PROBLEMATIKA PROFESI GURU PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN SOLUSINYA BAGI PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

PROBLEMATIKA PROFESI GURU PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN SOLUSINYA BAGI PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat umum mengenal dan mengakui bahwa guru merupakan orang yang memiliki kharisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. Mengutip pendapat Laurence D. Hazkew dan Jonathan C. Mc Lendon1 “Teacher is profesional person who conducts classes” (Guru adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dalam menata dan mengelola kelas). Sedangkan bagi Jean D. Grambs dan C Morris Mc Clare2 “Teachers are those person who consciously direct the experiences and behaviour of an individual so that education take place” (Guru adalah mereka yang secara sadar mengarahkan pengalaman dan tingkah laku dari seorang individu hingga dapat terjadi pendidikan). Jadi guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merangsang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.

Kecuali itu, kematangan seseorang guru dalam mengemban profesi keguruan juga ditentukan oleh faktor pengalaman mengajar dan lamanya mengajar. Artinya setelah sekian lama mengarungi profesi keguruan yang diembannya membuat yang bersangkutan tahu dan paham tentang kapasitasnya sebagai seorang guru sehingga memungkinkan yang bersangkutan semakin dewasa dan mandiri di dalam berpikir, bertutur dan bertindak dalam kerangkah profesinya. Hal ini terjadi karena dia tahu dan paham betul pekerjaan yang telah digelutinya.

Panorama dari gambaran guru yang ideal ini sudah dapat diduga akan berpengaruh positip pada proses pengelolaan pendidikan yang mampu melahirkan lulusan bermutu yang dibuktikan dengan hasil langsung pendidikan berupa nilai yang dicapai siswa dan dapat juga dilihat dari dampak pengiring, yaitu peserta didik setelah bertugas di tengah masyarakat.

Penyelenggaraan pendidikan pada era global ini menuntut mutu sumber daya guru. Tugas guru adalah mengembangkan wawasan keilmuan dan membentuk sikap, nilai serta kematangan kepribadian peserta didik. Dalam konteks ini, seorang guru perlu diberikan keleluasaan dalam mengembangkan kemampuan para siswanya melalui pemahaman, keaktifan, pembelajaran sesuai kemajuan zaman dengan mengembangkan keterampilan hidup agar siswa memiliki sikap kemandirian, perilaku adaptif, koperatif dan kompetitif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan sehari-hari. Seorang guru harus dapat menjalankan tugasnya secara profesional dalam mengembangkan pembelajaran yang interaktif, dialogis, menarik, efektif dan menyenangkan bagi peserta didik.

Jika dihubungkan dengan kondisi riil di lapangan, berbicara tentang kompetensi dan profesionalisme guru ini masih dihadapi banyak persoalan. Menurut Payong (2016: 16) dalam penelitiannya pada tahun 2014, sejumlah persoalan guru meliputi: (1) para guru belum siap menerapkan inovasi pembelajaran, mereka cenderung kembali kepada pola- pola pembelajaran konvensional, (2) Program peningkatan kualifikasi dan sertifikasi guru tidak berdampak secara langsung terhadap peningkatan prestasi siswa, (3) Program pengembangan keprofesian berkelanjutan tidak dilihat sebagai program strategis yang memiliki nilai tambah pada pengayaan wawasan dan keterampilan guru, (4) Guru terlibat politik praktis dalam pilkada langsung yang berpengaruh pada kinerjanya dalam pembelajaran dan hubungan dengan teman sejawat, (5) Guru terjebak dalam pola pikir birokrasi dalam menerapkan kurikulum dan (6) Dorongan dan kemauan untuk belajar dan mengembangkan diri belum diutamakan oleh guru-guru yang telah disertifikasi.

Dari keempat kompetensi yang harus dimiliki guru, dua di antaranya dinilai masih menjadi problem serius dan krusial di kalangan guru, yakni kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Dari aspek kompetensi pedagogik, misalnya, guru dinilai belum mampu mengelola pembelajaran secara maksimal, baik dalam hal pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, maupun pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Dari aspek kompetensi profesional, banyak guru yang dianggap masih gagap dalam menguasai materi ajar secara luas dan mendalam sehingga gagal menyajikan kegiatan pembelajaran yang bermakna dan bermanfaat bagi siswa.

Hal ini dipertegas lagi jika harus merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Akademik dan Kompetensi, maka rendahnya penguasaan guru atas kompetensi pedagogik mengungkapkan bahwa guru tidak cukup kompeten atas sejumlah subkompetensi berikut: (1) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional dan intelektual; (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik; (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang yang diampu; (4) menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik; (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran; (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki; (7) berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan peserta didik; (8) menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; (9) memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran; dan (10) melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Di pihak lain, rendahnya penguasaan guru atas kompetensi profesional mengungkapakan bahwa guru masih lemah dan tidak cukup kompeten atas sejumlah subkompetensi berikut: (1) menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu; (2) menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang ilmu yang diampu; (3) mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif; (4) mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif; dan (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri (Departemen Pendidikan Nasional, 2008).

Kita sudah cukup akrab dengan istilah generasi milenial. Dari generasi milenial, berkembang istilah-istilah lain: mahasiswa milenial, guru milenial dan seterusnya. Apa sesungguhnya generasi milenial itu? Rahman (Online, 2017) menjelaskan konsep generasi milenial sebagai generasi yang dilahirkan pada kisaran tahun 1980-2000, generasi masa kini yang berusia 15-34 tahun. Esensinya, generasi milenial merupakan generasi yang lahir dan hidup di era digital yang memanfaatkan media informasi dan teknologi dalam kehidupannya. Seorang guru harus memahami karakter generasi digital. Hal ini sangat penting agar guru mampu memposisikan diri sebagi pendidik yang dipandang ideal dimata siswanya, profil guru yang mendapatkan kepercayaan untuk memberikan taktik dan strategi pembelajaran yang berdaya guna.

Problematika guru Pendidikan Agama Katolik merupakan salah satu dari sekian banyak masalah pendidikan yang harus mendapatkan perhatian besar. Guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Peran seorang guru yaitu baik sebagai pendidik, model, pengajar, dan pembimbing. Oleh karena itu, tidak heran jika guru menjadi factor penentu keberhasilan pendidikan siswa. Amanat undang-undang guru dan dosen (UUGD) Pasal 20, di antara tugas profesional guru adalah merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Selain itu, meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Belum lagi dalam pemenuhan empat kompetensi (kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional), yang harus dipenuhi seorang guru profesional.

Bahwa dalam pembelajaran guru Pendidikan Agama Katolik harus secara sadar menguasai kurikulum sebagai acuannya untuk melaksanakan proses belajar mengajar (PBM) dan evaluasi. Secara sederhana kurikulum menggambarkan pada isi atau pelajaran dan pola interaksi belajar mengajar antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karenanya guru secara lebih khusus dituntut menguasai kompetensi profesional antara lain: mampu mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan, yang meliputi: a) memahami standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK-KD), b) mengembangkan silabus, c) menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), d) melaksanakan pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik, e) menilai hasil belajar, dan f) menilai dan memperbaiki kurikulum sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan perkembangan zaman.

Dalam memenuhi tugas keprofesionalannya, setidaknya masih ada masalah besar yang dialami guru Pendidikan Agama Katolik yakni, dalam melaksanakan pembelajaran yang bermutu masih jauh dari harapan. Seringkali guru Pendidikan Agama Katolik puas dengan apa yang dilakukan selama ini. Belum lagi masih banyak guru Pendidikan Agama Katolik yang belum memanfaatkan media pembelajaran untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Guru Agama Katolik lebih senang menggunakan metode ceramah dan lemahnya kemampuan guru untuk menulis.

Kekurangan guru yang mumpuni dan berdedikasi (spesialis) dalam jumlah yang amat besar di sekolah merupakan salah satu pangkal rendahnya mutu pembelajaran di sekolah/kualitas pendidikan. Dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan disadari satu kebenaran fundamental, yakni bahwa kunci keberhasilan mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang profesional, yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab yang baru untuk merencanakan pendidikan di masa depan.

Pada dasarnya peningkatan kualitas diri seseorang harus menjadi tanggung jawab diri pribadi. Oleh karenanya usaha peningkatan kualitas guru terletak pada diri guru sendiri. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran pada diri guru untuk senantiasa dan secara terus menerus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan guna peningkatan kualitas kerja sebagai pengajar profesional.

Kesadaran ini akan timbul dan berkembang sejalan dengan kemungkinan pengembangan karir mereka. Oleh karena itu pengembangan kualitas guru harus dikaitkan dengan perkembangan karir guru sebagai pegawai, baik negeri maupun swasta. Gambaran yang ideal adalah bahwa pendapatan dan karir, dalam hal ini jenjang jabatan dan kepangkatan merupakan hasil dari peningkatan kualitas seseorang selaku guru.

Guru adalah profesi yang mempersiapkan sumber daya manusia untuk menyongsong pembangunan bangsa dalam mengisi kemerdekaan. Guru dengan segala kemampuannya dan daya upayanya mempersiapkan pembelajaran bagi peserta didiknya. Sehingga tidak salah jika kita menempatkan guru sebagai salah satu kunci pembangunan bangsa menjadi bangsa yang maju dimasa yang akan datang. Dapat dibayangkan jika guru tidak menempatkan fungsi sebagaimana mestinya, bangsa dan negara ini akan tertinggal dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian waktu tidak terbendung lagi perkembangannya. Serangkaian masalah yang meliputi dunia kependidikan dewasa ini masih perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Mulai dari kualitas tenaga pendidik yang belum mencapai target hingga masalah kesejahteraan guru. Fakta di lapangan, permasalahan jauh lebih kompleks dalam lingkungan pendidikan kita. Boleh dikatakan tingkat kualitas dan kompetensi guru menjadi kendala utamanya, mulai dari guru yang tidak memiliki kelayakan kompetensi untuk mengajar mata pelajaran tertentu, hingga rendahnya tingkat profesionalisme guru itu sendiri.

Menyertai kekurangan itu, yakni lemahnya kompetensi sebagian besar guru tampak nyata dalam pelaksanaan tugas. Secara umum lemahnya sentuhan pedagogik serta didaktik dan metodik merupakan indikasi ketidakselarasan kompetensi guru pada umumnya, dan kurang memperoleh pelatihan-pelatihan tambahan. Senada dengan hal di atas, Kepala Sekolah SMP Negeri Kateri Kabupaten Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur  mengatakan (dalam wawancara pada Jumat Sore,09 Juni 2023), beliau mengatakan:

Problematika profesi guru yang paling menonjol muncul dari aspek pribadi guru itu sendiri. Pertama dari kompetensi pedagogis, yaitu masih lemahnya kemampuan guru dalam mengelola kelasnya dan pemanfaatan teknologi informasi (TI), walaupun sudah ada guru yang memanfaatkan teknologi pembelajaran, namun disisi lain masih banyak juga yang raguragu bahkan merasa takut kalau alat itu rusak karena mereka salah menggunakan gaptek. Kedua rendahnya minat baca guru, sehingga banyak regulasi di bidang pendidikan kebanyakan mereka belum atau bahkan tidak mengetahuinya. Ketiga yang berhubungan dengan kompetensi profesional, yakni kurang siapnya guru dalam menguasai materi pelajaran (pengelolaan pembelajaran)”.

Lebih lanjut Kepala Sekolah Negeri Kateri juga menambahkan apa yang menjadi kekurangan guru, bahwa:

“Masih nampak sekali kelemahan guru mengalami kemiskinan motivasi untuk mengembangkan diri (padahal hampir semua guru sudah bersertifikat profesional). Untuk itu harus benar-benar didorong untuk mengembangkan diri yang meliputi pada ranah nonfisik, cara pandang, paradigma berfikir, sikap, kebiasaan, profesionalisme maupun perilaku dalam mengajar. Faktor lain yang ikut menambah problem rendahnya kualitas guru kita adalah minim bahkan tidak adanya dana untuk bisa mengikuti pelatihan-pelatihan atau diklat-diklat fungsional mata pelajaran, apalagi di lingkup Sekolah Negeri yang memiliki Guru Pendidikan Agama Katolik, karena kewewenangan untuk mengadakan kegiatan tersebut berada pada kantor kementerian agama kabupaten maupun kantor wilayah di tingkat provinsi”

Dan pada kesempatan yang sama Kepala Sekolah SMP Negeri Kateri  menambahkan pula pendapatnya:

“Tidak sedikit para guru yang lebih senang melaksanakan tugas sebagaimana yang biasa dilakukannya dari waktu ke waktu (inovasi dalam pembelajaran kurang). Keadaan semacam ini menunjukkan kecenderungan tingkah laku guru yang lebih mengarah kepada mempertahankan cara-cara yang biasa dilakukannya dalam melaksanakan tugas (bersifat konservatif), mengingat cara yang dipandang baru pada umumnya menuntut berbagai perubahan dalam pola-pola kerja, kurang adanya dorongan untuk meningkatkan kemampuan dan ada sebagian guru yang memiliki kepedulian rendah terhadap berbagai perkembangan dan kemajuan terkini. Masih banyak yang beranggapan bahwa semua kemajuan yang dicapai tidak memiliki arti baik bagi dirinya maupun siswanya”.

Kegiatan guru di dalam kelas meliputi dua hal pokok, yaitu mengajar dan mengelola kelas. Kegiatan mengajar dimaksudkan secara langsung menggiatkan siswa mencapai tujuan-tujuan seperti menelaah kebutuhan-kebutuhan siswa , menyusun rencana pelajaran, menyajikan bahan pelajaran kepada siswa, mengajukan pertanyaan kepada siswa, menilai kemajuan siswa. Sedangkan kegiatan mengelola kelas bermaksud menciptakan dan mempertahankan suasana (kondisi) kelas agar kegiatan mengajar itu dapat berlangsung secara efektif dan efisien.

Guru adalah orang yang kerjanya atau profesinya “mengajar”. Tugas guru yang pertama adalah mengajar dan mendidik. Namun hal itu tidak cukup untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah yang bersifat secara intelektual belaka. Karena itu guru juga berurusan dengan tugas pembinaan dan sekaligus pembentukan watak (karakter) yang erat kaitannya dengan sifat-sifat kepribadian peserta didik.

Tentang kesiapan guru dalam proses KBM, Kepala Sekolah SMP Negeri Kateri menegaskan (dalam wawancara pada Jumat Sore, 09 Juni 2023):

“Dari pemantauan yang sudah kami lakukan selama ini baik insindental maupun supervisi terprogram, guru memiliki persiapan yang cukup baik, walaupun masih ditemukan sisi kelemahan pada saat aplikasi dan implementasi kurikulum dalam pembelajaran seperti materi kurang dikuasai dengan baik, performa guru yang tidak maksimal, kurang inovasi dan monoton serta kondisi kelas yang kurang terjaga”.

Guru merupakan sosok yang sangat menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Guru yang berkualitas akan sangat mempengaruhi kualitas pembelajaran di kelas. Peranan guru memiliki posisi sentral dalam proses pembelajaran. Ada tiga factor yang mempengaruhi implementasi kurikulum dalam hal ini keberhasilan guru dalam kegiatan proses belajar mengajar, yaitu dukungan kepala sekolah, dukungan rekan sejawat guru, dan dukungan dari dalam guru itu sendiri.

Dari tiga faktor tersebut guru merupakan faktor penentu di samping faktor-faktor lain. Keberhasilan implementasi kurikulum sangat ditentukan oleh guru karena bagaimanapun baiknya suatu kurikulum maupun sarana pendidikan jika guru dan komponen terkait tidak memahami dan melaksanakan tugas dan fungsi secara baik, maka hasil implementasi kurikulum dianggap tidak memuaskan, hal tersebut sesuai dengan apa yang disampikan Wakil Kepala Sekolah urusan kurikulum,dalam wawancara pada hari Sabtu Pagi, 10 Juni 2023:

“Bahwa sesuai dengan kurikulum yang diterapkan di SMP Negeri Kateri selalu mengikuti aturan pemerintah, baik dari Kementerian Pendidikan Nasional yaitu untuk mata pelajaran umum termasuk mapel UN, maupun dari Kemenag untuk mata pelajaran agama Katolik dan Kristen  karena dengan kurikulum tersebut seorang guru bisa mengukur dirinya siap atau tidak untuk melaksanakan PBM, bagaimana dia harus merancang pembelajaran, model dan metode apa yang seharusnya diterapkan dalam setiap pembelajaran, bagaimana menyiapkan alat ukur untuk melakukan evaluasi atau penilaian”.

Lebih lanjut wakil Kepala Sekolah SMP Negeri Kateri juga menambahkan apa yang menjadi kekurangan guru, yaitu:

“Sepanjang yang kami amati memang tidak semua guru memiliki persepsi yang sama dalam persiapan mengajar. Sebagai contoh ada sebagian guru sudah siap dengan perangkat pembelajaran dari awal tahun pelajaran ditetapkan, ada pula yang hanya separo menyiapkan ada yang sampai selesainya program semester belum siap pula perangkat pembelajarannya, itu semua terpulang pada pribadi guru diukur dari kompetensinya terhadap tugas yang diembannya. Sedangkan regulasi pendidikan yang berlaku saat ini cukup banyak untuk diketahui dan dipahami oleh guru dalam mendukung keprofesionalannya”.

Adapun kebijakan sekolah yang dilakukan dalam membantu meningkatkan profesionalisme guru, dan sejauh mana sarana prasarana mendukung kemajuan guru mencapai profesionalismenya dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di MTs Negeri Nguntoronadi, guru diberi keleluasaan untuk menuangkan ide dan gagasan serta berperan dalam pengambilan keputusan. Guru berperan penting dalam proses belajar mengajar dikelas. Guru yang profesional tentunya akan berusaha meningkatkan prestasi siswanya dan hal itu berarti juga akan meningkatkan mutu sekolah, namun tetap saja kendala dan hambatan itu selalu menyertai dalam pelaksanaan tugas, sebagaimana Wakil Kepala Sekolah SMP Negeri Kateri menjelaskan halnya sebagai berikut:

“Dalam pelaksanaan proses pembelajaran di Sekolah SMP Negeri Kateri tentu saja tidak serta merta berjalan mulus tanpa ada kendala, dalam proses pelaksanaan pembelajaran masih ada sebagaian guru yang sampai satu semester belum melengkapi administrasi pembelajaran, atau administrasi pendukung KBM di kelas tidak tepat waktu distribusinya dari kantor ke bagian pengajaran atau ke guru, artinya masalah itu pasti muncul bersamaan dengan berjalannya proses KBM, atau terbatasnya sarana prasarana yang mendukung pembelajaran, walaupun demikian semua guru tetap selalu mendukung pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan bagi anak didik dan saling membantu dan bekerjasama meskipun dalam keterbatasan dalam rangka untuk mewujudkan peningkatan mutu sekolah”.

Mutu pendidikan nasional yang belum optimal, menjadi penyebab mutu guru yang rendah. Selain faktor di atas ada faktor lain yang juga ikut menyebabkan problematika profesi guru/rendahnya profesionalisme guru, antara lain: (1) masih banyak guru yang belum menekuni profesinya secara total; (2) belum optimalnya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara maju; (3) masih adanya perguruan tinggi sebagai pencetak guru lulusannya asal jadi tanpa memperhitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) Belum optimalnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri.

Oleh karenanya, untuk mendapatkan karyawan yang dedikatif menjadi prasyarat dan target utama pengembangan SDM. Mendapat guru yang mumpuni dan karyawan berdedikasi memerlukan kerja yang dedikatif. Antara pelatihan dan pengembangan SDM itu bagaikan “mur” dan “baut”. Adapun secara program pengembangan SDM lembaga pendidikan Islam, diarahkan pada optimalisasi penanganan: 1) kesejahteraan guru, 2) pendidikan prajabatan calon guru, 3) rekrutmen dan penugasan guru, 4) peningkatan mutu guru, dan 5) pengembangan karier guru.

Jelaslah bahwa untuk mencapai kualitas pendidikan dan pembelajaran di sekolah, guru harus dikelola secara baik dan peran kepala sekolah dalam hal ini sangatlah penting. Pengelolaan guru merupakan bagian dari pengelolaan SDM di sekolah yang bersangkutan. Namun pengelolaan terhadap karyawan sekolah yang juga merupakan SDM sekolah berbeda dengan pengelolaan guru. Pengelolaan guru lebih difokuskan pada kompetensi mendidik dan membelajarkan siswa.

Berdasarkan gambaran umum tersebut, menunjukkan bahwa SMP Negeri Kateri merupakan lembaga pendidikan yang diproyeksikan akan membentuk generasi muda yang unggul, memiliki aklak dan iman yang kuat dan meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut, serta berwawasan luas ke depan sebagaimana visi, misi, tujuan dan target sekolah yang diharapkan.

Dari hasil wawancara dan observasi di lingkungan SMP Negeri Kateri didapati bahwa kegagalan seorang guru mencapai tujuan pembelajaran berbanding lurus dengan ketidakmampuan guru mengelola kelas. Indikator dari kegagalan itu seperti prestasi belajar murid rendah, tidak sesuai dengan standar atau batas ukuran yang ditentukan. Karena itu, pengelolaan kelas merupakan kompetensi guru yang sangat penting, artinya bahwa suatu kondisi belajar yang optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur murid dan sarana pembelajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran. Hal ini berarti setiap guru dituntut secara profesional mengelola kelas sehingga terciptanya suasana kelas yang kondusif guna menunjang proses pembelajaran yang optimal menuntut kemampuan guru untuk mengetahui, memahami, memilih, dan menerapkan pendekatan yang dinilai efektif menciptakan suasana kelas yang kondusif.

 Peran guru di sini ibarat seorang pelatih sepak bola yang dipercayai secara penuh oleh anak asuhnya untuk meracik formasi pemain. Selain itu, ia menentukan pola permainan yang tepat sesuai dengan karakter kesebelasannya agar mampu meraih kemenangan di akhir pertandingan. Selanjutnya, diantara karakter generasi milenial yang khas dan harus dipahami pendidik adalah kegandrungan dengan gawai pintar dan berselancar di dalamnya.Selanjutnya generasi masa kini tidak menyukai komunikasi satu arah, kurang menyukai bacaan konvensional seperti buku, serta lebih tahu dan mahir teknologi dibandingkan orangtua termasuk gurunya.Guru zaman now (termasuk Guru Pendidikan Agama Katolik ) harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman untuk menjaga marwah kedaulatan seorang guru.

Profil guru era milenial termasuk Guru Pendidikan Agama Katolik dapat digambarkan sebagai berikut:

 Pertama, melek digital. Hadirnya guru di dalam kelas bersama laptop akan memberi angin segar bagi siswa. Bukan tanpa alasan, karena umumnya ada pembelajaran menarik yang akan disajikan oleh sang guru, misalnya media power point dan video. Urgensinya adalah guru harus memiliki kemampuan menggunakan alat-alat digital, dan kecakapan perilaku dalam memanfaatkan kecanggihan teknologi. Kemampuan mengoperasikan komputer menjadi keharusan. Justifikasinya adalah memudahkan guru dalam menjalankan tugas dan fungsi profesinya, misalnya penyusunan Rancangan Pelaksanan Pembelajaran (RPP) dan pengolahan nilai. Keterampilan digital lainnya adalah menjelajahi dunia maya dan akses surat elektronik.

 Kedua, memanfaatkan gawai pintar sebagai sumber belajar dan komunikasi pembelajaran. Misalnya media sosial. Guru juga seyogyanya menggunakan media sosial supaya tidak dianggap ketinggalan. Tujuannya untuk menjalin komunikasi yang efektif terkait pembelajaran atau konseling di luar dunia nyata.

 Ketiga, menyuguhkan pembelajaran yang menyenangkan dan  penuh makna (joyful and meaningful). Siswa generasi zaman now tidak layak disuguhi metode ceramah. Paradigma pembelajaran masa kini harus memberikan keleluasaan kepada siswa untuk berperan aktif.

 Keempat, guru harus menjadi role model. Generasi digital identik pula dengan pandangan rasional. Apa yang dilihat, didengar dan dirasakan akan melahirkan persepsi. Membentuk persepsi yang baik sangat penting ditunjukkan oleh guru melalui keteladanan. Jika ada guru yang menunjukkan kesenjangan antara kata dan perbuatan, maka hal tersebut akan menyebabkan lunturnya loyalitas pembelajaran sang siswa.

 Kelima, guru sebagai pembelajar sepanjang hayat. Guru harus terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan teknik mengajarnya. Seorang guru harus memaksimalkan gawai pintar untuk mengakses informasi sebanyak-banyaknya agar tidak kalah tahu dibandingkan dengan siswanya, misalnya mendownload aplikasi-aplikasitertentu yang penting bagi seorang guru.Pada muaranya, profil guru yang memiliki kapasitas mumpuni diharapkan mampu menghadapi tantangan generasi milenial sehingga melahirkan generasi yang cerdas dan berkarakter.



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama