PROFESI GURU PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (PAKat) DI ERA MILENIAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH

PROFESI GURU PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (PAKat) DI ERA MILENIAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Menjadi guru pada era milenial harus memiliki kapasitas yang mumpuni untuk memenuhi tuntutan generasi milenal. Salah satunya harus melek teknologi. Ia ditantang untuk hadir sebagai pribadi yang dapat beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan zaman dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin mutakhir. Dengan begitu seorang guru diharapkan semakin kompeten dan menjawabi tuntutan zaman. Seorang guru tidak boleh merasa “cukup” dengan pengetahuan yang sudah diperoleh. Dengan bantuan sarana-sarana teknologi yang ada, ia mestinya terdorong untuk memiliki di dalam dirinya apa yang disebut dengan kepenasaranan intelektual/intellectual curiousity(Koesoema, 2015: 189). Kepenasaranan intelektual maksudnya adalah sikap dan tindakan seseorang (guru) yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang sudah dipelajari, dilihat dan didengarnya. Dengan memiliki spirit seperti itu, seorang guru diharapkan menjadi pribadi yang semakin kompeten dalam bidang yang digelutinya dan pada gilirannya dapat berkompetisi di dunia kerja.

 Haruslah disadari bahwa guru merupakan aktor utama perubahan dalam masyarakat. Sebagai aktor utama, ia berperan penting dalam mencetak kader-kader masa depan yang akan mewarnai peradaban manusia (Kotten, 2012:18). Mengingat pentingnya peran tersebut, seorang guru dituntut untuk memiliki sumber daya manusia yang memadai. Sumber daya manusia seorang guru yang memadai itu tercermin dalam kompetensi yang harus dimilikinya sesuai dengan tuntutan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kompetensi yang dimaksudkan dimaknai sebagai perangkat, perilaku yang efektif, sehingga dapat mengarahkan seseorang menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien, dan dapatdipertanggungjawabkan (Mas, 2012: 2). Dengan memiliki kompetensi tertentu, seorang guru diharapkan dapat menjalankan profesi keguruannya secara benar sehingga mendatangkan manfaat besar bagi siswa yang dipercayakan kepadanya.

 Demikian pun seorang Guru Pendidikan Agama Katolik. Guru Pendidikan Agama Katolik dituntut agar memiliki sejumlah kompetensi di dalam dirinya. Guru Pendidikan Agama Katolik yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga tujuan pembelajaran berada padatingkat optimal. Secara khusus kompetensi Guru Pendidikan Agama Katolik,teristimewa di era milenialini amat menentukan bagi peningkatakan motivasi belajar siswa di kelas.

 Motivasi belajar yang tinggi mendorong siswa untuk lebih aktif dalambelajar dan pada gilirannya dapat meningkatkan prestasi belajar di kelas.Motivasi dalam hal ini pertama-tama adalah bagian dari faktor internaldan merupakan unsur psikologis dalamhubungannya dengan kegiatanpembelajaran. Karena itu motivasi memiliki peranan yang sangat penting.Seorang siswa, akan berhasil dalam belajar kalau ada dorongan yang kuatpada dirinya. Dorongan inilah yang disebut motivasi. Motivasi dalam hal inimeliputi dua unsur berikut ini, yakni mengetahui apa yang akan dipelajari dan juga memahami mengapa hal tersebut patut dipelajari. Berpijak padakedua unsur motivasi ini menjadi dasar permulaan yang baik untuk belajar.Dikatakan demikian, karena tanpa motivasi peserta didik tidak akan mengertiapa yang akan dipelajari dan tidak memahami mengapa dan untuk apa hal itu dipelajari.

 Ada banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa peran guru yang kompeten sangat menentukan tinggi rendahnya motivasi belajar siswa.Misalnya, penelitian yang dilakukan Mas (2012: 6) menyimpulkan bahwa guruyang memilki kompetensi personal dan profesional dalam proses belajarmengajar memiliki kontribusi terhadap tinggi rendahnya motivasi belajarpada siswa. Semakin optimal kompetensi personal dan profesional seorang guru,semakin tinggi pula motivasi belajar siswa. Sebaliknya, semakin minimal kompetensi personal dan profesional seorang guru, semakin rendah pula motivasi belajar siswa. Selain itu, Haqi (2015) melakukan sebuah penelitian tentang hubungan antara komunikasi guru dengan motivasi belajar siswa. Penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi guru dengan motivasi belajar siswa. Semakin intensif dan positif komunikasi antara guru dengan siswa dalam proses belajar mengajar, maka semakin baik pula motivasi belajar siswa. Sebaliknya, semakin buruk atau rendah komunikasi antara guru dengan siswa dalam proses belajar mengajar, maka semakin rendah pula motivasi belajar siswa.

 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peran seorang guru(termasuk Guru Pendidikan Agama Katolik ) sangat penting di dalam menumbuhkan motivasi belajar pada siswa, pada tingkat mana pun. Karena itu kehadiran guru dalam proses pembelajaran sangat tidak tergantikan.

