Kecuali
itu, kematangan seseorang guru dalam mengemban profesi keguruan juga ditentukan
oleh faktor pengalaman mengajar dan lamanya mengajar. Artinya setelah sekian
lama mengarungi profesi keguruan yang diembannya membuat yang bersangkutan tahu
dan paham tentang kapasitasnya sebagai seorang guru sehingga memungkinkan yang
bersangkutan semakin dewasa dan mandiri di dalam berpikir, bertutur dan
bertindak dalam kerangkah profesinya. Hal ini terjadi karena dia tahu dan paham
betul pekerjaan yang telah digelutinya.
Panorama
dari gambaran guru yang ideal ini sudah dapat diduga akan berpengaruh positip
pada proses pengelolaan pendidikan yang mampu melahirkan lulusan bermutu yang
dibuktikan dengan hasil langsung pendidikan berupa nilai yang dicapai siswa dan
dapat juga dilihat dari dampak pengiring, yaitu peserta didik setelah bertugas
di tengah masyarakat.
Penyelenggaraan
pendidikan pada era global ini menuntut mutu sumber daya guru. Tugas guru
adalah mengembangkan wawasan keilmuan dan membentuk sikap, nilai serta
kematangan kepribadian peserta didik. Dalam konteks ini, seorang guru perlu
diberikan keleluasaan dalam mengembangkan kemampuan para siswanya melalui
pemahaman, keaktifan, pembelajaran sesuai kemajuan zaman dengan mengembangkan
keterampilan hidup agar siswa memiliki sikap kemandirian, perilaku adaptif,
koperatif dan kompetitif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan
sehari-hari. Seorang guru harus dapat menjalankan tugasnya secara profesional
dalam mengembangkan pembelajaran yang interaktif, dialogis, menarik, efektif
dan menyenangkan bagi peserta didik.
Jika
dihubungkan dengan kondisi riil di lapangan, berbicara tentang kompetensi dan
profesionalisme guru ini masih dihadapi banyak persoalan. Menurut Payong (2016:
16) dalam penelitiannya pada tahun 2014, sejumlah persoalan guru meliputi: (1)
para guru belum siap menerapkan inovasi pembelajaran, mereka cenderung kembali
kepada pola- pola pembelajaran konvensional, (2) Program peningkatan
kualifikasi dan sertifikasi guru tidak berdampak secara langsung terhadap
peningkatan prestasi siswa, (3) Program pengembangan keprofesian berkelanjutan
tidak dilihat sebagai program strategis yang memiliki nilai tambah pada
pengayaan wawasan dan keterampilan guru, (4) Guru terlibat politik praktis
dalam pilkada langsung yang berpengaruh pada kinerjanya dalam pembelajaran dan
hubungan dengan teman sejawat, (5) Guru terjebak dalam pola pikir birokrasi
dalam menerapkan kurikulum dan (6) Dorongan dan kemauan untuk belajar dan mengembangkan
diri belum diutamakan oleh guru-guru yang telah disertifikasi.
Dari
keempat kompetensi yang harus dimiliki guru, dua di antaranya dinilai masih
menjadi problem serius dan krusial di kalangan guru, yakni kompetensi pedagogik
dan kompetensi profesional. Dari aspek kompetensi pedagogik, misalnya, guru
dinilai belum mampu mengelola pembelajaran secara maksimal, baik dalam hal
pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi hasil belajar, maupun pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Dari aspek kompetensi
profesional, banyak guru yang dianggap masih gagap dalam menguasai materi ajar
secara luas dan mendalam sehingga gagal menyajikan kegiatan pembelajaran yang
bermakna dan bermanfaat bagi siswa.
Hal
ini dipertegas lagi jika harus merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Akademik dan Kompetensi,
maka rendahnya penguasaan guru atas kompetensi pedagogik mengungkapkan bahwa
guru tidak cukup kompeten atas sejumlah subkompetensi berikut: (1) menguasai
karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural,
emosional dan intelektual; (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik; (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan
mata pelajaran/bidang yang diampu; (4) menyelenggarakan pembelajaran yang
mendidik; (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan
pembelajaran; (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimiliki; (7) berkomunikasi secara efektif, empatik dan
santun dengan peserta didik; (8) menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses
dan hasil belajar; (9) memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk
kepentingan pembelajaran; dan (10) melakukan tindakan reflektif untuk
peningkatan kualitas pembelajaran. Di pihak lain, rendahnya penguasaan guru
atas kompetensi profesional mengungkapakan bahwa guru masih lemah dan tidak
cukup kompeten atas sejumlah subkompetensi berikut: (1) menguasai materi,
struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang
diampu; (2) menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran/bidang ilmu yang diampu; (3) mengembangkan materi pembelajaran yang
diampu secara kreatif; (4) mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan
dengan melakukan tindakan reflektif; dan (5) memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri (Departemen
Pendidikan Nasional, 2008).
Kita
sudah cukup akrab dengan istilah generasi milenial. Dari generasi milenial,
berkembang istilah-istilah lain: mahasiswa milenial, guru milenial dan
seterusnya. Apa sesungguhnya generasi milenial itu? Rahman (Online, 2017)
menjelaskan konsep generasi milenial sebagai generasi yang dilahirkan pada
kisaran tahun 1980-2000, generasi masa kini yang berusia 15-34 tahun.
Esensinya, generasi milenial merupakan generasi yang lahir dan hidup di era
digital yang memanfaatkan media informasi dan teknologi dalam kehidupannya. Seorang
guru harus memahami karakter generasi digital. Hal ini sangat penting agar guru
mampu memposisikan diri sebagi pendidik yang dipandang ideal dimata siswanya,
profil guru yang mendapatkan kepercayaan untuk memberikan taktik dan strategi
pembelajaran yang berdaya guna.
Problematika guru Pendidikan Agama Katolik merupakan
salah satu dari sekian banyak masalah pendidikan yang harus mendapatkan
perhatian besar. Guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses
pembelajaran. Peran seorang guru yaitu baik sebagai pendidik, model, pengajar,
dan pembimbing. Oleh karena itu, tidak heran jika guru
menjadi factor penentu keberhasilan pendidikan siswa. Amanat undang-undang guru
dan dosen (UUGD) Pasal 20, di antara tugas profesional guru adalah merencanakan
pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran. Selain itu, meningkatkan dan mengembangkan
kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Belum lagi dalam pemenuhan
empat kompetensi (kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional),
yang harus dipenuhi seorang guru profesional.
Bahwa
dalam pembelajaran guru Pendidikan Agama Katolik harus
secara sadar menguasai kurikulum sebagai acuannya untuk melaksanakan proses
belajar mengajar (PBM) dan evaluasi. Secara sederhana kurikulum menggambarkan
pada isi atau pelajaran dan pola interaksi belajar mengajar antara guru dan
siswa untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karenanya guru secara lebih khusus
dituntut menguasai kompetensi profesional antara lain: mampu mengembangkan
kurikulum tingkat satuan pendidikan, yang meliputi: a) memahami
standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK-KD), b) mengembangkan silabus, c)
menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), d) melaksanakan
pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik, e) menilai hasil
belajar, dan f) menilai dan memperbaiki kurikulum sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan perkembangan zaman.
Dalam
memenuhi tugas keprofesionalannya, setidaknya masih ada masalah besar yang
dialami guru Pendidikan Agama Katolik yakni, dalam
melaksanakan pembelajaran yang bermutu masih jauh dari harapan. Seringkali guru
Pendidikan
Agama Katolik puas dengan apa yang dilakukan
selama ini. Belum lagi masih banyak guru Pendidikan Agama Katolik yang
belum memanfaatkan media pembelajaran untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Guru Agama
Katolik lebih senang
menggunakan metode ceramah dan lemahnya kemampuan guru untuk menulis.
Kekurangan
guru yang mumpuni dan berdedikasi (spesialis) dalam jumlah yang amat besar di
sekolah merupakan salah satu pangkal rendahnya mutu pembelajaran di
sekolah/kualitas pendidikan. Dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan
disadari satu kebenaran fundamental, yakni bahwa kunci keberhasilan
mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang profesional, yang memiliki
kekuatan dan tanggung jawab yang baru untuk merencanakan pendidikan di masa
depan.
Pada
dasarnya peningkatan kualitas diri seseorang harus menjadi tanggung jawab diri
pribadi. Oleh karenanya usaha peningkatan kualitas guru terletak pada diri guru
sendiri. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran pada diri guru untuk senantiasa
dan secara terus menerus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan
guna peningkatan kualitas kerja sebagai pengajar profesional.
Kesadaran
ini akan timbul dan berkembang sejalan dengan kemungkinan pengembangan karir
mereka. Oleh karena itu pengembangan kualitas guru harus dikaitkan dengan
perkembangan karir guru sebagai pegawai, baik negeri maupun
swasta. Gambaran yang ideal adalah bahwa pendapatan dan karir, dalam hal ini
jenjang jabatan dan kepangkatan merupakan hasil dari peningkatan kualitas
seseorang selaku guru.
Guru
adalah profesi yang mempersiapkan sumber daya manusia untuk menyongsong
pembangunan bangsa dalam mengisi kemerdekaan. Guru dengan segala kemampuannya
dan daya upayanya mempersiapkan pembelajaran bagi peserta didiknya. Sehingga
tidak salah jika kita menempatkan guru sebagai salah satu kunci pembangunan
bangsa menjadi bangsa yang maju dimasa yang akan datang. Dapat dibayangkan jika
guru tidak menempatkan fungsi sebagaimana mestinya, bangsa dan negara ini akan
tertinggal dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian waktu tidak
terbendung lagi perkembangannya. Serangkaian
masalah yang meliputi dunia kependidikan dewasa ini masih perlu mendapat
perhatian dari semua pihak. Mulai dari kualitas tenaga pendidik yang belum
mencapai target hingga masalah kesejahteraan guru. Fakta di lapangan, permasalahan
jauh lebih kompleks dalam lingkungan pendidikan kita. Boleh
dikatakan tingkat kualitas dan kompetensi guru menjadi kendala utamanya, mulai
dari guru yang tidak memiliki kelayakan kompetensi untuk mengajar mata
pelajaran tertentu, hingga rendahnya tingkat profesionalisme guru itu sendiri.
Menyertai
kekurangan itu, yakni lemahnya kompetensi sebagian besar guru tampak nyata
dalam pelaksanaan tugas. Secara umum lemahnya sentuhan pedagogik serta didaktik
dan metodik merupakan indikasi ketidakselarasan kompetensi guru pada umumnya,
dan kurang memperoleh pelatihan-pelatihan tambahan. Senada
dengan hal di atas, Kepala Sekolah SMP Negeri Kateri Kabupaten Malaka Provinsi
Nusa Tenggara Timur mengatakan (dalam
wawancara pada Jumat Sore,09 Juni 2023), beliau mengatakan:
“Problematika
profesi guru yang paling menonjol muncul dari aspek pribadi guru itu sendiri.
Pertama dari kompetensi pedagogis, yaitu masih lemahnya kemampuan guru dalam mengelola
kelasnya dan pemanfaatan teknologi informasi (TI), walaupun sudah ada guru yang
memanfaatkan teknologi pembelajaran, namun disisi lain masih banyak juga yang
raguragu bahkan merasa takut kalau alat itu rusak karena
mereka salah menggunakan gaptek. Kedua rendahnya minat baca
guru, sehingga banyak regulasi di bidang pendidikan kebanyakan mereka
belum atau bahkan tidak mengetahuinya. Ketiga yang berhubungan dengan
kompetensi profesional, yakni kurang siapnya guru dalam menguasai materi
pelajaran (pengelolaan pembelajaran)”.
Lebih
lanjut Kepala Sekolah Negeri Kateri juga menambahkan apa yang menjadi
kekurangan guru, bahwa:
“Masih nampak sekali kelemahan guru mengalami
kemiskinan motivasi untuk mengembangkan diri (padahal hampir semua guru sudah
bersertifikat profesional). Untuk itu harus benar-benar didorong
untuk mengembangkan diri yang meliputi pada ranah nonfisik, cara pandang,
paradigma berfikir, sikap, kebiasaan, profesionalisme maupun perilaku dalam
mengajar. Faktor lain yang ikut menambah problem rendahnya kualitas guru kita
adalah minim bahkan tidak adanya dana untuk bisa mengikuti pelatihan-pelatihan
atau diklat-diklat fungsional mata pelajaran, apalagi di lingkup Sekolah Negeri
yang memiliki Guru Pendidikan Agama Katolik, karena kewewenangan untuk
mengadakan kegiatan tersebut berada pada kantor kementerian agama
kabupaten maupun kantor wilayah di tingkat provinsi”
Dan
pada kesempatan yang sama Kepala Sekolah SMP Negeri Kateri menambahkan pula
pendapatnya:
“Tidak sedikit para guru yang lebih senang
melaksanakan tugas sebagaimana yang biasa dilakukannya dari waktu ke waktu
(inovasi dalam pembelajaran kurang). Keadaan semacam ini menunjukkan
kecenderungan tingkah laku guru yang lebih mengarah kepada
mempertahankan cara-cara yang biasa dilakukannya dalam melaksanakan tugas
(bersifat konservatif), mengingat cara yang dipandang baru pada umumnya
menuntut berbagai perubahan dalam pola-pola kerja, kurang adanya dorongan untuk
meningkatkan kemampuan dan ada sebagian guru yang memiliki kepedulian rendah
terhadap berbagai perkembangan dan kemajuan terkini. Masih banyak yang beranggapan
bahwa semua kemajuan yang dicapai tidak memiliki arti baik bagi dirinya maupun
siswanya”.
Kegiatan
guru di dalam kelas meliputi dua hal pokok, yaitu mengajar dan mengelola kelas.
Kegiatan mengajar dimaksudkan secara langsung menggiatkan siswa mencapai
tujuan-tujuan seperti menelaah kebutuhan-kebutuhan siswa , menyusun rencana
pelajaran, menyajikan bahan pelajaran kepada siswa, mengajukan pertanyaan
kepada siswa, menilai kemajuan siswa. Sedangkan kegiatan mengelola kelas
bermaksud menciptakan dan mempertahankan suasana (kondisi) kelas agar kegiatan
mengajar itu dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
Guru
adalah orang yang kerjanya atau profesinya “mengajar”. Tugas guru yang pertama
adalah mengajar dan mendidik. Namun hal itu tidak cukup untuk mencapai tujuan
pendidikan di sekolah yang bersifat secara intelektual belaka. Karena itu guru
juga berurusan dengan tugas pembinaan dan sekaligus pembentukan watak
(karakter) yang erat kaitannya dengan sifat-sifat kepribadian peserta didik.
Tentang
kesiapan guru dalam proses KBM, Kepala Sekolah SMP Negeri Kateri menegaskan
(dalam wawancara pada Jumat Sore, 09 Juni 2023):
“Dari pemantauan yang sudah kami lakukan selama ini
baik insindental maupun supervisi terprogram, guru memiliki persiapan yang
cukup baik, walaupun masih ditemukan sisi kelemahan pada
saat aplikasi dan implementasi kurikulum dalam pembelajaran seperti materi
kurang dikuasai dengan baik, performa guru yang tidak maksimal, kurang inovasi
dan monoton serta kondisi kelas yang kurang terjaga”.
Guru
merupakan sosok yang sangat menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar
di sekolah. Guru yang berkualitas akan sangat mempengaruhi kualitas
pembelajaran di kelas. Peranan guru memiliki posisi sentral dalam proses
pembelajaran. Ada tiga factor yang mempengaruhi implementasi
kurikulum dalam hal ini keberhasilan guru dalam kegiatan proses belajar
mengajar, yaitu dukungan kepala sekolah, dukungan rekan sejawat guru, dan
dukungan dari dalam guru itu sendiri.
Dari
tiga faktor tersebut guru merupakan faktor penentu di samping faktor-faktor
lain. Keberhasilan implementasi kurikulum sangat ditentukan oleh guru karena
bagaimanapun baiknya suatu kurikulum maupun sarana pendidikan jika guru dan
komponen terkait tidak memahami dan melaksanakan tugas dan fungsi
secara baik, maka hasil implementasi kurikulum dianggap tidak memuaskan, hal
tersebut sesuai dengan apa yang disampikan Wakil Kepala Sekolah urusan kurikulum,dalam wawancara pada hari Sabtu
Pagi, 10 Juni 2023:
“Bahwa sesuai dengan kurikulum yang diterapkan di
SMP Negeri Kateri selalu mengikuti aturan pemerintah, baik dari Kementerian
Pendidikan Nasional yaitu untuk mata pelajaran umum termasuk
mapel UN, maupun dari Kemenag untuk mata pelajaran agama Katolik dan
Kristen karena dengan kurikulum tersebut
seorang guru bisa mengukur dirinya siap atau tidak untuk melaksanakan PBM,
bagaimana dia harus merancang pembelajaran, model dan metode apa yang
seharusnya diterapkan dalam setiap pembelajaran, bagaimana menyiapkan alat ukur untuk
melakukan evaluasi atau penilaian”.
Lebih
lanjut wakil Kepala Sekolah SMP Negeri Kateri juga menambahkan apa yang menjadi
kekurangan guru, yaitu:
“Sepanjang yang kami amati memang tidak semua guru
memiliki persepsi yang sama dalam persiapan mengajar. Sebagai contoh ada
sebagian guru sudah siap dengan perangkat pembelajaran dari awal tahun
pelajaran ditetapkan, ada pula yang hanya separo menyiapkan ada yang sampai
selesainya program semester belum siap pula
perangkat pembelajarannya, itu semua terpulang pada pribadi guru diukur dari
kompetensinya terhadap tugas yang diembannya. Sedangkan regulasi pendidikan
yang berlaku saat ini cukup banyak untuk diketahui dan dipahami oleh guru dalam
mendukung keprofesionalannya”.
Adapun
kebijakan sekolah yang dilakukan dalam membantu meningkatkan profesionalisme
guru, dan sejauh mana sarana prasarana mendukung kemajuan guru mencapai
profesionalismenya dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di MTs Negeri
Nguntoronadi, guru diberi keleluasaan untuk menuangkan ide dan gagasan serta
berperan dalam pengambilan keputusan. Guru berperan penting dalam proses
belajar mengajar dikelas. Guru yang profesional tentunya akan berusaha
meningkatkan prestasi siswanya dan hal itu berarti juga akan meningkatkan mutu
sekolah, namun tetap saja kendala dan hambatan itu selalu menyertai dalam
pelaksanaan tugas, sebagaimana Wakil Kepala
Sekolah SMP Negeri Kateri menjelaskan halnya sebagai berikut:
“Dalam pelaksanaan proses pembelajaran di Sekolah
SMP Negeri Kateri tentu saja tidak serta merta berjalan mulus tanpa ada
kendala, dalam proses pelaksanaan pembelajaran masih ada sebagaian guru yang
sampai satu semester belum melengkapi administrasi pembelajaran, atau administrasi
pendukung KBM di kelas tidak tepat waktu distribusinya dari kantor ke bagian
pengajaran atau ke guru, artinya masalah itu pasti muncul bersamaan dengan
berjalannya proses KBM, atau terbatasnya sarana prasarana yang
mendukung pembelajaran, walaupun demikian semua guru tetap selalu mendukung
pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan bagi anak didik dan saling membantu
dan bekerjasama meskipun dalam keterbatasan dalam rangka untuk mewujudkan
peningkatan mutu sekolah”.
Mutu
pendidikan nasional yang belum optimal, menjadi penyebab mutu guru yang rendah.
Selain faktor di atas ada faktor lain yang juga ikut menyebabkan problematika
profesi guru/rendahnya profesionalisme guru, antara lain: (1) masih banyak guru
yang belum menekuni profesinya secara total; (2) belum optimalnya standar
profesional guru sebagaimana tuntutan di negara maju; (3) masih adanya
perguruan tinggi sebagai pencetak guru lulusannya asal jadi tanpa
memperhitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru
yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) Belum optimalnya motivasi
guru dalam meningkatkan kualitas diri.
Oleh
karenanya, untuk mendapatkan karyawan yang dedikatif menjadi prasyarat dan
target utama pengembangan SDM. Mendapat guru yang mumpuni dan karyawan
berdedikasi memerlukan kerja yang dedikatif. Antara pelatihan dan pengembangan
SDM itu bagaikan “mur” dan “baut”. Adapun secara program pengembangan SDM
lembaga pendidikan Islam, diarahkan pada optimalisasi penanganan: 1)
kesejahteraan guru, 2) pendidikan prajabatan calon guru, 3) rekrutmen dan
penugasan guru, 4) peningkatan mutu guru, dan 5) pengembangan karier guru.
Jelaslah
bahwa untuk mencapai kualitas pendidikan dan pembelajaran di sekolah, guru
harus dikelola secara baik dan peran kepala sekolah dalam hal ini sangatlah
penting. Pengelolaan guru merupakan bagian dari pengelolaan SDM di sekolah yang
bersangkutan. Namun pengelolaan terhadap karyawan sekolah yang juga merupakan
SDM sekolah berbeda dengan pengelolaan guru. Pengelolaan guru lebih difokuskan
pada kompetensi mendidik dan membelajarkan siswa.
Berdasarkan
gambaran umum tersebut, menunjukkan bahwa SMP Negeri Kateri merupakan lembaga
pendidikan yang diproyeksikan akan membentuk generasi muda yang unggul,
memiliki aklak dan iman yang kuat dan meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut, serta berwawasan luas ke depan
sebagaimana visi, misi, tujuan dan target sekolah yang diharapkan.
Dari
hasil wawancara dan observasi di lingkungan SMP Negeri Kateri didapati bahwa kegagalan seorang guru mencapai
tujuan pembelajaran berbanding lurus dengan ketidakmampuan guru mengelola
kelas. Indikator dari kegagalan itu seperti prestasi
belajar murid rendah, tidak sesuai dengan standar atau batas ukuran yang
ditentukan. Karena itu, pengelolaan kelas merupakan kompetensi guru yang sangat
penting, artinya bahwa suatu kondisi belajar yang optimal dapat tercapai jika
guru mampu mengatur murid dan sarana pembelajaran serta mengendalikannya dalam
suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran. Hal ini berarti
setiap guru dituntut secara profesional mengelola kelas sehingga terciptanya
suasana kelas yang kondusif guna menunjang proses pembelajaran
yang optimal menuntut kemampuan guru untuk mengetahui, memahami, memilih, dan
menerapkan pendekatan yang dinilai efektif menciptakan suasana kelas yang
kondusif.
Peran guru di sini ibarat seorang pelatih
sepak bola yang dipercayai secara penuh oleh anak asuhnya untuk meracik formasi
pemain. Selain itu, ia menentukan pola permainan yang tepat sesuai dengan
karakter kesebelasannya agar mampu meraih kemenangan di akhir pertandingan.
Selanjutnya, diantara karakter generasi milenial yang khas dan harus dipahami
pendidik adalah kegandrungan dengan gawai pintar dan berselancar di
dalamnya.Selanjutnya generasi masa kini tidak menyukai komunikasi satu arah,
kurang menyukai bacaan konvensional seperti buku, serta lebih tahu dan mahir
teknologi dibandingkan orangtua termasuk gurunya.Guru zaman now (termasuk Guru
Pendidikan Agama Katolik ) harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman
untuk menjaga marwah kedaulatan seorang guru.
Profil
guru era milenial termasuk Guru Pendidikan Agama Katolik dapat digambarkan
sebagai berikut:
Pertama, melek digital. Hadirnya guru di dalam kelas
bersama laptop akan memberi angin segar bagi siswa. Bukan tanpa alasan, karena
umumnya ada pembelajaran menarik yang akan disajikan oleh sang guru, misalnya
media power point dan video. Urgensinya adalah guru harus memiliki kemampuan
menggunakan alat-alat digital, dan kecakapan perilaku dalam memanfaatkan
kecanggihan teknologi. Kemampuan mengoperasikan komputer menjadi keharusan.
Justifikasinya adalah memudahkan guru dalam menjalankan tugas dan fungsi
profesinya, misalnya penyusunan Rancangan Pelaksanan Pembelajaran (RPP) dan
pengolahan nilai. Keterampilan digital lainnya adalah menjelajahi dunia maya
dan akses surat elektronik.
Kedua, memanfaatkan gawai pintar sebagai sumber belajar
dan komunikasi pembelajaran. Misalnya media sosial. Guru juga seyogyanya
menggunakan media sosial supaya tidak dianggap ketinggalan. Tujuannya untuk
menjalin komunikasi yang efektif terkait pembelajaran atau konseling di luar
dunia nyata.
Ketiga, menyuguhkan pembelajaran yang menyenangkan
dan penuh makna (joyful and meaningful).
Siswa generasi zaman now tidak layak disuguhi metode ceramah. Paradigma
pembelajaran masa kini harus memberikan keleluasaan kepada siswa untuk berperan
aktif.
Keempat, guru harus menjadi role model. Generasi digital
identik pula dengan pandangan rasional. Apa yang dilihat, didengar dan
dirasakan akan melahirkan persepsi. Membentuk persepsi yang baik sangat penting
ditunjukkan oleh guru melalui keteladanan. Jika ada guru yang menunjukkan
kesenjangan antara kata dan perbuatan, maka hal tersebut akan menyebabkan
lunturnya loyalitas pembelajaran sang siswa.
Kelima, guru sebagai pembelajar sepanjang hayat. Guru
harus terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan teknik mengajarnya. Seorang
guru harus memaksimalkan gawai pintar untuk mengakses informasi
sebanyak-banyaknya agar tidak kalah tahu dibandingkan dengan siswanya, misalnya
mendownload aplikasi-aplikasitertentu yang penting bagi seorang guru.Pada
muaranya, profil guru yang memiliki kapasitas mumpuni diharapkan mampu
menghadapi tantangan generasi milenial sehingga melahirkan generasi yang cerdas
dan berkarakter.