Negara Melodrama: Gelora Politik Emosional di Indonesia

Negara Melodrama: Gelora Politik Emosional di Indonesia



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Belakangan ini memang publik banyak disuguhkan dengan berbagai drama politik yang menguras emosi dan menarik simpati masyarakat. Maka wajar jika Presiden Jokowi pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-59 Partai Golkar di Kantor DPP Golkar beberapa waktu lalu mengatakan bahwa "Saya melihat akhir-akhir ini yang kita lihat adalah, terlalu banyak dramanya, terlalu banyak drakornya, terlalu banyak sinetronnya, sinetron yang kita lihat". Kalimat tersebut semakin mempertebal bagaimana Melodrama dalam Politik sangat kental di Indonesia khususnya menjelang gelaran Pesta Demokrasi di tahun 2024.

Secara beruntun misalnya dipertontonkan bagaimana anak bungsu Presiden, Kaesang Pangarep yang memutuskan untuk masuk ke dalam partai politik dan hanya berselang hari langsung didaulat menjadi Ketua Partai. Drama berikutnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap memuluskan jalan putra sulung Jokowi, Gibran untuk melenggang mengikuti Pilpres tahun 2024 dengan menjadi Capres, mengingat Ketua MK saat itu adalah Adik Ipar Jokowi, Anwar Usman yang berarti adalah Paman dari Gibran.

Drama berlanjut dengan hasil putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (Hakim Terlapor) melakukan pelanggaran dan diberhentikan sebagai Ketua MK.

Drama lainnya juga muncul atas reaksi dari berbagai drama di atas, misalnya sebagaimana diberitakan bahwa PDIP Merasa Diintimidasi dengan Kedatangan aparat di kantor DPC mereka. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto juga menganggap adanya politik diskriminasi dengan menyinggung adanya pencopotan bendera partainya dan baliho Ganjar-Mahfud MD di Bali saat kunjungan Presiden beberapa waktu lalu.

Ia menganggap kondisi ini berbeda dengan yang terjadi saat kunjungan Presiden ke Sumatera Barat yang menurutnya tetap terpasang meskipun Presiden datang. Dan masih banyak drama lainnya yang terus muncul menjelang pemilihan nanti.

Berbagai drama ini memang sengaja dibuat oleh para aktor politik untuk menarik simpati masyarakat dan meningkatkan popularitasnya. Hal ini juga pernah terjadi ketika SBY dan Jokowi untuk pertama kali maju sebagai calon Presiden. Dan strategi itu sukses mengantarkan SBY dan Jokowi pada kursi kekuasaan tertinggi di Indonesia.

Menurut pakar politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Anis Masykhur menyatakan bahwa Sudah menjadi konsep umum bahwa cerita "zalim dan dizalimi" sengaja disusun (constructed) menjelang pemilihan umum atau pemilihan presiden dan fenomena semacam itu dikenal sebagai melodrama politik.

Melodrama Politik



Melodrama politik sering memperlihatkan dramatisasi dalam peristiwa politik, penggunaan retorika yang berlebihan, dan memanfaatkan emosi untuk memanipulasi pendapat masyarakat. Ungkapan ini sering dipakai untuk menjelaskan tindakan atau retorika politik yang bertujuan menciptakan sensasi, kontroversi, atau ketegangan.

Melodrama berasal dari gabungan kata Yunani, yaitu "melos" yang berarti lagu, dan "drama" yang berarti tindakan. Melodrama cenderung menitikberatkan pada pengungkapan emosi dan konflik, seringkali dengan karakter yang sangat jelas perannya sebagai baik dan jahat, serta fokus pada pertentangan moral di antara keduanya.

Menurut Garin Nugroho dalam karyanya "Negara Melodrama" yang diterbitkan pada tahun 2019, melodrama diartikan sebagai usaha untuk mengelola emosi penonton dengan tujuan membuat mereka nyaman berlama-lama menikmati produk hiburan. Ciri-ciri melodrama termasuk dalam melihat karakter tokoh dengan polarisasi yang sangat tajam antara baik dan buruk, sehingga mendorong munculnya kultus pengidolaan terhadap satu pihak dan sebaliknya, terdapat rasa benci yang kuat terhadap individu yang memiliki karakteristik yang berlawanan dengan tokoh yang diidolakan.

Sedangkan teori melodrama dalam politik diperkenalkan dan dikembangkan oleh Kenneth Burke (seorang filsuf, kritikus, dan retoris Amerika) melalui karyanya yang terbit tahun 1945 dengan judul "A Grammar of Motives".

Kenneth Burke, berpendapat bahwa melodrama merupakan struktur naratif yang tersebar luas dan dapat ditemukan dalam berbagai jenis wacana, termasuk dalam ranah politik. Burke mengidentifikasi beberapa ciri umum melodrama, yang melibatkan konflik moral antara kebaikan dan kejahatan dengan akhir cerita yang bahagia atas kemenangan, plot yang bergerak menuju klimaks dan resolusi, karakter yang dikelompokkan ke dalam baik dan jahat dengan menjaga jarak antara mereka, serta penggunaan bahasa yang emosional, meletup-letup, dan penuh dengan perumpamaan. Naratif melodrama sering kali memvisualisasikan ketidakadilan dengan sentuhan dramatis.

Masyarakat Melodrama

Strategi melodrama dalam politik di Indonesia sejauh ini dianggap sukses karena terbukti dengan terpilihnya pasangan SBY-JK tahun 2004 dan Jokowi-JK tahun 2014 yang dianggap berhasil menggunakan strategi melodrama dalam politik elektoralnya.

Hal ini bisa terjadi karena memang masyarakat kita yang cenderung mudah untuk terharu, memiliki ingatan yang pendek, mudah bosan, dan sering mengambil sikap diametral sangat mudah terpengaruh dengan berbagai drama dalam melodrama politik.

Dalam konteks ini, masyarakat dapat memilih kembali pemimpin yang sebelumnya gagal hanya karena tindakan baik yang dilakukannya. Sebaliknya, jika pemimpin tidak berkinerja baik, masyarakat cenderung mengambil sikap diametral.

Karakteristik masyarakat Indonesia yang bersifat melodrama memiliki dampak positif dan negatif. Dari sisi positif, hal ini mendorong budaya persaingan di masyarakat, tetapi dari sisi negatif, dapat menghasilkan sikap pesimis yang dapat berubah menjadi pragmatis. Masyarakat tidak memperhatikan siapa yang memimpin, yang penting disukai, hal demikian yang diungkapkan dari kondisi saat ini.

Dalam konteks masyarakat melodrama, tanggung jawab kepemimpinan nasional melibatkan transformasi karakter masyarakat dan memberikan inspirasi kepada rakyat. Seorang pemimpin di negara ini dianggap berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi dan mengurangi ciri khas melodramatik masyarakat, yakni membangun karakter bangsa, rasa kebangsaan, dan memperkuat persatuan.

Menurut Garin Nugraha, masyarakat melodrama lebih dominan dipengaruhi oleh emosi dibandingkan dengan fakta sehingga diperlukan strategi strategi kebudayaan yang mencakup tiga aspek utama: budaya massa, budaya warisan, dan budaya alternatif. Fokus budaya massa pada popularitas dan pengaruh massa menjadi sorotan elit politik, yang bergantung pada dukungan finansial korporasi, politik identitas, dan jumlah pengikut.

Pentingnya membangun selera masyarakat melibatkan aspek intelektual, pendidikan, gaya hidup, dan psikologi dianggap krusial untuk membentuk budaya massa yang berdampak positif. Garin juga menekankan peran penting budaya warisan sebagai dasar perkembangan budaya populer dan memperkuat budaya alternatif, yang dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan warga negara melalui manajemen festival dan alokasi dana yang tepat.

Ini dianggap esensial untuk menghindari eksploitasi komersial terhadap kebutuhan dasar dan memastikan perlindungan, kesehatan, dan produktivitas masyarakat melalui pendidikan warga negara, sekolah, dan layanan kesehatan.

Kesimpulan

Kehidupan politik saat ini dikuasai oleh para king maker yang bergerak layaknya seperti sutradara sinetron dengan menciptakan berbagai drama politik. Dalam kehidupan yang monoton dan penuh ketidakpastian, melodrama terbukti menjadi pengalihan perhatian dari masalah utama masyarakat, yaitu kesulitan hidup.

Burke menegaskan bahwa melodrama bukan hanya alat untuk memobilisasi publik, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk memanipulasi dan mengadu domba masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang cara melodrama digunakan dalam politik menjadi esensial, dan perlu adanya sikap kritis terhadap narasi melodrama yang dipersembahkan oleh politisi.

Dengan pemahaman ini, diharapkan masyarakat dapat lebih waspada terhadap upaya politik yang mungkin mencoba memanfaatkan struktur melodrama untuk mencapai tujuan tertentu.

Sehingga gelaran Pemilu 2024 nanti harusnya menjadi gelaran pesta demokrasi yang menyuguhkan berbagai ide, gagasan, perbaikan untuk kemajuan dan kejayaan Indonesia. Apalagi jika kita melihat kondisi dunia hari ini yang sedang dipenuhi dengan berbagai persoalan dan konflik yang terjadi baik antara Rusia dengan Ukraina, Israel dengan Palestina dan Perang dagang China dengan Amerika yang tak berkesudahan.

Tentu Pemilu tidak boleh hanya sekadar menjadi rutinitas tahunan yang hanya menyuguhkan drama-drama politik demi menarik simpati saja, akan tetapi Pemilu harus bisa melahirkan pemimpin yang dapat melanjutkan estafet kepemimpinan dan mengutamakan kepentingan bangsa agar visi satu abad Indonesia Emas tidak hanya menjadi jargon saja.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama