Kemudian disusul deklarasi politik Prabowo Subianto
sebagai Bakal Calon Presiden dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Bakal Calon
Wakil Presiden. Rangkaian momentum yang cukup menjadi shock therapy bagi rakyat
Indonesia membuat Pemilu 2024 menjadi atensi menarik sekaligus seksi.
Konsepsi politik dalam skala besar tidak bisa
dipisahkan dari negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Sebab akan selalu
ada keinginan yang diikhtiarkan dari tiap-tiap warga negara untuk negaranya
yaitu terwujudnya masyarakat adil makmur.
Secara normatif demikian, namun jika dilihat dari
kacamata realistis, orientasi keinginan yang diikhtiarkan cenderung terjebak
pada labirin kepentingan kelompok tertentu bukan kepentingan negara.
Terjadi negosiasi politik antara yang ingin berkuasa
dengan yang menguasai dominasi-dominasi strata sosial di masyarakat. Seperti
halnya paslon yang memanfaatkan santri-santri, mahasiswa, tokoh-tokoh adat,
ulama, dan public figure untuk menarik atensi mereka baik secara ideologi
maupun emosional agar hak suara mereka jatuh pada paslon tersebut. Bahkan dapat
langsung berkoalisi dengan pihak yang berada pada puncak strata sosial, yaitu
pemimpin masyarakatnya, bisa jadi juga Presiden.
Manuver strategi politik akan terus terjadi hingga
kondisi lapangan dapat dikendalikan. Tidak luput mengenyampingkan suatu yang
ideal untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Misalnya, memberikan jabatan
strategis kepada pendukung tanpa melihat orang lain yang memiliki kapabilitas
lebih.
Hal ini dilakukan agar semakin banyak pendukung yang
terjaring. Iming-iming tersebut membuat persaingan tidak sehat pada masyarakat.
Orang-orang dengan kebutuhan demikian akan berlomba-lomba dan rela menjatuhkan
orang lain agar terlihat dan dicap sebagai pendukung untuk mendapatkan apa yang
menjadi imbalan.
Hasrat berlebihan ini menstimulus manusia untuk
mengambil jalan pintas dalam mencapainya. Thomas Hobbes mengatakan bahwa
sifat-sifat demikian akan menghancurkan umat manusia itu sendiri.
Perlu digarisbawahi bahwa negara berdiri di atas
semua golongan untuk mememuhi semua kebutuhan golongan. Bagaimana nantinya
apabila yang menjadi pemimpin negara adalah ia yang minim kapabilitas, prematur
secara pengalaman, melihat dan mengangkat pejabat-pejabat pembantunya hanya
dari kacamata pendukung, atau tidak memiliki sisi idealis. Maka barangkali
cita-cita negara ini hanya menjadi utopis belaka, hingga pada akhirnya jatuh
kepada realitas distopia.
Teori klasik Arisoteles memandang politik sebagai
upaya bersama untuk mencapai kebaikan bersama. Term "kebaikan"
ditujukan pada sesuatu yang ideal menurut nilai moral dan berdasarkan output-nya.
Sisi idealisme pada politik tidak boleh dilepaskan.
Politik tidak berbicara tentang melegitimasi
usaha-usaha imoral agar bisa menang, melainkan bagaimana mengekstrasi konsepsi
kebaikan dari alam idea kepada realitas materi. Sehingga nantinya terepresentasikan
pada usaha politik praktis yang dilakukan.
Permasalahannya adalah ketidakmampuan merealisasikan
hal tersebut membuat mereka mengambil jalan pintas. Jalan pintas yang sering
kali didapati adalah money politic, politik dinasti, jual beli suara, dan
manipulasi hasil pemilu.
Kemenangan politik atau keberhasilan merebut takhta
tertinggi memanglah penting, semua ikhtiar patut dicoba. Namun bagaimana negara
bisa berkembang dengan baik, mencapai klimaksnya, berevolusi, dan mampu
menghadirkan real solutions dari setiap masalah yang dirasakan oleh masyarakat
apabila pemimpin yang terpilih cenderung hipokrit.
Putusan berubah-ubah dalam waktu singkat ujar salah
satu hakim MK ketika sidang perkara mengenai batas umur minimal capres dan
cawapres. Parpol menjadi lembaga terendah yang dipercaya masyarakat menurut
survei LSI. Indonesia dihantui gosip politik dinasti. Panorama yang cukup
mencekam dari perpolitikan Indonesia.
Namun, seperti inikah usaha untuk membawa negara ke
arah yang lebih baik? Apakah bisa Indonesia berada pada koordinat tertinggi
dari diagram kemakmuran sebuah negara dengan realitas sekarang.
Sublimasi nilai-nilai idealis pada politik praktis
menjadi hal yang wajib dilakukan oleh pelaku-pelaku politik. Sebab terwujudnya
masyarakat adil makmur hanya akan tercipta dengan usaha-usaha yang memiliki
energi positif.
Tentunya energi ini bahan bakunya adalah nilai-nilai
idealis. Sehingga boleh saja menciptakan kreasi liar pada strategi dan taktik
perpolitikan, namun idealisme harus tetap melekat dan menjadi napasnya.
Secepat-cepatnya kendaraan politik melaju dengan
keugal-ugalannya. Akan lebih aman jika rambu lalu lintasnya tetap ada. Rambu
itu adalah idealisme. Berlaku untuk setiap dimensi perpolitikan, baik pada
perpolitikan pilkada, pileg, atau bahkan perpolitikan kampus atau organisasi
lainnya.