 

Profesi Guru Pendidikan AgamaKatolik di Era Milenial

1). Siapakah Guru Pendidikan Agama Katolik itu?

Menurut Sulardi (online: 2017), Guru Pendidikan Agama Katolik merupakan awam yang terlibat untuk mengambil bagian dalam tugas kenabian Yesus Kristus yang hidup di tengah masyarakat dan terlibat dalam dinamika kehidupan masyarakat. Seorang guru Pendidikan Agama Katolik memiliki misi mewartakan kabar gembira dan menyampaikan

ajaran Katolik yang berpusat pada pribadi Yesus Kristus, khususnya kepada siswa di sekolah.Tujuannya supaya warta keselamatan Ilahi dapat dipahami dan dihayati oleh siswa demi pengembangan imannya. Sejalan dengan itu, menurut Setioka (2016: 223), Guru Pendidikan Agama Katolik adalah tenaga profesional yang dalam tugasnya membantu orangtua murid dalam rangka membina iman anak. Dalam hal ini, Guru Pendidikan Agama Katolik di sekolah berperan dalam melanjutkan tugas pendidikan iman yang telah dimulai di dalam keluarga.

Dengan demikian, dari dua batasan di atas dapat disimpulkan, bahwa Guru Pendidikan Agama Katolik adalah pendidik yang spesialis dan profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, siswa sesuai dengan ajaran iman Katolik.

2). Hakikat Profesi Guru Pendidikan Agama Katolik

 Sulardi (online: 2017) menekankan bahwa misi Guru Pendidikan Agama Katolik di sekolah mengandung dua makna antara profesi dan profetis. Profesi berarti sebuah pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagai upah kerjanya. Menjadi Guru Pendidikan Agama Katolik sebagai sebuah profesi menuntut adanya sikap profesional,

menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kemampuan menghadapi situasi tantangan zaman. Sedangkan profetis mengandung arti pewarta yang mewartakan nilai-nilai Kerajaan Allah. Menjadi Guru Pendidikan Agama Katolik adalah sebuah tugas profetis yang menuntut sikap mau menerima tugas dan tanggung jawabnya sebagai panggilan, tindakan bersedia untuk rela berkorban dan melayani dengan kasih, dan kesediaan menjadi Nabi dan Rasul Kristus (pewarta).

Sejalan dengan penegasan di atas, Hamu (2011: 2) juga menekankan bahwa Guru Pendidikan Agama Katolik merupakan sebuah profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus dalam bidang Pendidikan dan Pengajaran Agama Katolik dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar disiplin ilmu yang dimaksud. Mereka adalah orang-orang yang sungguh-sungguh paham dan ahli dalam bidangnya sebagai pendidik dan pewarta Sabda. Lebih lanjut, Prasetya (dalam Hamu, 2011: 2) menegaskan bahwa hakekat profesi Guru Pendidikan Agama Katolik adalah sebuah panggilan kenabian untuk mengabdi Tuhan dalam wujud pewartaan Kabar Baik kepada siswa. Mereka yang dipanggil menyatakan “ya” kepada Tuhan dan dengan sukarela menyediakan dirinya untuk menjadi Guru Pendidiakan Agama Katolik.

Di sinilah tampak nyata keunikan dan kekhasan profesi sebagai Guru Pendidikan Agama Katolik jika dibandingkan dengan profesi keguruan bidang studi lainnya.

Sehubungan dengan hakekat profesi seorang Guru Pendidikan Agama Katolik, Komkat KWI, 5 (dalam Hamu, 2011:3) mengemukakanbeberapa prinsip dasar yang perlu dipahami dan diketahui dengan baik oleh seorang Guru Pendidikan Agama Katolik agar dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, yaitu sebagai berikut:

1. Guru Pendidikan Agama Katolik harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi.

2. Guru Pendidikan Agama Katolik harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berpikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuan.

3. Guru Pendidikan Agama Katolik harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan penyesuaian dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik.

4. Guru Pendidikan Agama Katolik perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi), agar peserta didik menjadi lebih mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya.

5. Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan Guru Pendidikan Agama Katolik dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas.

6. Guru Pendidikan Agama Katolik wajib memerhatikan dan memikirkan korelasi antara mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.

 

Profil Guru Pendidikan Agama Katolik Era Milenial (Zaman Now)

 Kita sudah cukup akrab dengan istilah generasi milenial. Dari generasi milenial, berkembang istilah-istilah lain: mahasiswa milenial, guru milenial dan seterusnya. Apa sesungguhnya generasi milenial itu? Rahman (Online, 2017) menjelaskan konsep generasi milenial sebagai generasi yang dilahirkan pada kisaran tahun 1980-2000, generasi masa kini yang berusia 15-34 tahun. Esensinya, generasi milenial merupakan

generasi yang lahir dan hidup di era digital yang memanfaatkan media informasi dan teknologi dalam kehidupannya. Seorang guru harus memahami karakter generasi digital. Hal ini sangat penting agar guru mampu memposisikan diri sebagi pendidik yang dipandang ideal dimata siswanya, profil guru yang mendapatkan kepercayaan untuk memberikan taktik dan strategi pembelajaran yang berdaya guna.

 Peran guru di sini ibarat seorang pelatih sepak bola yang dipercayai secara penuh oleh anak asuhnya untuk meracik formasi pemain. Selain itu, ia menentukan pola permainan yang tepat sesuai dengan karakter kesebelasannya agar mampu meraih kemenangan di akhir pertandingan. Selanjutnya, diantara karakter generasi milenial yang khas dan harus dipahami pendidik adalah kegandrungan dengan gawai pintar dan berselancar di dalamnya.Selanjutnya generasi masa kini tidak menyukai komunikasi satu arah, kurang menyukai bacaan konvensional seperti buku, serta lebih tahu dan mahir teknologi dibandingkan orangtua termasuk gurunya.Guru zaman now (termasuk Guru Pendidikan Agama Katolik ) harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman untuk menjaga marwah kedaulatan seorang guru.

 Profil guru era milenial termasuk Guru Pendidikan Agama Katolik dapat digambarkan sebagai berikut:

 Pertama, melek digital. Hadirnya guru di dalam kelas bersama laptop akan memberi angin segar bagi siswa. Bukan tanpa alasan, karena umumnya ada pembelajaran menarik yang akan disajikan oleh sang guru, misalnya media power point dan video. Urgensinya adalah guru harus memiliki kemampuan menggunakan alat-alat digital, dan kecakapan perilaku dalam memanfaatkan kecanggihan teknologi. Kemampuan mengoperasikan komputer menjadi keharusan. Justifikasinya adalah memudahkan guru dalam menjalankan tugas dan fungsi profesinya, misalnya penyusunan Rancangan Pelaksanan Pembelajaran (RPP) dan pengolahan nilai. Keterampilan digital lainnya adalah menjelajahi dunia maya dan akses surat elektronik.

 Kedua, memanfaatkan gawai pintar sebagai sumber belajar dan komunikasi pembelajaran. Misalnya media sosial. Guru juga seyogyanya menggunakan media sosial supaya tidak dianggap ketinggalan. Tujuannya untuk menjalin komunikasi yang efektif terkait pembelajaran atau konseling di luar dunia nyata.

 Ketiga, menyuguhkan pembelajaran yang menyenangkan dan  penuh makna (joyful and meaningful). Siswa generasi zaman now tidak layak disuguhi metode ceramah. Paradigma pembelajaran masa kini harus memberikan keleluasaan kepada siswa untuk berperan aktif.

 Keempat, guru harus menjadi role model. Generasi digital identik pula dengan pandangan rasional. Apa yang dilihat, didengar dan dirasakan akan melahirkan persepsi. Membentuk persepsi yang baik sangat penting ditunjukkan oleh guru melalui keteladanan. Jika ada guru yang menunjukkan kesenjangan antara kata dan perbuatan, maka hal tersebut akan menyebabkan lunturnya loyalitas pembelajaran sang siswa.

 Kelima, guru sebagai pembelajar sepanjang hayat. Guru harus terus- menerus meningkatkan pengetahuan dan teknik mengajarnya. Seorang guru harus memaksimalkan gawai pintar untuk mengakses informasi sebanyak-banyaknya agar tidak kalah tahu dibandingkan dengan siswanya, misalnya mendownload aplikasi-aplikasitertentu yang penting bagi seorang guru.Pada muaranya, profil guru yang memiliki kapasitas mumpuni diharapkan mampu menghadapi tantangan generasi milenial sehingga melahirkan generasi yang cerdas dan berkarakter.

Motivasi Belajar Siswa

1). Pengertian Motivasi Belajar

 Hamzah (2008:3) menjelaskan bahwa istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Selanjutnya dia menambahkan bahwa motivasi pada dasarnya dapat membantu dalam memahami dan menjelaskan perilaku individu, termasuk perilaku individu yang sedang belajar. Ada beberapa peranan penting dari motivasi belajar dalam pembelajaran, antara lain dalam (1) menentukan hal-hal yang dapat dijadikan penguat belajar, (2) memperjelas tujuan belajar yang hendak dicapai, (3) menentukan ketekunan belajar.

Winkel (1996: 169) mengemukakan bahwa motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu demi mencapai suatu tujuan. Searah dengan Winkel, Sardiman (2011:75) mendefinisikan motivasi belajar sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa

yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai.

 Sedangkan menurut Aldelfer (dalam Dian, dkk., 2016:10), motivasi belajar adalah kecenderungan siswa dalam melakukan kegiatan belajar yang didorong oleh hasrat untuk mencapai prestasi hasil belajar sebaik mungkin. Selain itu, Nashar (dalam Dian, dkk., 2016: 10) mengartikan motivasi belajar sebagai kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan diri secara optimum, sehingga mampu berbuat yang lebih baik, berprestasi dan kreatif.

