Pengertian dan Hakikat Psikomoral Kristiani (Refleksi atas Kajian Modul)

Pengertian dan Hakikat Psikomoral Kristiani (Refleksi atas Kajian Modul)

Psikomoral kristiani mempunyai elemen-elemen yang khas yang menjadi tolok ukur untuk menilai perbuatan seseorang, serentak sebagai kriteria yang membedakannya dengan psikomoral yang lainnya atau psikomoral pada umumnya. Para peserta diminta untuk menguraikan elemen-elemen piskomoral kristiani 

 


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) Apakah ada suatu moralitas kristiani itu? Apa kekhasannya dibandingkan dengan sistem-sistem moral yang lain? Moralitas kristiani bersumber atas iman kristiani, yaitu iman akan Tuhan Yesus Kristus. Iman akan Tuhan Yesus inilah yang menjadi pembeda substansial moralitas kristiani dari sistem-sistem moral yang lain. Untuk lebih memahami tentang elemen-elemen Psiko moral Kristiani berdasarkan kegiatan belajar 1 tentang Psiko Moral Kristiani Berbasis Kristologi akan diuraikan sebagai berikut:

1.      Pengertian Psiko Moral Kristiani

a.      Pengertian Psiko (Psyche)

Kata Psikomoral merupakan gabungan dari dua suku kata, yakni kata Psiko dan moral. Secara etimologis Kata psiko berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyche yang berarti jiwa atau anima dalam bahasa latin. Psyche selanjutnya tidak hanya menyatakan pada jiwa tetapi juga semua fenomena yang berkaitan dengan kejiwaan manusia. Kata tersebut juga digunakan untuk menggambarkan seluruh proses kejiwaan (mental) manusia.

Dalam dunia filsafat Yunani, kata psyche bukan saja merujuk pada pikiran tetapi juga perasaan dan keduanya menentukan pola tingkah laku manusia. Hidup manusia  di dunia dinahkoda oleh pikiran dan perasaannya. Dengan demikian, psyche memiliki kedudukan sentral dalam diri manusia. Psyche-lah yang membuatnya hidup.

Aristoteles menngklaim jiwa sebagai prinsip hidup (entelechie) bagi semua makhluk hidup. Dengan demikian, Aristoteles menegaskan bahwa semua makhluk hidup memiliki jiwa tetapi dengan hirarki yang berbeda. Baginya ilmu jiwa adalah ilmu yang berhubungan dengan gejala-gejala hidup, sehingga tiap-tiap makhluk yang hidup itu sebenarnya mempunyai jiwa. baik manusia maupun hewan ataupun tumbuh-tumbuhan mempunyai jiwa, sedangkan Plato berpendapat bahwa hanyalah manusia yang mempunyai jiwa.

Menurut Aristoteles terdapat tiga  macam jiwa, yang bertingkat-tingkat tarafnya. Taraf paling rendah dimiliki oleh jiwa tumbuh-tumbuhan yang disebutnya jiwa vegetatif, sesudah itu terdapatlah jiwa hewan atau jiwa sensitif, dan pada akhirnya terdapatlah jiwa manusia atau jiwa intelektif yang mempunyai taraf kehidupan yang tertiggi. dan pembagian taraf-taraf kehidupan  tersebut di dasarkan atas taraf-taraf daya kemampuan masing-masing jiwa itu. Tetapi di sini Aristoteles tidak menjelaskan bahwa jiwa rasional sebagai kategori tertinggi dari tiga jenis jiwa tersebut merupakan proses dari evolusi dari jiwa vegetatif lalu berkembang menjadi jiwa sensitif dan kemudian mencapai kesempurnaannya dalam jiwa rasional.

Plato yang melihat jiwa sebagai gambaran dari dunia idea (metafisik) berbeda dengan Aristoteles. Ia membuat pemisahan jiwa dari badan. Baginya manusia itu terdiri dari jiwa dan badan. Jiwa menurutnya memiliki kemampuan lebih tinggi dari badan, karena ia bisa mengenal dunia metafisis. Tetapi keunggulan jiwa akan menjadi kerdil ketika ia berada di dalam materi, tubuh. Bagi Plato, tubuh adalah penjara bagi jiwa. Kerinduan jiwa yang paling utama menurutnya adalah bisa membebaskan diri dari badan, materi.

Menurut Plato, dalam konteks manusia, yang menggerakan tubuh itu adalah jiwa. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menganggap bahwa realitas adalah apa yang nampak, tapi menurut Plato, justru sebaliknya, apa yang terlihat itu bukanlah realitas yang sebenarnya. Realitas yang sebenarnya adalah apa yang ada di dalam jiwa. Sebagai contoh, dalam konteks ‘akal’. Jika kita melihat sebuah kipas angin yang berputar dan membuat sejuk di waktu cuaca sedang panas, maka sebenarnya itu bukanlah realitas aslinya, melainkan itu adalah wujud dari idea yang menjadi realitas sebenarnya. Jadi kipas angin itu eksis karena adanya idea tentang kipas angin.

Berdasarkan urain ini dapat disimpulkan bahwa Jadi Psyche berarti jiwa manusia yang memberinya daya hidup. Manusia hidup karena di dalam dirinya ada jiwa (roh).

 

b.      Pengertian Moral

Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari Bahasa Latin yaitu Moralitas adalah istilah manusiamenyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.

Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan prosessosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.

 

c.      Pengertian Psikomoral Kristiani

Psikomoral  menggambarkan kematangan ekspresi diri manusia yang memenuhi standar kelayakan intelektual dan moral.  Psikomoral kristiani memberikan penegasan pada identitas khas dari pertimbangan, tindakan dan penilaian moral yang berbasis pada kebajikan kristiani. Artinya, tindakan moral itu baik menurut pandangan kristen tidak saja memenuhi standar kelayakan intelektual tetapi juga baik menurut moral kristen.

 

 

2.     Hakikat Moral Kristiani

a.      Hakikat psiko moral secara umum

Pemikir klasik seperti Aristoteles melihat jiwa sebagai prinsip hidup untuk semua makhluk hidup dan hanya manusia yang memiliki jiwa rasional. Jiwa itu bersifat kela karena hakikatnya yang metafisis. Ia sanggup berkomunikasi dengan dunia Idea. Filsuf Kuno Herakletos menegaskan bahwa, jiwa-jiwa makhluk dan jiwa manusia terbentuk dari bahan seperti api abadi, yang memiliki dimensi tak terbatas. Sokrates dalam Plato, mengajrkan bahwa tubuh (materi) akan mati (hancur), sementara jiwa terus menerus dilahirkan kembali (berinkarnasi) dalam tubuh berikutnya.

Sejarah ide dunia Barat dimulai sejak zaman Yunani Kuno sekitar abad ke-5 sM, dengan filsuf-filsuf terkenal seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles. Ketiga filsuf tersebut mengatakan bahwa prinsip-prinsip moral itu bersifat Objektivistik, naturalistik, dan rasional. Maksudnya, meskipun bersifat obyektif sebagaimana yang telah dikemukakan, akan tetapi moral itu merupakan bagian dari kehidupan duniawi (natural) dan dapat dipahami melalui proses penalaran atau penggunaan akal budi (rasional). Sokrates mengajarkan tentang adanya kebenaran yang bersifat mutlak. Dan menurutnya, manusia bisa memiliki atau mencapai pengetahuan yang objektif tentang kebenaran melalui kemampuan akal budi atau rasionya.

Plato (427-347 sM), pencetus istilah dunia ide, mengatakan bahwa ide itu memiliki eksistensi yang nyata dan obyektif. Pendapat ini sekaligus untuk menyanggah kaum Sofisme yang mengatakan bahwa tidak mungkin terdapat suatu pengetahuan dan juga moral yang bersifat objektif, sebab dunia itu sendiri terus-menerus berubah. Menurut padangan Plato, pengetahuan maupun moral yang bersifat obyektif itu sangat mungkin, meskipun tidak di dunia fisik. Ia mengemukakan adanya dua dunia, yaitu dunia fisik dan dunia ide. Dunia fisik itu terus berubah wujud, sementara dunia ide atau dunia cita-cita itu adalah dunia yang abadi bersifat kekal.

 

b.      Hakikat Psiko Moral Kristiani

Salah seorang Filsuf terkenal abad ke 18 adalah Immanuel Kant. Dalam refleksi filosofisnya, ia mengemukakan empat pertanyaan dasar ini: Apa yang bisa saya ketahui? (Was kann ich wissen); Apa yang harus saya lakukan (Was soll ich tun); Apa yang bisa (boleh) saya harapkan?  (Was darf ich hoffen); Apakah manusia itu? (Was ist der Mensch).

4 pertanyaan filosofis ini menjadi penghantar untuk merefleksikan tentang Hakikat Moral Kristiani dalam terang Kitab Suci khususnya dalam Injil Sinoptik (Matius 19:16-26 bdk. Markus 10:17-27 dan Lukas 18:18-27) tentang Kisah Pemuda kaya.

Di dalam teks-teks ini berkisah tentang seorang “pemuda“ (Matius), “orang” (Markus), “pemimpin” (Lukas) yang kaya. Ia bertanya kepada Yesus: “Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? Penamaan identitas pencari hidup abadi yang berbeda dalam ketiga penginjil diselraskan pada prinsip umum kewajiban moral dalam hidup keagamaan, bahwa hidup kekal adalah kerinduan semua orang beragama dalam segala usia. Dan tidak seorang pun yang mengenal jalan yang terbaik untuk mencapai tujuan itu. Karena itu terungkap sebuah pertanyaan etis moral yang mendasar: Apa yang harus saya perbuat?

Respond Yesus terhadap pertanyaan etis ini bisa dibagi dalam dua kategori, yang sekaligus menjadi prinsip moral, yakni kriteria moral menurut hukum dan menurut praksis moral. Pertama, syarat menjalankan ketetapan hukum. Kata Yesus kepada orang kaya itu, “engkau tentu mengetahui segala perintah Allah” (Lk.18:20). “Jika engkau ingin menjadi baik maka turutilah  segala perintah itu. Yesus mengajarkan ketaatan formal kepada hukum. Pemuda itu memberi jaminan kepatuhannya terhadap semua ketentuan hukum itu. “Kata orang muda itu kepadaNya: Semuanya itu telah kuturuti. Apalagi yang masih kurang?” (Mat.19:20).

Kekurangan terbesar terletak pada penghayatan terhadap ketetapan hukum-hukum moral sebagai syarat eksternal yang harus dipenuhi untuk mencapai hidup kekal. Hukum-hukum Allah yang terformula sebagai hukum formal dipandang sebagai kewajiban moral yang dipaksakan pelaksanaanya kepada setiap orang yang mengakui dirinya sebagai orang beragama. Orang kaya dalam kisah ini sudah sampai pada menghayati hukum karena tuntutan eksternal dan bukan karena tunutan internal dirinya sendiri karena itu harus dilaksanakan. Kant menyebut tahap ini  dengan sebutan heteronomi moral. Itu belum cukup. Karena itu, Yesus memberikan tawaran alternatif kedua, yaitu praksis moral. “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutilah Aku” (Mt.19:21). Yesus kini masuk lebih dalam ke dalam diri orang kaya itu. Ia memintanya untuk berani membuat keputusan radikal dalam hidupnya. Dan keputusan tersebut harus keluar dari nuraninya yang terdalam. Moralitas tindakan moral terukur bukan pada hasilnya saja tetapi terutama pada keterarahan hati kepada yang baik. Cara ini menghantar setiap orang untuk sampai pada otonomi moral dalam konsep pandangan Kant.

Tujuan akhir pencarian si pemudaya kaya dalam kisah di atas adalah hidup abadi (kekal). Artinya Bersekutu dengan Allah. Ada bersama Allah berarti berada dalam sukacita abadi. Maka kebajikan yang direfleksikan disini berbasis iman yang hidup dalam perbuatan konkret. Buat baik terhadap sesama yang miskin danterpinggir adalah jalan terbaik untuk mencapai kebaikan tertinggi. Kant menyebut kebaikan tertinggi adalah kebahagiaan. Untuk itu orang harus memenuhi dua syarat untuk bahagia, yakni kebajikan dan kewajiban (Tugend und Pflicht).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat psikomoral kristiani adalah moral religius yang didasarkan pada pewahyuan diri Allah di dalam PutraNya, Yesus Kristus. Dengan demikian tindakan moral yang baik tidak saja ditentukan dari hasil penalaran akal budi manusia (pengetahaun), pelaku tindakan moral, tetapi dari pencarian akal budi terhadap apa yang dipikirkan Allah. Itulah yang dilakukan oleh pemuda kaya dalam kisah di atas. Ia terus mencari kehendak Allah. Karena itu ia bertanya kepada Yesus: Apa yang harus kuperbuat? Pribadi Yesus, sabda dan tindakannya adalah referensi dan kriterium normatif sekaligus sumber dari seluruh tindakan moral. “Kemudian datanglah kemari dan ikutilah Aku” (Mt.19:21). Karena itu, iman yang hakiki akan akan Yesus merupakan dasar dari seluruh bangunan elaborasi etis dalam moral kristiani. Semua elaborasi etis dalam moralitas kristiani harus sesuai dengan kabar gembira yang disampaikan Yesus. Maka psikomoral kristiani mesti berbasis kristologis. Tidak ada moralitas kristiani tanpa Yesus Kristus.

 

3.      Psiko Moral Kristiani Berbasis Kristologi

Dalam pengalaman moral, Gereja menempatkan kemurahan hati di atas semua determinasi moral. Aturan emas, yang didasarkan pada perspektif otonomi kebebasan, dengan demikian memperoleh makna baru.

 

a. Caritas dalam karya karitatif (Mt.22: 37-40)

Ketika Yesus berhadapan dengan tantangan untuk mereduksikan seluruh Taurat pada inti yang mudah dipahami manusia, ia menegaskan kasih sebagai landasan utama. Cinta itu berkarakter ganda, yakni terarah kepada Allah dan berorientasi pada sesama. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum terutama dan pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mt.22:37-40). Disini ada dua pokok pikiran yang ditawarkan Yesus tentang cinta.

Pertama, mencintai Allah secara utuh dengan jiwa dan badan. Mencintai Allah dalam konteks ini bisa berarti percaya sungguh-sungguh kepada Allah. Orang yang percaya merasa aman ketika ia mempercayakan seluruh dirinya kepada Allah. Iman ialah kerelaan menerima kabar baik tentng hadirnya kerajaan Allah, dan bahwa Yesus diutus untuk memaklumkannya. Ini bukan iman dogmatis yang menyetujui ajaran tertentu, melainkan penyerahan diri secara total kepada Allah dan rencanaNya untuk menyelamatkan manusia (Peschke II, 2003:13-14). Isi iman adalah Kristus sendiri, Sabda Allah yang telah menjadi manusia. Unsur-unsur iman alkitabiah menurut Peschke lebih lanjut, yaitu percaya, menyerahkan diri kepada Allah, berpegang pada Allah dan perkataan-perkataanNya (Peschke II, 2003:15). Penyerahan diri secara total kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintahNya adalah sikap iman yang paling mendasar. Itu juga merupakan konsekwensi logis dari sikap cinta yang total kepadaNya. Kedua, mencintai sesama seperti diri sendiri. Penyerahan diri yang total kepada Allah sebagai sikap iman terwujud dalam melaksanakan sabdaNya dalam kenyataan hidup sehari-hari. Itu berarti kosep totalitas iman hanya bisa diukur dalam kepatuhan melaksanakan kebajikan kemanusiaan.

Tindakan kemanusiaan yang umum sebagai aplikasi dari cinta, yaitu menghendaki sesuatu yang baik untuk orang lain. Menghendaki kebaikan bagi sesama pertama-tama berarti ada sikap menerima dan menghargai karunia baik yang dimiliki sesama berupa karunia-karunia jasmani dan rohani, kodrati dan adikodrati.

Untuk kata cinta yang sama Agustinus memaparkan tiga konsep yang berbeda yaitu cinta kasih (caritas), cinta untuk membuat pilihan (dilectio) dan cinta erotis (amor). Caritas merujuk pada cinta yang tertingg yakni mencintai Allah dengan segenap hati seperti yang dimaksudkan dalam Injil masuk kategori caritas. Dalam pengertian yang lebih mendasar, caritas mengacu pada kasih Allah tetapi yang dikonkritkan dalam tindakan karitatif. “Saudara-saudaraku yang terkasih; marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah Allah adalah kasih (1 Yoh.4:7). Kasih itu dinyatakan kepada kita melalui PutraNya Yesus Kristus (1 Yoh.4:9). Dan melalui pembaptisan, kita semua adalah saudara dan saudari dalam iman. Karena itu, kalau Allah yang adalah kasih telah mengasihi kita melalui Yesus Kristus putraNya yang tunggal, maka kita pun hendaknya saling mengasihi”(1 Yoh.4:11,19). Dilectio mengacu pada obyek yang pantas, bermartabat yang bisa dipilih. Sedangkan amor itu adalah cinta erotis. Selain ketiga term itu, Augustinus masih menyebut Agape untuk merumuskan cinta Allah yang total kepada manusia.

 

Eros dilihat sebagai cinta yang menggelora penuh gairah membutuhkan pemurnian sehingga ia tidak berjalan ke arah yang salah. Dua hal menjadi jelas tentang cinra eros dalam sejarah dan masa kini. Di satu sisi, cinta itu entah bagaimanapun ada kaitannya dengan yang ilahi: Ia menjanjikan ketidakterbatasan, keabadian - yang lebih besar dan sama sekali berbeda dari kehidupan sehari-hari dari keberadaan manusia di dunia ini. Namun, pada saat yang sama, telah ditunjukkan bahwa jalan ke sana tidak dapat ditemukan begitu saja dalam kekuatan naluri yang luar biasa. Pemurnian dan pematangan diperlukan, yang juga mengarah ke jalan pelepasan keduniawian. Ini bukan penolakan terhadap eros, bukan peracunannya, tetapi penyembuhannya menuju kebesarannya yang sebenarnya.

 Kedua Motif dasar cinta terhadap sesama adalah cinta Allah sendiri kepada setiap orang, karena setiap anak manusia adalah ciptaaNya, yang secara sangat spesial dekat denganNya dalam kedekatan eksistensial. Allah sendiri memberi nafas kehidupan kepada setiap manusia ciptaanNya. Itu berarti, Allah berada sangat intim dengan manusia. Ia sendiri bertahta di dalam diri manusia, Ia menguasai ruang dalam, di dalam kehidupan manusia. Paulus menyebut tubuh manusia adalah kenisah Roh Kudus. Maka, berbuat baik kepada sesama berarti menghargai, menghormati kenisah istimewa tempat kediaman Allah. Dengan demikian, muara kebajikan kemanusiaan adalah juga Allah sendiri.

 

a.      Identifikasi diri dengan orang-orang susah

Teks yang relevan tentang identifikasi diri Yesus dengan orang susah dapat kita baca dalam Matius 25:31-46. Perikop ini dibuka dengan memperkenalkan Yesus sebagai „Anak manusia“. Ini salah satu gelar Yesus yang dikenal di dalam Kitab Suci dan Tradisi Gereja. Ia datang pada akhir zaman tetapi dengan kemuliaanNya. Kata “kemuliaan” ini memberi penekanan pada identitas lain dari Anak Manusia itu, yakni sebagai Raja. Hal ini dipertegas dengan formula eksplisit, bahwa ia bersemayam di atas tahtaNya (25:31-32). Raja ini kemudian sekaligus menjadi hakim akhir zaman yang berkuasa menilai dan memilah-milah, membedakan dengan tegas domba dari kambing lalu menempatkan keduanya pada posisi yang pantas seturut kriteria Keputuasan sang raja. Dalam konteks ini, Yesus mengangkat kebiasaan para gembala Israel, yang memisahkan domba dari kambing pada malam hari. Dengan demikian analogi tentang pemisahan kambing dari domba untuk sebuah keputusan berbasis moral tidak menyentuh langsung karakter kedua hewan tersebut. Sebaliknya hanya beredoman pada tradisi para gembala.

Ketidakpekaan untuk mengimani Yesus di dalam diri sesama yang menderita berakibat tragis bagi manusia. Ia akan masuk ke dalam api kekal, hukuman abadi. Sebaliknya, mereka yang peka akan kehadiran Yesus di dalam diri sesamanya yang menderita dan berkesusahan akan menerima berkat sukacita surgawi. “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan; ketika aku telanjang, kamu memberi aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Mt.25:35-36). Kelompok manusia yang tidak peka kepada sesama berlaku sebaliknya. Mereka menutup mata terhadap penderitaan dan kemalangan sesama. Dan dengan itu, mereka tidak peduli terhadap Yesus yang telah mengidentifikasikan diriNya dengan sesama yang bernasib malang di dunia ini. “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mt.25:40).

Moralitas Yesus tidak berakhir pada karya-karya karitatif tetapi lebih jauh lagi, yaitu masuk lebih mendalam sampai ke identifikasi diri dengan sesama yang berkesusahan dan menderita karenanya. Pemenuhan kerinduan akan surga, kehidupan kekal atau persekutuan sukacita dengan Allah akan terukur dari kepekaan kita mengalami atau menjumpai Yesus di dalam diri sesama yang menderita (0potion foor the poor).

 

b.      Moralitas plus: Mengampuni musuh

Perintah untuk mencintai musuh ini dalam arti tertentu memurnikan ” aturan emas” dari tindakan yang mempunyai pamrih menuju ke tindakan murah hati, lepas dari kepentingan diri, tidak mengharap imbalan baik tersurat maupun tersirat sehingga mengantar ke penerimaan orang lain secara tulus. Hubungan tidak lagi berbasis pada do ut des (saya memberi, supaya engkau memberi), tetapi dilandasi atas pengakuan terhadap kebaikan yang telah lebih dahulu diberikan oleh Tuhan. Karena Yesus Kristus telah menyelamatkan kita, maka kita akan berbuat yang sama terhadap orang lain. Maka perintah mencintai musuh menentukan kekhasan moral kristiani. Perintah itu mengikuti logika kemurahan hati dan melampaui logika kesalingan (do ut des) yang menjadi pegangan moral sehari-hari. ”Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya” (2Kor.8,9). Radikalitas kasih Kristus ini menjawab keraguan Derrida yang mempertanyakan apakah mungkin memberi atau mengampuni secara tulus.

 

1.   Refleksi/ Pemaknaan atas Hasil Kajian Modul

“Manusia tidak menciptakan moralitas semaunya, untuk memenuhi kebutuhan, keinginan, kecenderungan dan aspirasi mereka. Justru sebaliknya, moralitas yang mendefinisikan apa artinya manusia.” (Kohak)

Pernyataan Kohak di atas menunjukkan bahwa kualitas identitas seseorang sangat bergantung pada moralnya. Morallah yang mengangkat identitas dirinya sebagai manusia yang berbudi baik.

Lebih lanjut Psikologi Ervis Staus Mendefensikan  moralitas sebagai serangkaian aturan, kebiasaan atau prinsip yang mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan sesama, suatu perilaku yang mencerminkan keluhuran manusia. Karena itu, moral menjadi salah satu elemen penting dari keberadaan manusia itu sendiri. Karena moral sebenarnya menjunjung tinggi kemanusiaan dan selalu berasal dari suara hati sebagai sumber moral itu sendiri.

Berbicara mengenai merawat moralitas kaum muda, khususnya kaum muda katolik, tidak terlepas dari memperhatikan secara serius masalah-masalah yang berpusat pada pembentukan suara hati dewasa yang kristiani. Dalam membina suara hati ala kristiani, kaum muda katolik sebenarnya harus lebih memperhatikan relasi personal dengan Yesus sebagai kebenaran sejati.

Relasi personal dengan Yesus Kristus mengantar kaum muda untuk makin akrab dengan komitmen dan kewajiban yang menyertai relasi itu sendiri, yakni berbuat kasih. Hal ini bertujuan untuk mencegah kaum muda katolik yang terjerumus ke dalam kenakalan remaja yang sangat memprihatinkan sekarang ini.

Akan tetapi, kaum muda sering cenderung menitikberatkan pada ‘relasi salah langkah’. Maksudnya adalah kaum muda sering melakukan hal-hal yang berkaitan dengan dosa, sehingga memutuskan relasi personal dengan Yesus Kristus.

Oleh karena itu, kaum muda perlu memasuki proses moral-spiritual sebagai umat kristiani. Sehingga kehidupan moral spiritual adalah proses pembukaan bertahap atas hakikat pribadi kita sebagai umat kristiani. Sungguh jelas bahwa kaum muda hendaknya lebih menekankan relasi yang intim dengan sang sumber hidup kristiani yang sejati.

Yesus Kristus adalah sumber moralitas kristiani. Yesuslah yang menguatkan, mendukung, memelihara, menegur, dan mengampuni kaum muda ketika mereka tidak menanggapi panggilan-Nya dengan berkata, “Mari ikutlah Aku.”

Rahmat perjumpaan dari persahabatan yang senantiasa makin dalam inilah yang menyentuh kaum muda dan membimbingnya untuk memahami panggilan pribadinya atau kualitas sentral dan kemudian menanggapinya secara lebih penuh. Dengan demikian, kaum muda mampu menanggapi kebutuhan Gereja (Pius, 2014).

Mengalami proses pematangan moral, kaum muda pun turut berandil dalam perkembangan Gereja. Jadi, intimitas dalam relasi dengan Yesus sangat diperlukan.

Bila kita memusatkan perhatian pada pribadi dengan Yesus Kristus ini, maka komitmen yang relasional berkembang di tengah komunitas iman. Dalam komunitas ini, manusia hidup bersama orang lain, dipanggil pertama-tama lewat pembaptisan pun kemudian dikembang-suburkan melalui pemecahan roti dalam ekaristi.

Kaum muda berkembang makin matang, sikap moralnya pun makin terikat pada persahabatan dengan Yesus Kristus sebagai kepala Gereja (Emil, 2018). Dengan demikian, kaum muda yang sudah matang mampu mengikuti jejak Santo Paulus dan berani berkata seperti Santo Paulus; ‘hidupku yang sekarang bukan lagi milikku, Krituslah yang hidup dalam diriku.’ (Gal, 2:20).

Lebih jauh lagi, pembentukan sikap moral akan membantu kaum muda dapat secara bertahap untuk mewujud-nyatakan pilihannya menyangkut panggilan kerasulan yang nyata. Melalui pengalaman yang relasional dan personal dengan Yesus Kristus sebagai sahabat, maka tugas kerasulan akan diterima sebagai tanggung jawab.

Misalnya sharing kitab suci, katekese, rekoleksi, misdinar, lector, dan lain-lain. Hal ini pula membuat kaum muda bertumbuh menuju pemahaman yang sejati bahwa penderitaan, kekecewaan dan kesulitan hidup sungguh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tanggapannya terhadap ajakan Yesus “Mari ikutlah Aku”.

Demi mengondisikan relasi personal dengan Yesus, di sini keluarga memiliki andil yang sangat penting. Suasana dalam kehidupan keluarga yang kurang harmonis dan pola-pola pendidikan yang kurang baik serta pengabaian sisi spiritual dalam proses pembinaan dapat menghambat perkembangan perilaku moral yang pada gilirannya dapat menimbulkan penyimpangan moral.

Oleh karena itu, internalisasi nilai moral yang bersandar pada relasi personal dengan yesus memberikan daya tangkas atau pencegahan secara dini bagi kemungkinan terjadinya perilaku amoral. Selain itu, pendidikan yang baik, komunikasi yang terbuka, dan latihan rohani akan membantu kaum muda merawat moralitas kristiani.


 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama