakit mengambil obat.
Mereka yang mengonsumsi ARV masih beraktivitas
seperti biasa di kantor pemerintah, swasta, BUMN, sebagai petani, siswa,
mahasiswa, dan ibu rumah tangga. Khusus ibu rumah tangga dan pekerja seks
komersial perlu konselor sehingga tidak menyebarkan virus kepada orang lain.
Pada Januari-September 2023, sebanyak 39.967 orang
telah melakukan tes HIV. Kota Kupang terbanyak dengan jumlah 8.934 orang.
Menyusul Kabupaten Nageko 5.023, Belu 4.438, Sumba Barat Daya 3.386, Flores
Timur 3.109, dan paling kecil kabupaten Malaka sebanyak 13 orang. Jumlah warga
yang mengikuti tes dan VCT ini tidak sebanding dengan jumlah penduduk NTT saat
ini, 5,3 juta jiwa.
Tidak semua orang harus menjalani tes HIV.
Dianjurkan bagi mereka yang merasa berperilaku dengan tingkat risiko tinggi
tertular inveksi menular seksual. Kelompok ini bisa juga menjalani pemeriksaan
atas kesadaran sendiri di laboratorium. Mendeteksi dini virus di dalam tubuh
agar segera ditangani.
Kasus IMS yang ditemukan Januari-September 2023
sebanyak 752 orang. Banyak penderita IMS secara diam-diam membeli obat
antibiotik untuk dikonsumsi, setelah mengetahui terinfeksi IMS. Saat ini, masih
ada apotek menjual obat antibiotik secara bebas.
”Sebaiknya ada gerakan masif dari pengambil
kebijakan untuk melakukan konseling dan tes HIV. Lebih cepat terungkap, cepat
ditangani melalui ARV sehingga tidak menuju AIDS. HIV sangat membahayakan
generasi muda ke depan,” kata Lamuri. *** kompas.id