 Berdasarkan beberapa pendapatdi atas dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar merupakan daya penggerak yang dapat berasal dari dalam maupun dari luar diri siswa yang menyebabkan siswa tersebut bertindak secara nyata untuk belajar agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

2). Indikator Motivasi Belajar

 Menurut Sardiman (2011: 83), siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi biasanya ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:

 Pertama, tekun menghadapi tugas. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi biasanya tekun sekali dalam mengerjakan tugas. Siswa seperti ini dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama. Iatidak mau berhenti sebelum pekerjaannya selesai.

Kedua, ulet menghadapi kesulitan. Siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi tampak sangat ulet dalam menghadapi kesulitan. Siswa seperti ini tidak mudah putus asa dalam mengerjakan tugas sesulit apapun untuk berprestasi sebaik mungkin.

Ketiga, menunjukkan minat terhadap macam-macam masalah. Siswa yang mempunyai motivasi belajar yang tinggi seringkali menunjukkan minat terhadap macam-macam masalah, misalnya kritis terhadap masalah pembangunan, agama, politik, ekonomi yang terjadi disekitar.

Keempat, lebih senang bekerja mandiri. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi biasanya lebih suka bekerja mandiri. Siswa seperti ini cenderung mengerjakan tugas secara mandiri dalam arti tidak suka melihat pekerjaan teman lain, apalagi copy paste pekerjaan teman.

Kelima, cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin. Siswa dengan motivasi belajar yang tinggi cenderung lekas bosan dengan tugas-tugas rutin. Siswa seperti ini tidak suka akan hal-hal yang bersifat berulang- ulang, karena dianggap tidak mengasah kreativitas. Sebaliknya, siswa seperti ini cenderung mencari hal-hal yang baru karena dengan begitu kreativitasnya terasah.

 Keenam, dapat mempertahankan pendapatnya. Siswa dengan motivasi belajar yang tinggi memiliki kemampuan untuk mempertahankan pendapatnya jika terjadi diskusi. Siswa seperti ini suka berargumentasi dan tidak mudah menerima begitu saja pendapat orang lain.

3). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar

 Motivasi belajar seorang siswa sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Yusuf (2009: 23), secara umum motivasi belajar seorang siswa dipengaruhi oleh dua faktor berikut ini, yakni faktor yang berasal dari siswa itu sendiri (internal) dan faktor yang berasal dari luar siswa tersebut (eksternal).

a). Faktor internal

 Faktor internal adalah fator-faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang mendorong siswa bersangkutan dapat meningakatkan motivasi belajarnya. Yang termasuk dalam faktor-faktor internal tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, Faktor fisik

Faktor fisik yang dimaksud meliputi: nutrisi (gizi), kesehatan, dan fungsi- fungsi fisik, terutama panca indera. Kekurangan gizi atau kadar makanan akan mengakibatkan kelesuan, cepat mengantuk, cepat lelah, dan sebagainya. Kondisi fisik yang seperti itu sangat berpengaruh terhadap proses belajar siswa di sekolah. Siswa yang kekurangan gizi akansangat rentan terhadap penyakit. Hal ini menyebabkan menurunnya kemampuan belajar, berpikir atau berkonsentrasi. Selain itu, fungsi- fungsi jasmani seperti panca indera (seperti mata dan telinga) juga dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi proses belajar. Panca indera yang baik akan mempermudah siswa dalam mengerti proses belajar di sekolah.

Kedua, Faktor psikologis

 Faktor psikologis merupakan faktor intrinsik yang berhubungan dengan aspek-aspek yang mendorong atau menghambat aktivitas belajar pada siswa. Faktor yang mendorong aktivitas belajar adalah antara lain: rasa ingin tahu (curiousity) dan ingin menyelidiki dunia (lingkungan) yang lebih luas,kreatif dan keinginan untuk selalu maju, keinginan untuk mendapat simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman, keinginan untuk memperbaiki kegagalan dengan usaha yang baru, keinginan untuk mendapatkan rasa aman apabila menguasai pelajaran, adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari proses belajar.Sedangkan faktor psikis yang menghambat adalah antara lain: tingkat kecerdasan yang rendah (lemah), gangguan emosional (seperti: merasa tidak aman, tercekam rasa takut, cemas, dan gelisah), sikap dan kebiasaan belajar yang buruk (seperti: tidak menyenangi mata pelajaran tertentu, malas belajar, tidak memiliki waktu belajar yang teratur, dan kurang terbiasa membaca buku mata pelajaran).

b) Faktor eksternal

 Faktor eksternal adalah faktor dari luar individu/ siswa yang mempengaruhi motivasi belajarnya. Yang termasuk faktor-faktor eksternal adalah sebagai berikut:

Pertama, Faktor sosial

 Faktor sosial yang dimaksudkan adalah factor manusia (guru, konselor, dan orangtua), baik yang hadir secara langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi motivasi belajar dalam diri siswa. Motivasi belajar siswa akan bertumbuh dengan baik, apabila guru mengajar dengan cara yang menyenangkan, seperti bersikap ramah, memberi perhatian pada semua siswa, serta selalu membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar. Singkatnya, motivasi belajar akan bertumbuh dengan baik apabila guru memiliki kompetensi yang memadai. Selain guru, pada saat dirumah siswa juga harus tetap mendapatkan perhatian dari orangtua, baik perhatian material (dengan menyediakan sarana dan prasarana belajar)maupun perhatian secara psikologis (misalnya mendampingi saat seorang anak mengerjakan tugas sekolah). Perhatian dan dukungan seperti itu justeru dapat membantu dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa di rumah.

Kedua, Faktor non-sosial

 Faktor non-sosial yang dimaksudkan adalah keadaan atau kondisi fisik di sekitar siswa yang juga turut mempengaruhi motivasi belajar siswa tersebut. Faktor non-sosial itu meliputi keadaan udara (cuaca panas atau dingin), waktu (pagi, siang, atau malam), tempat (sepi, bising, atau kualitas sekolah tempat belajar), dan fasilitas belajar (sarana dan prasarana). Seorang siswa memiliki gairah belajar yang tinggi kalau kondisi fisik di sekitarnya kondusif. Sebaliknya, jika kondisi fisik sekitarnya kurang kondusif, maka gairah belajarnya juga menurun.

Kompetensi Guru Pendidikan Agama Katolik Era Milenial dan Pengaruhnya terhadap Peningkatan Motivasi Belajar Peserta Didik

 Kompetensi secara sederhana diartikan sebagai kecakapan atau kemampuan (Rusman, 2017: 157). Kompetensi guru merupakan kemampuan atau kecakapan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban- kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.Seorang guru harus dapat mengimplementasikan tujuan-tujuan pendidikan yang akan dicapai, baik dari tataran tujuan nasional maupun sekolah.Untuk mengantarkan tujuan tersebut, guru harus memiliki kecakapan dan kemampuan yang menyangkut landasan pendidikan dan juga psikologi perkembangan siswa. Dengan demikian strategi pembelajaran akan diterapkan berdasarkan situasi dan kondisi yang ada di lingkungannya.

 Kehadiran guru yang kompeten pada era milenial ini sangat penting dan menentukan dalam proses pembelajaran. Dikatakan demikian karena bagi siswa, guru sering dijadikan panutan atau model, bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. Oleh karena itu, seorang guru seyogyanya memiliki perilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswanya secara utuh.

 Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen, pada pasal 10 dikatakan bahwa seorang guru harus memiliki empat kompetensi yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Kompetensi- kompetensi tersebut menjadi tuntutan yang harus dimiliki oleh seorang guru. Seorang Guru Pendidikan Agama Katolik pada era milenial ini juga dituntut untuk memiliki keempat kompetensi tersebut. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sulardi (online: 2007). Ia mengemukakan bahwa dalam menjalankan misinya, seorang Guru Pendidikan Agama Katolik harus  mempunyai kompetensi yang erat kaitannya dengan profesionalisme guru  yaitu kompetensi pedagogik (akademik mendidik), kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.Selain keempat kompetensi  ini, salah satu kompetensi yang khas dimiliki oleh Guru Pendidikan Agama Katolik adalah kompetensi spiritual. Berikut ini dijelaskan kaitan antara  kompetensi-kompetensi yang dimiliki seorang guru dengan motivasi belajar  siswa.

Kompetensi Pedagogik

 Rusman (2017: 158) menjelaskan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan seorang guru dalam mengelola pembelajaran. Kompetensi ini meliputi pemahaman terhadap siswa (aspek fisik, intelektual, sosial- emosional, moral, spiritual, dan latar belakang sosial budaya), perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan siswa untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Artinya, guru harus mampu mengelola kegiatan pembelajaran, mulai dari

merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Guru harus menguasai manajemen kurikulum, mulai dari merencanakan perangkat kurikulum, melaksanakan kurikulum dan mengevaluasinya serta memiliki pemahaman tentang psikologi pendidikan, terutama terhadap kebutuhan dan perkembangan siswa agar kegiatan pembelajaran lebih bermakna dan berhasil guna.

Dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran, seorang guru dituntut untuk memanfaatkan sarana teknologi yang ada supaya pembelajaran itu berlangsung efektif dan atraktif. Ini menjadi tuntutan yang harus dipenuhi oleh seorang guru di era milenial. Dikatakan demikian karena siswa yang dihadapinya adalah generasi milenial yang nota bene mayoritas sudah melek teknologi.

 Kalau seorang guru termasuk di dalamnya Guru Pendidikan Agama Katolik memiliki kompetensi pedagogik dengan sederetan kemampuan yang seharusnya ada padanya sebagaimana yang digambarkan, maka hal tersebut pasti akan memberikan motivasi tersendiri bagi siswa di dalam meningkatkan motivasi belajar mereka dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik pun juga mata pelajaran lainnya.

Kaitan antara kompetensi pedagogik guru dengan motivasi belajar telah terbukti melalui beberapa penelitian ilmiah. Misalnya penelitian yang dilakukanolehSantri(2017) tentang hubungan antara kompetensi pedagogik dengan motivasi dan hasil belajar siswa SMA Negeri Watampone, Makasar. Hasil penelitian tersebut antara lain menyimpulkan adanya hubungan positif antara kompetensi pedagogik guru dengan motivasi belajar siswa SMA Negeri Watampone. Artinya, semakin tinggi kompetensi pedagogik seorang guru, semakin tinggi motivasi belajar siswa. Sebaliknya, semakin rendah kompetensi pedagogik seorang guru, semakin rendah pula motivasi belajar siswa.

 Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Kurniawan (2015) tentang pengaruh kompetensi pedagogik guru terhadap motivasi belajar siswa SMP Negeri 5 Blitar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kompetensi pedagogik memberikan pengaruh signifikan terhadap motivasi belajar siswa. Signifikansinya terletak pada sumbangan faktor kompetensi pedagogik sebesar 97 % terhadap motivasi belajar siswa. Selebihnya, 3 % dipengaruhi oleh faktor lain di luar kajian peneltian ini.

Kompetensi Kepribadian

 Rusman (2017:158) menjelaskan bahwa kompetensi kepribadian seorang guru berkaitan dengan kemampuan-kemampuan tertentu yang harus dimilikinya dalam hal kepribadian. Seorang guru dikatakan kompeten dalam kepribadian kalau ia tampil sebagai guru yang mantap, stabil, dewasa, dan berakhlak mulia. Artinya, guru memiliki sikap dan kepribadian yang mantap, sehingga mampu menjadi sumber inspirasi bagi siswa.

Dengan kata lain, guru harus memiliki kepribadian yang patut diteladani, sehingga mampu melaksanakan trilogi kepemimpinan seorang guru sebagaimana yang dikemukankan oleh Ki Hadjar Dewantara, yakni:ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dantut wuri handayani (di depan guru member teladan/ contoh, di tengah memberikan karsa, dan di belakang memberikan dorongan/ motivasi).

 Kompetensi kepribadian memang harus melekat dalam diri seorang guru, terlebih di era milenialini. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh seorang guru, termasuk Guru Pendidikan Agama Katolik di era milenialadalah kehadirannya yang harus menjadi role model bagi siswa. Siswa pada era milenial menuntut kehadiran guru yang harus menjadi role model/ teladan bagi siswa dalam tutur kata dan tindakan. Tutur kata dan tindakan seorang guru harus sejalan. Jika demikian, maka guru tersebut dapat dikatakan sebagai guru yang memiliki kompetensi kepribadian yang memadai.

 Penting sekali seorang Guru Pendidikan Agama Katolik memiliki kompetensi kepribadian yang memadai terlebih di era milenial ini karena kompetensi kepribadian ini berpengaruh kuat terhadap motivasi belajar seorang siswa. Guru Pendidikan Agama Katolik yang memiliki kepribadian  baik tentu disukai oleh siswa. Kesukaan pada guru yang berkepribadian baik membangkitkan motivasi siswa untuk belajar lebih giat pada mata pelajaran yang diampu guru yang bersangkutan. Konkretnya, kesukaan siswa pada Guru Pendidikan Agama Katolik akan membangkitkan motivasi siswa untuk belajar lebih giat pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik.

 Ada beberapa penelitian dalam psikologi pendidikan yang mengaitkan kompetensi kepribadian seorang guru dengan motivasi belajar siswa. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Rohmah (2017) tentang pengaruhkompetensi kepribadian guru terhadap motivasi belajar siswa Madrasah Ibtidaiyah Raden Patah Pujon Malang. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh positif signifikan dari variabel kompetensi kepribadian

terhadap motivasi belajar siswa Madrasah Ibtidaiyah Raden Patah Pujon Malang. Disimpulkan bahwa semakin kompeten seorang guru dalam hal kepribadian, semakin tinggi motivasi belajar pada siswa.

 Selain itu, penelitian lain yang menegaskan adanya korelasi antara variable kompetensi kepribadian guru dengan motivasi belajar siswa adalah penelitian yang dilakukan oleh Aryani (2016) dengan judul pengaruh kompetensi kepribadian guru terhadap motivasi belajar siswa kelas IV dan V di SD PL Sugiyopranoto Klaten. Penelitian kualitatif ini menyimpulkan bahwa kompetensi kepribadian guru berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Motivasi belajar siswa meningkat ketika guru menunjukkan karakteristik kepribadian yang menarik, antara lain sabar, humoris dan suka membuat pelajaran berkesan. Sebaliknya, motivasi belajar siswa menjadi berkurang ketika guru menunjukkan kepribadian yang kurang menarik, misalnya otoriter, terlampau serius dan banyak menuntut siswa.

Kompetensi Sosial

 Rusman (2017: 159) mengartikan kompetensi sosial sebagai kemampuan seorang guru dalam berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan siswa, sesama guru (pendidik), tenaga kependidikan, orangtua/ wali siswa, dan masyarakat sekitar. Artinya, ia menunjukkan kemampuan berkomunikasi sosial, baik dengan siswa-siswinya maupun dengan sesama teman guru, dengan kepala sekolah bahkan dengan masyarakat luas.

 Guru Pendidikan Agama Katolik dituntut untuk memiliki kompetensi sosial yang memadai. Dikatakan demikian karena menurut Bauju (online, 2010), seorang Guru Pendidikan Agama Katolik adalah pendidik sekaligus seorang pewarta. Tugas mendidik dan mewartakan selalu terarah pada orang lain. Seorang pendidik dan pewarta selalu berhubungan orang lain. Di sinilah seorang Guru Pendidikan Agama Katolik dituntut agar memiliki kemampuan untuk membangun relasi sosial, dalam arti bisa berkomunikasi secara efektif

dengan siswa, dengan sesama rekan guru, dengan orangtua dan masyarakat sekitar.

 Kompetensi sosial yang mesti dimiliki oleh seorang Guru Pendidikan bAgama Katolik dengan sejumlah keunggulan seperti dipaparkan di atas, juga memengaruhi motivasi belajar siswa di sekolah. Penelitian-peneiltian dalam bidang psikologi pendidikan juga membuktikan adanya korelasi antara variabel kompetensi sosial dengan motivasi belajar siswa di sekolah. Misalnya, penelitian Tirwan (2010) dengan judul Pengaruh Kompetensi Sosial Guru IPS terhadap Motivasi Belajar Siswa di SMP Dua Mei Ciputat. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa variabel kompetensi sosial guru (X) mempengaruhivariabel motivasi belajar siswa (Y) yaitu sebesar 43,4 %. Itu artinya pengaruh variabel kompetensi sosial terhadap motivasi belajar berada pada taraf sedang atau cukup dan selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti.

 Sejalan dengan penelitian tersebut, ada juga penelitian lain yang memberikan kesimpulan yang hampir serupa. Ardianti (2012) melakukan penelitian dengan judul Hubungan Kompetensi Sosial Guru Dengan Motivasi Belajar Siswa Kelas XI Ilmu Pengetahuan Sosial Pada Mata Pelajaran Ekonomi Di Sekolah Madrasah Aliyah Darul Hikmah Pekanbaru. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kompetensi

sosial guru dengan motivasi belajar siswa kelas XI IPS pada mata pelajaran ekonomi di Madrasah Aliyah Darul Hikmah Pekanbaru. Dengan kata lain semakin tinggi kompetensi sosial guru maka semakin tinggi pula motivasi belajar siswa kelas XI IPS di Madrasah Aliyah Darul Hikmah Pekanbaru. Sebaliknya semakin rendah kompetensi sosial guru maka semakin rendah pula motivasi belajar siswa Kelas XI IPS di Madrasah Aliyah Darul Hikmah Pekanbaru.

Kompetensi Profesional

 Rusman (2017: 159) mendefinisikan kompetensi profesional sebagai kemampuan guru dalam menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam dan memungkinkan terintegrasinya konten pembelajaran dengan penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan membimbingsiswa memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Artinya guru harus memiliki pengetahuan yang luas berkenandenganbidangstudiyangakandiajarkansertapenguasaandidaktik metodik dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoretik, mampu memilih model, strategi dan metode yang tepat serta mampu menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran. Guru pun harus memiliki pengetahuan luas tentang kurikulum dan landasan kepribadian.

 Guru Pendidikan Agama Katolik pada era milenial ini dituntut untuk memiliki kompetensi profesional. Sebagai seorang guru di era milaneal, seorang Guru Pendidikan Agama Katolik dituntut untuk menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Ia juga dituntut untuk memiliki pengetahuan dalam konsep-konsep teoretik yang memadai, menguasai strategi dan metode pembelajaran yang tepat, menguasai kurikulum serta landasan kepribadian. Dengan kompetensi profesional yang dimilikinya, Ia akan mampu menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, kreatif, efektif dan menyenangkan sehingga mampu meningkatkan motivasi belajar siswa secara optimal. Dengan demikian kompetensi profesional merupakan sesuatu yang sangat penting untuk menumbuhkan dan meningkatkan motivasi belajar siswa.

 Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk menegaskan adanya korelasi antara kompetensi profesional guru dengan motivasi belajar siswa. Misalnya peneliltian yang dilakukan oleh Aftiani (2016) yang berjudul Pengaruh Kompetensi Profesional Guru Terhadap Motivasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi Kelas XI IPS 4 Di SMA Negeri 5 Cimahi. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif antara kompetensi

profesional guru dengan motivasi belajar siswa. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi sebesar 62,5%. Hal ini menunjukkan bahwa variable X (kompetensi profesional guru) mempunyai pengaruh 62,5% terhadap variabel Y (motivasi belajar siswa). Sisanya sebesar 37,5% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti oleh penulis.

 Selanjutnya penelitian serupa dilakukan oleh Santika, dkk. (2017) dengan judul Hubungan Antara Kompetensi Pedagogik Dan Profesional Guru PPL Jurusan Pendidikan Teknik Informatika Terhadap Motivasi Belajar Siswa SMK Se-Kota Singaraja. Setelah dilakukan uji korelasi parsial, ditemukan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara kompetensi profesional (X2) dengan motivasi belajar siswa (Y). Hal ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi

sebesar 0,50, artinya jika semakin baik nilai kompetensi profesional guru PPL, maka hal tersebut akan meningkatkan motivasi belajar siswa, begitu pula sebaliknya.

Kompetensi Spiritual

 Selain keempat kompetensi yang umumnya harus dimiliki oleh semua guru, salah satu kompetensi yang khas harus dimiliki oleh seorang Guru Pendidikan Agama Katolik adalah kompetensi spiritual (Hamu, 2011: 3). Kompetensi spiritual maksudnya kemampuan yang harus dimiliki seorang Guru Pendidikan Agama Katolik dalam menunjukkan spiritualitas sebagai pribadi beragama dan beriman. Ia harus dipandang dan diakui sebagai seorang pribadi yang unggul dalam hidup rohani oleh karena relasinya dengan Tuhan. Ia dipandang sebagai guru rohani untuk membimbing dan mendampingi siswa untuk berjumpa dengan Tuhan. Karena itu terkait hal ini, tutur kata dan gerak gerik seorang Guru Pendidikan Agama Katolik haruslah menjadi model spiritual bagi anak didiknya.

 Guru Pendidikan Agama Katolik pada era milenial ini harus menjadi role model, termasuk dalam hal spiritual ini. Dikatakan demikian karena sebagaimana dikatakan di atas bahwa generasi (siswa) milenial identik dengan pandangan rasional, apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan akan melahirkan persepsi. Membentuk persepsi yang baik sangat penting ditunjukkan oleh seorang guru melalui keteladanan. Dikatakan demikian karena menurut teori Belajar Sosialnya Albert Bandura, siswa biasanya memiliki kecenderungan untuk belajar dengan meniru orang lain. Dalam hal ini yang ditiru adalah guru.

 Kalau seorang Guru Pendidikan Agama Katolik memiliki kompetensi spiritual, maka dengan sendirinya para siswa akan merasa senang dan termotivasi untuk belajar agama. Lebih dari itu siswa dapat menghayati nilai- nilai agama dalam kehidupan sehari-hari kalau mereka memiliki persepsi positif terhadap guru Pendidikan Agama Katolik. Karena itu, tuntutan untuk memiliki kompetensi spiritual menjadi sebuah keharusan.

Guru Pendidikan Agama Katolik dipanggil untuk mengemban misi menjadi pendidik/ pengajar dan pewarta. Sebagai pewarta, ia dituntut untuk menampilkan jati dirinya sebagai pribadi yang unggul, tidak saja dalam kata- kata tetapi terutama melalui kesaksian hidup yang nyata, baik dalam konteks sekolah maupun dalam kehidupan yang lebih luas di tengah masyarakat/ gereja di mana guru itu hidup dan berkarya. Sebagai seorang pendidik/ pengajar, seorang Guru Pendidikan Agama Katolik dituntut agar menjadi guru yang sungguh-sungguh kompeten. Guru yang kompeten merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi khususnya di era milenial ini.

 Kompetensi yang harus dimiliki seorang Guru Pendidikan Agama Katolik adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional dan kompetensi spiritual. Kalau seorang Guru Pendidikan Agama Katolik memiliki kompetensi-kompetensi tersebut, niscaya akan membangkitkan motivasi belajar pada siswa. Sebaliknya, jika Guru Pendidikan Agama Katolik kurang memiliki kompetensi-kompetensi

tersebut, maka hal tersebut pasti akan mengurangi gairah atau motivasi siswa untuk belajar lebih tekun dan ujung-ujungnya menyebabkan rendahkan prestasi belajar.

 Para guru dan calon guru di era milanieal ini, khususnya Guru Pendidikan Agama Katolik diharapkan untuk menjadi guru yang selalu memiliki spirit kepenasaranan intelektual (intellectual curiousity). Janganlah cepat merasa puas dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah diperoleh. Para guru dan calon guru di era milenial ini harus selalu memanfaatkan berbagai sarana teknologi, informasi dan komunikasi yang ada untuk mengakses berbagai ilmu pengetahuan supaya mereka menjadi guru yang berwawasan luas, berketerampilan dan memiliki kompetensi yang memadai sehingga bisa menjawabi tuntutan zaman, khususnya menjawabi kebutuhan generasi/ siswa milenial di mana mereka berkarya.

 


 

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama