Haruslah disadari bahwa guru merupakan aktor
utama perubahan dalam masyarakat. Sebagai aktor utama, ia berperan penting
dalam mencetak kader-kader masa depan yang akan mewarnai peradaban manusia
(Kotten, 2012:18). Mengingat pentingnya peran tersebut, seorang guru dituntut
untuk memiliki sumber daya manusia yang memadai. Sumber daya manusia seorang
guru yang memadai itu tercermin dalam kompetensi yang harus dimilikinya sesuai
dengan tuntutan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kompetensi yang dimaksudkan
dimaknai sebagai perangkat, perilaku yang efektif, sehingga dapat mengarahkan
seseorang menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan
efisien, dan dapatdipertanggungjawabkan (Mas, 2012: 2). Dengan memiliki
kompetensi tertentu, seorang guru diharapkan dapat menjalankan profesi keguruannya
secara benar sehingga mendatangkan manfaat besar bagi siswa yang dipercayakan
kepadanya.
Demikian pun seorang Guru Pendidikan Agama Katolik. Guru Pendidikan Agama Katolik dituntut agar memiliki sejumlah kompetensi di dalam dirinya. Guru Pendidikan Agama Katolik yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga tujuan pembelajaran berada padatingkat optimal. Secara khusus kompetensi Guru Pendidikan Agama Katolik,teristimewa di era milenialini amat menentukan bagi peningkatakan motivasi belajar siswa di kelas.
Motivasi belajar yang tinggi mendorong siswa
untuk lebih aktif dalambelajar dan pada gilirannya dapat meningkatkan prestasi
belajar di kelas.Motivasi dalam hal ini pertama-tama adalah bagian dari faktor
internaldan merupakan unsur psikologis dalamhubungannya dengan
kegiatanpembelajaran. Karena itu motivasi memiliki peranan yang sangat
penting.Seorang siswa, akan berhasil dalam belajar kalau ada dorongan yang
kuatpada dirinya. Dorongan inilah yang disebut motivasi. Motivasi dalam hal
inimeliputi dua unsur berikut ini, yakni mengetahui apa yang akan dipelajari
dan juga memahami mengapa hal tersebut patut dipelajari. Berpijak padakedua
unsur motivasi ini menjadi dasar permulaan yang baik untuk belajar.Dikatakan
demikian, karena tanpa motivasi peserta didik tidak akan mengertiapa yang akan
dipelajari dan tidak memahami mengapa dan untuk apa hal itu
dipelajari.
Ada banyak penelitian yang telah membuktikan
bahwa peran guru yang kompeten sangat menentukan tinggi rendahnya motivasi
belajar siswa.Misalnya, penelitian yang dilakukan Mas (2012: 6) menyimpulkan
bahwa guruyang memilki kompetensi personal dan profesional dalam proses
belajarmengajar memiliki kontribusi terhadap tinggi rendahnya motivasi
belajarpada siswa. Semakin optimal kompetensi personal dan profesional seorang
guru,semakin tinggi pula motivasi belajar siswa. Sebaliknya, semakin minimal
kompetensi personal dan profesional seorang guru, semakin rendah pula motivasi
belajar siswa. Selain itu, Haqi (2015) melakukan sebuah penelitian tentang
hubungan antara komunikasi guru dengan motivasi belajar siswa. Penelitiannya
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi guru
dengan motivasi belajar siswa. Semakin intensif dan positif komunikasi antara
guru dengan siswa dalam proses belajar mengajar, maka semakin baik pula
motivasi belajar siswa. Sebaliknya, semakin buruk atau rendah komunikasi antara
guru dengan siswa dalam proses belajar mengajar, maka semakin rendah pula
motivasi belajar siswa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
peran seorang guru(termasuk Guru Pendidikan Agama Katolik ) sangat penting di
dalam menumbuhkan motivasi belajar pada siswa, pada tingkat mana pun. Karena
itu kehadiran guru dalam proses pembelajaran sangat tidak tergantikan.
Profesi Guru Pendidikan AgamaKatolik di Era Milenial
1). Siapakah Guru Pendidikan Agama
Katolik itu?
Menurut
Sulardi (online: 2017), Guru Pendidikan Agama Katolik merupakan awam yang
terlibat untuk mengambil bagian dalam tugas kenabian Yesus Kristus yang hidup
di tengah masyarakat dan terlibat dalam dinamika kehidupan masyarakat. Seorang
guru Pendidikan Agama Katolik memiliki misi mewartakan kabar gembira dan
menyampaikan
ajaran Katolik yang berpusat pada pribadi Yesus Kristus, khususnya kepada siswa di sekolah.Tujuannya supaya warta keselamatan Ilahi dapat dipahami dan dihayati oleh siswa demi pengembangan imannya. Sejalan dengan itu, menurut Setioka (2016: 223), Guru Pendidikan Agama Katolik adalah tenaga profesional yang dalam tugasnya membantu orangtua murid dalam rangka membina iman anak. Dalam hal ini, Guru Pendidikan Agama Katolik di sekolah berperan dalam melanjutkan tugas pendidikan iman yang telah dimulai di dalam keluarga.
Dengan
demikian, dari dua batasan di atas dapat disimpulkan, bahwa Guru Pendidikan
Agama Katolik adalah pendidik yang spesialis dan profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, siswa sesuai dengan ajaran iman
Katolik.
2). Hakikat Profesi Guru Pendidikan
Agama Katolik
Sulardi (online: 2017) menekankan bahwa misi
Guru Pendidikan Agama Katolik di sekolah mengandung dua makna antara profesi
dan profetis. Profesi berarti sebuah pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari sebagai upah kerjanya. Menjadi Guru Pendidikan Agama Katolik
sebagai sebuah profesi menuntut adanya sikap profesional,
menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kemampuan menghadapi situasi tantangan
zaman. Sedangkan profetis mengandung arti pewarta yang mewartakan nilai-nilai
Kerajaan Allah. Menjadi Guru Pendidikan Agama Katolik adalah sebuah tugas
profetis yang menuntut sikap mau menerima tugas dan tanggung jawabnya sebagai
panggilan, tindakan bersedia untuk rela berkorban dan melayani dengan kasih,
dan kesediaan menjadi Nabi dan Rasul Kristus (pewarta).
Sejalan
dengan penegasan di atas, Hamu (2011: 2) juga menekankan bahwa Guru Pendidikan
Agama Katolik merupakan sebuah profesi, yang berarti suatu jabatan yang
memerlukan keahlian khusus dalam bidang Pendidikan dan Pengajaran Agama Katolik
dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar disiplin ilmu yang
dimaksud. Mereka adalah orang-orang yang sungguh-sungguh paham dan ahli dalam
bidangnya sebagai pendidik dan pewarta Sabda. Lebih lanjut, Prasetya (dalam
Hamu, 2011: 2) menegaskan bahwa hakekat profesi Guru Pendidikan Agama Katolik
adalah sebuah panggilan kenabian untuk mengabdi Tuhan dalam wujud pewartaan
Kabar Baik kepada siswa. Mereka yang dipanggil menyatakan “ya” kepada Tuhan dan
dengan sukarela menyediakan dirinya untuk menjadi Guru Pendidiakan Agama
Katolik.
Di
sinilah tampak nyata keunikan dan kekhasan profesi sebagai Guru Pendidikan
Agama Katolik jika dibandingkan dengan profesi keguruan bidang studi lainnya.
Sehubungan
dengan hakekat profesi seorang Guru Pendidikan Agama Katolik, Komkat KWI, 5
(dalam Hamu, 2011:3) mengemukakanbeberapa prinsip dasar yang perlu dipahami dan
diketahui dengan baik oleh seorang Guru Pendidikan Agama Katolik agar dapat
melaksanakan tugasnya secara profesional, yaitu sebagai berikut:
1.
Guru Pendidikan Agama Katolik harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik
pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan
sumber belajar yang bervariasi.
2.
Guru Pendidikan Agama Katolik harus dapat membangkitkan minat peserta didik
untuk aktif dalam berpikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuan.
3.
Guru Pendidikan Agama Katolik harus dapat membuat urutan (sequence) dalam
pemberian pelajaran dan penyesuaian dengan usia dan tahapan tugas perkembangan
peserta didik.
4.
Guru Pendidikan Agama Katolik perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan
dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi), agar
peserta didik menjadi lebih mudah dalam memahami
pelajaran yang diterimanya.
5.
Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan Guru
Pendidikan Agama Katolik dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang
hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas.
6.
Guru Pendidikan Agama Katolik wajib memerhatikan dan memikirkan korelasi antara
mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Profil Guru Pendidikan Agama Katolik
Era Milenial (Zaman Now)
Kita sudah cukup akrab dengan istilah generasi
milenial. Dari generasi milenial, berkembang istilah-istilah lain: mahasiswa
milenial, guru milenial dan seterusnya. Apa sesungguhnya generasi milenial itu?
Rahman (Online, 2017) menjelaskan konsep generasi milenial sebagai generasi
yang dilahirkan pada kisaran tahun 1980-2000, generasi masa kini yang berusia
15-34 tahun. Esensinya, generasi milenial merupakan
generasi
yang lahir dan hidup di era digital yang memanfaatkan media informasi dan
teknologi dalam kehidupannya. Seorang guru harus memahami karakter generasi
digital. Hal ini sangat penting agar guru mampu memposisikan diri sebagi
pendidik yang dipandang ideal dimata siswanya, profil guru yang mendapatkan
kepercayaan untuk memberikan taktik dan strategi pembelajaran yang berdaya
guna.
Peran guru di sini ibarat seorang pelatih sepak bola yang dipercayai secara penuh oleh anak asuhnya untuk meracik formasi pemain. Selain itu, ia menentukan pola permainan yang tepat sesuai dengan karakter kesebelasannya agar mampu meraih kemenangan di akhir pertandingan. Selanjutnya, diantara karakter generasi milenial yang khas dan harus dipahami pendidik adalah kegandrungan dengan gawai pintar dan berselancar di dalamnya.Selanjutnya generasi masa kini tidak menyukai komunikasi satu arah, kurang menyukai bacaan konvensional seperti buku, serta lebih tahu dan mahir teknologi dibandingkan orangtua termasuk gurunya.Guru zaman now (termasuk Guru Pendidikan Agama Katolik ) harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman untuk menjaga marwah kedaulatan seorang guru.
Profil guru era milenial termasuk Guru
Pendidikan Agama Katolik dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, melek digital. Hadirnya guru di dalam
kelas bersama laptop akan memberi angin segar bagi siswa. Bukan tanpa alasan,
karena umumnya ada pembelajaran menarik yang akan disajikan oleh sang guru,
misalnya media power point dan video. Urgensinya adalah guru harus memiliki
kemampuan menggunakan alat-alat digital, dan kecakapan perilaku dalam
memanfaatkan kecanggihan teknologi. Kemampuan mengoperasikan
komputer menjadi keharusan. Justifikasinya adalah memudahkan guru dalam
menjalankan tugas dan fungsi profesinya, misalnya penyusunan Rancangan
Pelaksanan Pembelajaran (RPP) dan pengolahan nilai. Keterampilan digital lainnya
adalah menjelajahi dunia maya dan akses surat elektronik.
Kedua, memanfaatkan gawai pintar sebagai
sumber belajar dan komunikasi pembelajaran. Misalnya media sosial. Guru juga
seyogyanya menggunakan media sosial supaya tidak dianggap ketinggalan. Tujuannya
untuk menjalin komunikasi yang efektif terkait pembelajaran atau konseling di
luar dunia nyata.
Ketiga, menyuguhkan pembelajaran yang
menyenangkan dan penuh makna (joyful and
meaningful). Siswa generasi zaman now tidak layak disuguhi metode ceramah. Paradigma
pembelajaran masa kini harus memberikan keleluasaan kepada siswa untuk berperan
aktif.
Keempat, guru harus menjadi role model.
Generasi digital identik pula dengan pandangan rasional. Apa yang dilihat,
didengar dan dirasakan akan melahirkan persepsi. Membentuk persepsi yang baik
sangat penting ditunjukkan oleh guru melalui keteladanan. Jika ada guru yang
menunjukkan kesenjangan antara kata dan perbuatan, maka hal tersebut akan
menyebabkan lunturnya loyalitas pembelajaran sang siswa.
Kelima, guru sebagai pembelajar sepanjang
hayat. Guru harus terus- menerus meningkatkan pengetahuan dan teknik
mengajarnya. Seorang guru harus memaksimalkan gawai pintar untuk mengakses
informasi sebanyak-banyaknya agar tidak kalah tahu dibandingkan dengan siswanya,
misalnya mendownload aplikasi-aplikasitertentu yang penting bagi seorang
guru.Pada muaranya, profil guru yang memiliki kapasitas mumpuni diharapkan mampu
menghadapi tantangan generasi milenial sehingga melahirkan generasi yang cerdas
dan berkarakter.
Motivasi Belajar Siswa
1). Pengertian Motivasi Belajar
Hamzah (2008:3) menjelaskan bahwa istilah
motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang
terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau
berbuat. Selanjutnya dia menambahkan bahwa motivasi pada dasarnya dapat
membantu dalam memahami dan menjelaskan perilaku individu, termasuk perilaku
individu yang sedang belajar. Ada beberapa peranan penting dari motivasi
belajar dalam pembelajaran, antara lain dalam (1) menentukan hal-hal yang dapat
dijadikan penguat belajar, (2) memperjelas tujuan belajar yang hendak dicapai,
(3) menentukan ketekunan belajar.
Winkel
(1996: 169) mengemukakan bahwa motivasi belajar adalah keseluruhan daya
penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar,
menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada
kegiatan belajar itu demi mencapai suatu tujuan. Searah dengan Winkel, Sardiman
(2011:75) mendefinisikan motivasi belajar sebagai keseluruhan daya penggerak di
dalam diri siswa
yang
menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar
dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang
dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai.
Sedangkan menurut Aldelfer (dalam Dian, dkk., 2016:10), motivasi belajar adalah kecenderungan siswa dalam melakukan kegiatan belajar yang didorong oleh hasrat untuk mencapai prestasi hasil belajar sebaik mungkin. Selain itu, Nashar (dalam Dian, dkk., 2016: 10) mengartikan motivasi belajar sebagai kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan diri secara optimum, sehingga mampu berbuat yang lebih baik, berprestasi dan kreatif.
Berdasarkan beberapa pendapatdi atas dapat
disimpulkan bahwa motivasi belajar merupakan daya penggerak yang dapat berasal
dari dalam maupun dari luar diri siswa yang menyebabkan siswa tersebut
bertindak secara nyata untuk belajar agar dapat mencapai tujuan pembelajaran
yang diharapkan.
2). Indikator Motivasi Belajar
Menurut Sardiman (2011: 83), siswa yang
memiliki motivasi belajar yang tinggi biasanya ditandai dengan ciri-ciri
sebagai berikut:
Pertama, tekun menghadapi tugas. Siswa yang
memiliki motivasi belajar yang tinggi biasanya tekun sekali dalam mengerjakan
tugas. Siswa seperti ini dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama.
Iatidak mau berhenti sebelum pekerjaannya selesai.
Kedua,
ulet menghadapi kesulitan. Siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi tampak
sangat ulet dalam menghadapi kesulitan. Siswa seperti ini tidak mudah putus asa
dalam mengerjakan tugas sesulit apapun untuk berprestasi sebaik mungkin.
Ketiga,
menunjukkan minat terhadap macam-macam masalah. Siswa yang mempunyai motivasi
belajar yang tinggi seringkali menunjukkan minat terhadap macam-macam masalah,
misalnya kritis terhadap masalah pembangunan, agama, politik, ekonomi yang
terjadi disekitar.
Keempat,
lebih senang bekerja mandiri. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi
biasanya lebih suka bekerja mandiri. Siswa seperti ini cenderung mengerjakan
tugas secara mandiri dalam arti tidak suka melihat pekerjaan teman lain,
apalagi copy paste pekerjaan teman.
Kelima, cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin. Siswa dengan motivasi belajar yang tinggi cenderung lekas bosan dengan tugas-tugas rutin. Siswa seperti ini tidak suka akan hal-hal yang bersifat berulang- ulang, karena dianggap tidak mengasah kreativitas. Sebaliknya, siswa seperti ini cenderung mencari hal-hal yang baru karena dengan begitu kreativitasnya terasah.
Keenam, dapat mempertahankan pendapatnya. Siswa
dengan motivasi belajar yang tinggi memiliki kemampuan untuk mempertahankan
pendapatnya jika terjadi diskusi. Siswa seperti ini suka berargumentasi dan
tidak mudah menerima begitu saja pendapat orang lain.
3). Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Motivasi Belajar
Motivasi belajar seorang siswa sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Yusuf (2009: 23), secara umum
motivasi belajar seorang siswa dipengaruhi oleh dua faktor berikut ini, yakni
faktor yang berasal dari siswa itu sendiri (internal) dan faktor yang berasal
dari luar siswa tersebut (eksternal).
a). Faktor internal
Faktor internal adalah fator-faktor yang
berasal dari dalam diri siswa yang mendorong siswa bersangkutan dapat
meningakatkan motivasi belajarnya. Yang termasuk dalam faktor-faktor internal
tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama,
Faktor fisik
Faktor
fisik yang dimaksud meliputi: nutrisi (gizi), kesehatan, dan fungsi- fungsi
fisik, terutama panca indera. Kekurangan gizi atau kadar makanan akan
mengakibatkan kelesuan, cepat mengantuk, cepat lelah, dan sebagainya. Kondisi
fisik yang seperti itu sangat berpengaruh terhadap proses belajar siswa di
sekolah. Siswa yang kekurangan gizi akansangat rentan terhadap penyakit. Hal
ini menyebabkan menurunnya kemampuan belajar, berpikir atau berkonsentrasi. Selain
itu, fungsi- fungsi jasmani seperti panca indera (seperti mata dan telinga)
juga dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi proses belajar. Panca indera
yang baik akan mempermudah siswa dalam mengerti proses belajar di sekolah.
Kedua,
Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor intrinsik yang berhubungan dengan aspek-aspek yang mendorong atau menghambat aktivitas belajar pada siswa. Faktor yang mendorong aktivitas belajar adalah antara lain: rasa ingin tahu (curiousity) dan ingin menyelidiki dunia (lingkungan) yang lebih luas,kreatif dan keinginan untuk selalu maju, keinginan untuk mendapat simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman, keinginan untuk memperbaiki kegagalan dengan usaha yang baru, keinginan untuk mendapatkan rasa aman apabila menguasai pelajaran, adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari proses belajar.Sedangkan faktor psikis yang menghambat adalah antara lain: tingkat kecerdasan yang rendah (lemah), gangguan emosional (seperti: merasa tidak aman, tercekam rasa takut, cemas, dan gelisah), sikap dan kebiasaan belajar yang buruk (seperti: tidak menyenangi mata pelajaran tertentu, malas belajar, tidak memiliki waktu belajar yang teratur, dan kurang terbiasa membaca buku mata pelajaran).
b)
Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor dari luar
individu/ siswa yang mempengaruhi motivasi belajarnya. Yang termasuk
faktor-faktor eksternal adalah sebagai berikut:
Pertama,
Faktor sosial
Faktor sosial yang dimaksudkan adalah factor
manusia (guru, konselor, dan orangtua), baik yang hadir secara langsung maupun
tidak langsung yang mempengaruhi motivasi belajar dalam diri siswa. Motivasi
belajar siswa akan bertumbuh dengan baik, apabila guru mengajar dengan cara
yang menyenangkan, seperti bersikap ramah, memberi perhatian pada semua siswa,
serta selalu membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar. Singkatnya,
motivasi belajar akan bertumbuh dengan baik apabila guru memiliki kompetensi
yang memadai. Selain guru, pada saat dirumah siswa juga harus tetap mendapatkan
perhatian dari orangtua, baik perhatian material (dengan menyediakan sarana dan
prasarana belajar)maupun perhatian secara psikologis (misalnya mendampingi saat
seorang anak mengerjakan tugas sekolah). Perhatian dan dukungan seperti itu
justeru dapat membantu dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa di rumah.
Kedua,
Faktor non-sosial
Faktor non-sosial yang dimaksudkan adalah
keadaan atau kondisi fisik di sekitar siswa yang juga turut mempengaruhi
motivasi belajar siswa tersebut. Faktor non-sosial itu meliputi keadaan udara
(cuaca panas atau dingin), waktu (pagi, siang, atau malam), tempat (sepi,
bising, atau kualitas sekolah tempat belajar), dan fasilitas belajar (sarana
dan prasarana). Seorang siswa memiliki gairah belajar yang tinggi kalau kondisi
fisik di sekitarnya kondusif. Sebaliknya, jika kondisi fisik sekitarnya kurang
kondusif, maka gairah belajarnya juga menurun.
Kompetensi Guru Pendidikan Agama
Katolik Era Milenial dan Pengaruhnya terhadap Peningkatan Motivasi Belajar
Peserta Didik
Kompetensi secara sederhana diartikan sebagai
kecakapan atau kemampuan (Rusman, 2017: 157). Kompetensi guru merupakan
kemampuan atau kecakapan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban- kewajiban
secara bertanggung jawab dan layak.Seorang guru harus dapat mengimplementasikan
tujuan-tujuan pendidikan yang akan dicapai, baik dari tataran tujuan nasional
maupun sekolah.Untuk mengantarkan tujuan tersebut, guru harus memiliki
kecakapan dan kemampuan yang menyangkut landasan pendidikan dan juga psikologi
perkembangan siswa. Dengan demikian strategi pembelajaran akan diterapkan
berdasarkan situasi dan kondisi yang ada di lingkungannya.
Kehadiran guru yang kompeten pada era milenial
ini sangat penting dan menentukan dalam proses pembelajaran.
Dikatakan demikian karena bagi siswa, guru sering dijadikan panutan atau model,
bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. Oleh karena itu, seorang guru seyogyanya
memiliki perilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswanya
secara utuh.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor
14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen, pada pasal 10 dikatakan bahwa seorang
guru harus memiliki empat kompetensi yakni kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Kompetensi-
kompetensi tersebut menjadi tuntutan yang harus dimiliki oleh seorang guru.
Seorang Guru Pendidikan Agama Katolik pada era milenial ini juga dituntut untuk
memiliki keempat kompetensi tersebut. Hal tersebut sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Sulardi (online: 2007). Ia mengemukakan bahwa dalam
menjalankan misinya, seorang Guru Pendidikan Agama Katolik harus mempunyai kompetensi yang erat kaitannya
dengan profesionalisme guru yaitu
kompetensi pedagogik (akademik mendidik), kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial dan kompetensi profesional.Selain keempat kompetensi ini, salah satu kompetensi yang khas dimiliki
oleh Guru Pendidikan Agama Katolik adalah kompetensi spiritual. Berikut ini
dijelaskan kaitan antara
kompetensi-kompetensi yang dimiliki seorang guru dengan motivasi
belajar siswa.
Kompetensi Pedagogik
Rusman (2017: 158) menjelaskan bahwa
kompetensi pedagogik adalah kemampuan seorang guru dalam mengelola
pembelajaran. Kompetensi ini meliputi pemahaman terhadap siswa (aspek fisik,
intelektual, sosial- emosional, moral, spiritual, dan latar belakang sosial
budaya), perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan siswa untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Artinya, guru harus mampu mengelola kegiatan pembelajaran, mulai dari
merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Guru harus menguasai
manajemen kurikulum, mulai dari merencanakan perangkat kurikulum, melaksanakan
kurikulum dan mengevaluasinya serta memiliki pemahaman tentang psikologi
pendidikan, terutama terhadap kebutuhan dan perkembangan siswa agar kegiatan
pembelajaran lebih bermakna dan berhasil guna.
Dalam
merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran, seorang guru
dituntut untuk memanfaatkan sarana teknologi yang ada supaya pembelajaran itu
berlangsung efektif dan atraktif. Ini menjadi tuntutan yang harus dipenuhi oleh
seorang guru di era milenial. Dikatakan demikian karena siswa yang dihadapinya
adalah generasi milenial yang nota bene mayoritas sudah melek teknologi.
Kalau seorang guru termasuk di dalamnya Guru
Pendidikan Agama Katolik memiliki kompetensi pedagogik dengan sederetan
kemampuan yang seharusnya ada padanya sebagaimana yang digambarkan, maka hal
tersebut pasti akan memberikan motivasi tersendiri bagi siswa di dalam
meningkatkan motivasi belajar mereka dalam mata pelajaran Pendidikan Agama
Katolik pun juga mata pelajaran lainnya.
Kaitan
antara kompetensi pedagogik guru dengan motivasi belajar telah terbukti melalui
beberapa penelitian ilmiah. Misalnya penelitian yang dilakukanolehSantri(2017)
tentang hubungan antara kompetensi pedagogik dengan motivasi dan hasil belajar
siswa SMA Negeri Watampone, Makasar. Hasil penelitian tersebut antara lain
menyimpulkan adanya hubungan positif antara kompetensi pedagogik guru dengan
motivasi belajar siswa SMA Negeri Watampone. Artinya, semakin tinggi kompetensi
pedagogik seorang guru, semakin tinggi motivasi belajar siswa. Sebaliknya,
semakin rendah kompetensi pedagogik seorang guru, semakin rendah pula motivasi
belajar siswa.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Kurniawan (2015) tentang pengaruh kompetensi pedagogik guru terhadap motivasi belajar siswa SMP Negeri 5 Blitar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kompetensi pedagogik memberikan pengaruh signifikan terhadap motivasi belajar siswa. Signifikansinya terletak pada sumbangan faktor kompetensi pedagogik sebesar 97 % terhadap motivasi belajar siswa. Selebihnya, 3 % dipengaruhi oleh faktor lain di luar kajian peneltian ini.
Kompetensi Kepribadian
Rusman (2017:158) menjelaskan bahwa kompetensi
kepribadian seorang guru berkaitan dengan kemampuan-kemampuan tertentu yang
harus dimilikinya dalam hal kepribadian. Seorang guru dikatakan kompeten dalam
kepribadian kalau ia tampil sebagai guru yang mantap, stabil, dewasa, dan
berakhlak mulia. Artinya, guru memiliki sikap dan kepribadian yang mantap,
sehingga mampu menjadi sumber inspirasi bagi siswa.
Dengan
kata lain, guru harus memiliki kepribadian yang patut diteladani, sehingga
mampu melaksanakan trilogi kepemimpinan seorang guru sebagaimana yang
dikemukankan oleh Ki Hadjar Dewantara, yakni:ing ngarsa sung tulada, ing madya
mangun karsa, dantut wuri handayani (di depan guru member teladan/ contoh, di
tengah memberikan karsa, dan di belakang memberikan dorongan/ motivasi).
Kompetensi kepribadian memang harus melekat
dalam diri seorang guru, terlebih di era milenialini. Salah satu tuntutan yang
harus dipenuhi oleh seorang guru, termasuk Guru Pendidikan Agama Katolik di era
milenialadalah kehadirannya yang harus menjadi role model bagi siswa. Siswa
pada era milenial menuntut kehadiran guru yang harus menjadi role model/
teladan bagi siswa dalam tutur kata dan tindakan. Tutur kata dan tindakan seorang
guru harus sejalan. Jika demikian, maka guru tersebut dapat dikatakan sebagai
guru yang memiliki kompetensi kepribadian yang memadai.
Penting sekali seorang Guru Pendidikan Agama
Katolik memiliki kompetensi kepribadian yang memadai terlebih di era milenial
ini karena kompetensi kepribadian ini berpengaruh kuat terhadap motivasi
belajar seorang siswa. Guru Pendidikan Agama Katolik yang memiliki
kepribadian baik tentu disukai oleh
siswa. Kesukaan pada guru yang berkepribadian baik membangkitkan motivasi siswa
untuk belajar lebih giat pada mata pelajaran yang
diampu guru yang bersangkutan. Konkretnya, kesukaan siswa pada Guru Pendidikan
Agama Katolik akan membangkitkan motivasi siswa untuk belajar lebih giat pada
Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik.
Ada beberapa penelitian dalam psikologi
pendidikan yang mengaitkan kompetensi kepribadian seorang guru dengan motivasi
belajar siswa. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Rohmah (2017) tentang
pengaruhkompetensi kepribadian guru terhadap motivasi belajar siswa Madrasah
Ibtidaiyah Raden Patah Pujon Malang. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya
pengaruh positif signifikan dari variabel kompetensi kepribadian
terhadap
motivasi belajar siswa Madrasah Ibtidaiyah Raden Patah Pujon Malang.
Disimpulkan bahwa semakin kompeten seorang guru dalam hal kepribadian, semakin
tinggi motivasi belajar pada siswa.
Selain itu, penelitian lain yang menegaskan
adanya korelasi antara variable kompetensi kepribadian guru dengan motivasi
belajar siswa adalah penelitian yang dilakukan oleh Aryani (2016) dengan judul
pengaruh kompetensi kepribadian guru terhadap motivasi belajar siswa kelas IV
dan V di SD PL Sugiyopranoto Klaten. Penelitian kualitatif ini menyimpulkan
bahwa kompetensi kepribadian guru berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa.
Motivasi belajar siswa meningkat ketika guru menunjukkan karakteristik
kepribadian yang menarik, antara lain sabar, humoris dan suka membuat pelajaran
berkesan. Sebaliknya, motivasi belajar siswa menjadi berkurang ketika guru
menunjukkan kepribadian yang kurang menarik, misalnya otoriter, terlampau serius
dan banyak menuntut siswa.
Kompetensi Sosial
Rusman (2017: 159) mengartikan kompetensi
sosial sebagai kemampuan seorang guru dalam berkomunikasi dan bergaul secara
efektif dengan siswa, sesama guru (pendidik), tenaga kependidikan, orangtua/
wali siswa, dan masyarakat sekitar. Artinya, ia menunjukkan kemampuan
berkomunikasi sosial, baik dengan siswa-siswinya maupun dengan sesama teman
guru, dengan kepala sekolah bahkan dengan masyarakat luas.
Guru Pendidikan Agama Katolik dituntut untuk
memiliki kompetensi sosial yang memadai. Dikatakan demikian karena menurut
Bauju (online, 2010), seorang Guru Pendidikan Agama Katolik adalah pendidik
sekaligus seorang pewarta. Tugas mendidik dan mewartakan selalu terarah pada
orang lain. Seorang pendidik dan pewarta selalu berhubungan orang lain. Di
sinilah seorang Guru Pendidikan Agama Katolik dituntut agar memiliki kemampuan
untuk membangun relasi sosial, dalam arti bisa berkomunikasi secara efektif
dengan
siswa, dengan sesama rekan guru, dengan orangtua dan masyarakat sekitar.
Kompetensi sosial yang mesti dimiliki oleh
seorang Guru Pendidikan bAgama Katolik dengan sejumlah keunggulan seperti
dipaparkan di atas, juga memengaruhi motivasi belajar siswa di sekolah.
Penelitian-peneiltian dalam bidang psikologi pendidikan juga membuktikan adanya korelasi
antara variabel kompetensi sosial dengan motivasi belajar siswa di sekolah.
Misalnya, penelitian Tirwan (2010) dengan judul Pengaruh Kompetensi Sosial Guru
IPS terhadap Motivasi Belajar Siswa di SMP Dua Mei Ciputat. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa variabel kompetensi sosial guru (X) mempengaruhivariabel
motivasi belajar siswa (Y) yaitu sebesar 43,4 %. Itu artinya pengaruh variabel
kompetensi sosial terhadap motivasi belajar berada pada taraf sedang atau cukup
dan selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti.
Sejalan dengan penelitian tersebut, ada juga
penelitian lain yang memberikan kesimpulan yang hampir serupa. Ardianti (2012)
melakukan penelitian dengan judul Hubungan Kompetensi Sosial Guru Dengan Motivasi
Belajar Siswa Kelas XI Ilmu Pengetahuan Sosial Pada Mata Pelajaran Ekonomi Di
Sekolah Madrasah Aliyah Darul Hikmah Pekanbaru. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kompetensi
sosial guru dengan motivasi belajar siswa kelas XI IPS pada mata pelajaran ekonomi di Madrasah Aliyah Darul Hikmah Pekanbaru. Dengan kata lain semakin tinggi kompetensi sosial guru maka semakin tinggi pula motivasi belajar siswa kelas XI IPS di Madrasah Aliyah Darul Hikmah Pekanbaru. Sebaliknya semakin rendah kompetensi sosial guru maka semakin rendah pula motivasi belajar siswa Kelas XI IPS di Madrasah Aliyah Darul Hikmah Pekanbaru.
Kompetensi Profesional
Rusman (2017: 159) mendefinisikan kompetensi
profesional sebagai kemampuan guru dalam menguasai materi pembelajaran secara
luas dan mendalam dan memungkinkan terintegrasinya konten pembelajaran dengan
penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan membimbingsiswa
memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.
Artinya guru harus memiliki pengetahuan yang luas
berkenandenganbidangstudiyangakandiajarkansertapenguasaandidaktik metodik dalam
arti memiliki pengetahuan konsep teoretik, mampu memilih model, strategi dan
metode yang tepat serta mampu menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran. Guru
pun harus memiliki pengetahuan luas tentang kurikulum dan landasan kepribadian.
Guru Pendidikan Agama Katolik pada era
milenial ini dituntut untuk memiliki kompetensi profesional. Sebagai seorang
guru di era milaneal, seorang Guru Pendidikan Agama Katolik dituntut untuk
menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Ia juga dituntut untuk
memiliki pengetahuan dalam konsep-konsep teoretik yang memadai, menguasai
strategi dan metode pembelajaran yang tepat, menguasai kurikulum serta landasan
kepribadian. Dengan kompetensi profesional yang dimilikinya, Ia akan mampu
menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, kreatif, efektif dan
menyenangkan sehingga mampu meningkatkan motivasi belajar siswa secara optimal.
Dengan demikian kompetensi profesional merupakan sesuatu yang sangat penting
untuk menumbuhkan dan meningkatkan motivasi belajar siswa.
Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan
untuk menegaskan adanya korelasi antara kompetensi
profesional guru dengan motivasi belajar siswa. Misalnya peneliltian yang
dilakukan oleh Aftiani (2016) yang berjudul Pengaruh Kompetensi Profesional
Guru Terhadap Motivasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi Kelas XI IPS 4
Di SMA Negeri 5 Cimahi. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif
antara kompetensi
profesional
guru dengan motivasi belajar siswa. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien
determinasi sebesar 62,5%. Hal ini menunjukkan bahwa variable X (kompetensi
profesional guru) mempunyai pengaruh 62,5% terhadap variabel Y (motivasi
belajar siswa). Sisanya sebesar 37,5% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak
diteliti oleh penulis.
Selanjutnya penelitian serupa dilakukan oleh
Santika, dkk. (2017) dengan judul Hubungan Antara Kompetensi Pedagogik Dan
Profesional Guru PPL Jurusan Pendidikan Teknik Informatika Terhadap Motivasi
Belajar Siswa SMK Se-Kota Singaraja. Setelah dilakukan uji korelasi parsial,
ditemukan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara kompetensi
profesional (X2) dengan motivasi belajar siswa (Y). Hal ini ditunjukkan oleh
koefisien korelasi
sebesar
0,50, artinya jika semakin baik nilai kompetensi profesional guru PPL, maka hal
tersebut akan meningkatkan motivasi belajar siswa, begitu pula sebaliknya.
Kompetensi Spiritual
Selain keempat kompetensi yang umumnya harus
dimiliki oleh semua guru, salah satu kompetensi yang khas harus dimiliki oleh
seorang Guru Pendidikan Agama Katolik adalah kompetensi spiritual (Hamu, 2011:
3). Kompetensi spiritual maksudnya kemampuan yang harus dimiliki seorang Guru
Pendidikan Agama Katolik dalam menunjukkan spiritualitas sebagai pribadi
beragama dan beriman. Ia harus dipandang dan diakui sebagai seorang pribadi
yang unggul dalam hidup rohani oleh karena relasinya dengan Tuhan. Ia dipandang
sebagai guru rohani untuk membimbing dan mendampingi siswa untuk berjumpa
dengan Tuhan. Karena itu terkait hal ini, tutur kata dan gerak gerik seorang
Guru Pendidikan Agama Katolik haruslah menjadi model spiritual bagi anak
didiknya.
Guru Pendidikan Agama Katolik pada era milenial
ini harus menjadi role model, termasuk dalam hal spiritual ini. Dikatakan
demikian karena sebagaimana dikatakan di atas bahwa generasi (siswa) milenial
identik dengan pandangan rasional, apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan
akan melahirkan persepsi. Membentuk persepsi yang baik sangat penting
ditunjukkan oleh seorang guru melalui keteladanan. Dikatakan demikian karena
menurut teori Belajar Sosialnya Albert Bandura, siswa biasanya memiliki
kecenderungan untuk belajar dengan meniru orang lain. Dalam hal ini yang ditiru
adalah guru.
Kalau seorang Guru Pendidikan Agama Katolik memiliki kompetensi spiritual, maka dengan sendirinya para siswa akan merasa senang dan termotivasi untuk belajar agama. Lebih dari itu siswa dapat menghayati nilai- nilai agama dalam kehidupan sehari-hari kalau mereka memiliki persepsi positif terhadap guru Pendidikan Agama Katolik. Karena itu, tuntutan untuk memiliki kompetensi spiritual menjadi sebuah keharusan.
Guru
Pendidikan Agama Katolik dipanggil untuk mengemban misi menjadi pendidik/
pengajar dan pewarta. Sebagai pewarta, ia dituntut untuk menampilkan jati dirinya
sebagai pribadi yang unggul, tidak saja dalam kata- kata tetapi terutama
melalui kesaksian hidup yang nyata, baik dalam konteks sekolah maupun dalam
kehidupan yang lebih luas di tengah masyarakat/ gereja di mana guru itu hidup
dan berkarya. Sebagai seorang pendidik/ pengajar, seorang Guru Pendidikan Agama
Katolik dituntut agar menjadi guru yang sungguh-sungguh kompeten. Guru yang
kompeten merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi khususnya di era
milenial ini.
Kompetensi yang harus dimiliki seorang Guru
Pendidikan Agama Katolik adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, kompetensi profesional dan kompetensi spiritual. Kalau
seorang Guru Pendidikan Agama Katolik memiliki kompetensi-kompetensi tersebut,
niscaya akan membangkitkan motivasi belajar pada siswa. Sebaliknya, jika Guru
Pendidikan Agama Katolik kurang memiliki kompetensi-kompetensi
tersebut, maka hal tersebut pasti akan mengurangi gairah atau motivasi siswa untuk belajar lebih tekun dan ujung-ujungnya menyebabkan rendahkan prestasi belajar.
Para guru dan calon guru di era milanieal ini,
khususnya Guru Pendidikan Agama Katolik diharapkan untuk menjadi guru yang
selalu memiliki spirit kepenasaranan intelektual (intellectual curiousity).
Janganlah cepat merasa puas dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah
diperoleh. Para guru dan calon guru di era milenial ini harus selalu
memanfaatkan berbagai sarana teknologi, informasi dan komunikasi yang ada untuk
mengakses berbagai ilmu pengetahuan supaya mereka menjadi guru yang berwawasan luas,
berketerampilan dan memiliki kompetensi yang memadai sehingga bisa menjawabi
tuntutan zaman, khususnya menjawabi kebutuhan generasi/ siswa milenial di mana
mereka berkarya.