Dalam artikel ini, kita menelusuri evolusi filosofis
dari gagasan dialektika, mulai dari asal-usulnya di Yunani kuno hingga
perkembangannya dalam filsafat Barat modern.
Perjalanan Filosofis Dialektika: dari Zaman Kuno
hingga Modernitas
Seperti yang dikatakan oleh filsuf kontemporer
Barbara Cassin dalam Vocabulary of
European Philosophies:
“Sejarah istilah
dialektika dengan sendirinya merupakan sejarah filsafat yang cukup panjang.”
Sepanjang sejarah, dialektika telah menjadi sumber
inspirasi dan alat yang digunakan oleh berbagai aliran pemikiran. Makna dan
interpretasinya beragam, mulai dari metode debat dan logika hingga kerangka
kerja untuk menjelaskan perkembangan konseptual atau sosioekonomi.
Para filsuf telah memperdebatkan apakah dialektika
merupakan sesuatu yang melekat pada realitas atau sebuah proses dalam pikiran
manusia, dan apakah dialektika melibatkan dua pandangan yang berlawanan atau
kontradiksi dalam sebuah konsep. Terlepas dari perdebatan ini, istilah
dialektika secara konsisten menunjuk pada proses perubahan atau kemajuan yang
ditandai dengan gerakan maju-mundur.
Untuk menelusuri asal-usul pemikiran dialektis, kita
harus mempelajari filsafat Yunani kuno. Salah satu tokoh yang menonjol dalam
hal ini adalah filsuf Heraclitus. Dianggap sebagai pelopor pemikiran dialektis
oleh Friedrich Engels dan Karl Marx pada abad ke-19, Heraclitus menekankan
pentingnya kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan dalam kosmos dan peran
mereka dalam pembangunan. Gagasan tentang kesatuan dari hal-hal yang berlawanan
inilah yang membuatnya mendapatkan pengakuan ini.
Heraclitus dan
Kesatuan yang Berlawanan
Sebagai seorang filsuf Pra-Sokrates, Heraclitus
adalah salah satu filsuf Yunani kuno yang merenungkan konsep arche.
Istilah Yunani Kuno arche terutama mengacu pada “asal” atau “permulaan” dan
berhubungan dengan prinsip dasar yang darinya semua hal lain berasal. Para
filsuf ini terutama terlibat dalam teori kosmologi dan ontologi, yang berusaha
mengidentifikasi substansi yang menjadi asal mula segala sesuatu.
Thales, yang sering dianggap sebagai filsuf pertama
dalam sejarah, menyatakan bahwa air adalah arche alam semesta.
Demikian pula, Anaximander kontemporer Thales, dari aliran Milesian,
menghubungkan arche dengan udara, sementara Pythagoras percaya bahwa
alam semesta pada dasarnya terdiri dari angka-angka.
Sebaliknya, filsuf Ionia, Heraclitus, percaya bahwa
api adalah arche alam semesta. Tapi mengapa api? Bagi Heraclitus, jawabannya
terletak pada perubahan konstan yang terkandung dalam api, seperti yang ia nyatakan, “alam
semesta dulu dan sekarang dan akan menjadi: api yang selalu hidup…”
Heraclitus percaya bahwa alam semesta berada dalam
kondisi yang terus berubah. Dia mengilustrasikan perspektif ini dengan analogi
di mana dia berpendapat bahwa seseorang tidak dapat melangkah ke sungai yang
sama dua kali, karena baik orang maupun sungainya berbeda setiap kali.
Dalam filsafatnya, api melambangkan pergerakan
melalui konsumsi diri, yang mewakili gagasan bahwa segala sesuatu selalu
berubah setelah berasal dari api. Teori Heraclitus menyatakan bahwa semua aspek
alam berada dalam keadaan berubah secara konstan, dengan api yang berubah
menjadi air dan tanah, dan sebaliknya, dalam sebuah siklus yang abadi.
Aspek penting dari filsafatnya adalah bertemunya dua
hal yang berlawanan. Menurut Heraclitus, setiap substansi yang berlawanan
mengandung kebalikannya sendiri, berpartisipasi dalam pertukaran dan gerakan
melingkar yang terus-menerus yang pada akhirnya menjaga stabilitas alam
semesta.
Dia berpendapat bahwa kesatuan alam semesta ditopang
oleh interaksi dinamis dari kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Heraclitus
memberikan contoh-contoh seperti hidup dan mati, bangun dan tidur, pemanasan,
dan pendinginan untuk mengilustrasikan konsep ini.
Setelah Heraclitus, butuh waktu dua milenium bagi
filsuf lain untuk mengakui signifikansi fundamental dari gerakan dialektis
dalam realitas, melampaui penerapannya sebagai alat untuk argumentasi atau
logika.
Dialog-dialog
Plato: Metode Sokrates
Dialektika dalam filsafat Yunani Kuno umumnya
dipahami sebagai bentuk penalaran yang didasarkan pada dialog argumentatif.
Meskipun Zeno dari Elea dan kaum Sophis menggunakan beberapa bentuk penalaran
dialektis, makna klasiknya sebagian besar berasal dari dialog Sokrates yang
ditulis oleh Plato.
Dialog-dialog Sokrates berkontribusi pada
pengembangan dialektika sebagai metode penyelidikan yang berkisar pada
pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkap makna di balik konsep-konsep dan
memastikan kebenaran pernyataan. Dialog-dialog Sokrates Plato menampilkan Sokrates
sebagai tokoh utama, yang sering kali menantang pengetahuan orang lain tentang
konsep moral. Dengan menggunakan pendekatan ironis dan mengaku memiliki
pengetahuan yang terbatas, Sokrates mengungkap ketidakkonsistenan dalam
pemahaman lawannya.
Dalam dialog Euthyphro, Sokrates mengajukan
pertanyaan kepada Euthyphro, memintanya untuk memberikan definisi kesalehan,
yang kemudian dihubungkan oleh Euthyphro dengan gagasan tentang disukai oleh
para dewa. Sokrates kemudian meminta Euthyphro untuk mengakui bahwa para dewa
sendiri memiliki perbedaan pendapat, yang mengindikasikan bahwa ada hal-hal
yang disukai oleh beberapa dewa, sementara yang lain membencinya. Sokrates
kemudian menyimpulkan bahwa, berdasarkan definisi Euthyphro, pasti ada hal-hal
yang saleh dan tidak saleh. Euthyphro menyadari absurditas dari hasil ini dan
mengakui ketidakcukupan definisinya.
Dengan menggunakan metode Sokrates ini, Sokrates
bertujuan untuk menuntun individu pada jalan menuju kebijaksanaan sejati.
Penting untuk dicatat bahwa dialog-dialog ini ditulis oleh Plato, seorang murid
Sokrates, dan ada perdebatan yang sedang berlangsung tentang seberapa akurat
dialog-dialog tersebut mewakili pemikiran Sokrates yang sebenarnya.
Terinspirasi oleh metode Sokrates, Plato mengaitkan
peran yang lebih tepat untuk dialektika dalam filsafat. Dalam Buku VII
Republik, ia menyatakan bahwa “dialektika mencari melalui wacana rasional saja,
tanpa menggunakan persepsi indera untuk melihat sifat sebenarnya dari suatu
hal.” Oleh karena itu, dialektika Plato dapat dilihat sebagai pendekatan
rasional untuk mengeksplorasi konsep-konsep filosofis seperti keadilan,
kebenaran, keindahan, dan lain-lain. Dalam istilah Platonis, dialektika
berfungsi sebagai metode untuk memahami esensi dari setiap forma dan berfungsi
sebagai alat untuk mengakses dunia realitas di luar penampakan.
Pengaruhnya
terhadap Filsafat Abad Pertengahan
Aristoteles, seorang murid Plato, mengambil langkah
lebih jauh dan menghasilkan karya paling awal yang diketahui tentang
dialektika. Dalam Topics, sebuah karya yang terdiri dari enam buku tentang
logika, dialektika disajikan sebagai proses menciptakan dan menemukan argumen
yang didasarkan pada pendapat yang diterima secara umum. Dia bahkan berpendapat
bahwa dialektika masih belum sistematis dan mendasar sebelum dia menguji
sendiri.
Aristoteles membedakan antara dialektika investigasi
dan dialektika retorika, dengan memberikan peran dalam menetapkan
prinsip-prinsip pertama pada dialektika melalui penalaran deduktif dan
kesimpulan. Sementara Plato memandang klarifikasi ide sebagai tujuan akhir dari
dialektika, Aristoteles memasukkan proses tersebut ke dalam teori yang lebih
komprehensif tentang penyelidikan ilmiah dan rasional. Namun, ia membedakan
penalaran dialektis dari proses pembuktian logis dalam Topic: “adalah
jalan kebijaksanaan untuk menyadari sejauh mana ketepatan dan kepastian dapat
diharapkan secara wajar dalam berbagai bidang pertimbangan.”
Perbedaan ini menyoroti bahwa dialektika tidak
memberi kita pengetahuan demonstratif (apodeixis). Namun, penting untuk dicatat
bahwa Aristoteles mengakui bahwa demonstrasi bukanlah satu-satunya jalan menuju
pengetahuan (episteme). Oleh karena itu, ia membuat perbedaan yang jelas antara
demonstrasi ilmiah (apodeixis), yang mengikuti proses penyimpulan (silogisme)
dari prinsip-prinsip yang terbukti dengan sendirinya yang berfungsi sebagai
kebenaran dasar, dan kesimpulan dialektis eksperimental yang diambil dari
hipotesis yang hanya masuk akal.
Perbedaan utama terletak pada premis-premisnya
daripada struktur logisnya. Demonstrasi membutuhkan premis-premis yang benar
dan mendasar, sedangkan deduksi dialektis mengandalkan premis-premis yang dapat
diterima. Aristoteles menganggap jenis dialektika proto-saintifik ini tidak
hanya tepat tetapi juga penting dan sangat diperlukan.
Sementara dialektika Plato bertujuan untuk membuat
perbedaan dan menyoroti perbedaan, Aristoteles berusaha untuk melampaui hal
tersebut dan menetapkan prinsip-prinsip (archai) dalam bidang studi tertentu.
Dengan kata lain, sementara dialektika Plato mengejar kebenaran tertinggi
(ide), dialektika Aristoteles ditujukan pada kebenaran fundamental atau
mendasar.
Awalnya dipengaruhi oleh konsep Stoa tentang
dialektika sebagai logika formal, pemahaman khusus tentang dialektika
ditransmisikan ke Abad Pertengahan awal melalui Boethius dan karyanya De
Dialectica. Akibatnya, dialektika menjadi dikenal sebagai ilmu penalaran yang
tepat oleh para pemikir abad pertengahan pada masa itu.
Dengan kebangkitan kembali pemikiran Aristoteles
pada abad ke-12, dialektika semakin mengukuhkan posisinya yang terhormat.
Thomas Aquinas, seorang filsuf abad pertengahan yang terkemuka, menggunakan
kerangka kerja dialektika dalam karyanya yang terkenal, Summa Theologica.
Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kontroversial
dan secara menyeluruh memeriksa keuntungan dan kerugian dari berbagai jawaban
yang masuk akal. Praktik mengevaluasi posisi secara komprehensif melalui
eksplorasi pro dan kontra di antara berbagai perspektif ini menjadi pendekatan
standar hingga zaman Renaisans.
Namun, banyak cendekiawan abad pertengahan
menafsirkan dialektika sebagai logika secara keseluruhan. Akibatnya, dialektika
menjadi komponen integral dari trivium abad pertengahan, di samping retorika
dan tata bahasa, dalam sistem pendidikan yang dilembagakan. Karena perannya
yang menonjol dalam perdebatan dan diskusi akademis, dialektika mempertahankan
kepentingan yang signifikan dalam pendidikan tinggi selama periode abad
pertengahan.
Hanya dengan bangkitnya humanisme pada abad ke-15,
pandangan kuno tentang dialektika mengalami kebangkitan. De Inventione
Dialectica karya Rodolphus Agricola memainkan peran penting dalam
membangun kembali dasar-dasar dialektika berdasarkan prinsip-prinsip
Aristoteles. Karya ini menekankan bahwa dialektika berurusan dengan masalah
probabilitas dengan mempertimbangkan dengan cermat argumen-argumen yang saling
bertentangan yang mendukung atau menentang jawaban yang berbeda untuk
pertanyaan yang dapat diperdebatkan.
Idealisme
Jerman: Pembangunan Kembali Dialektika Kant dan Hegel
Pengejaran Rene Descartes terhadap kepastian dan
penolakannya terhadap kemungkinan yang didasarkan pada pendapat yang didasarkan
pada informasi telah meletakkan dasar untuk pemeriksaan kritis terhadap
penalaran dialektis pada abad ke-18. Namun, Immanuel Kant, yang ajarannya
menandai kebangkitan Idealisme Jerman, yang melakukan pemeriksaan komprehensif
terhadap dialektika.
Dialektika pada saat itu pada dasarnya adalah alat
untuk mengelola kebenaran abadi yang diterima begitu saja berdasarkan prinsip-prinsip
logika. Selama periode abad pertengahan, wahyu diperkenalkan sebagai titik
acuan tambahan yang tak terbantahkan. Namun, bagi Kant, tidak mungkin bagi
manusia untuk mencapai pengetahuan teoritis yang pasti mengenai sifat dasar
dari segala sesuatu. Hal ini terutama berkaitan dengan hal-hal yang berada di
luar persepsi inderawi, seperti kebebasan, keadilan, dan Tuhan, yang telah
sering diteliti melalui penalaran dialektis.
Dalam Critique of Pure Reason, Kant mencoba
untuk menetapkan batas-batas dan cakupan metafisika. Tema utama dari karya Kant
adalah bahwa kita tidak akan pernah bisa memahami objek dalam sifat aslinya
(benda itu sendiri), terlepas dari pengamatan, tetapi hanya penampakannya saja.
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang melekat pada diri kita, karena kita
terkungkung oleh konsep-konsep kita seperti ruang dan waktu, yang memahami
segala sesuatu hanya melalui kategori-kategori ini.
Bagi Kant, akal budi terjerat dalam proses dialektis
di mana setiap pertanyaan memunculkan pertanyaan lain, karena setiap jawaban
itu sendiri menghasilkan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut. Dalam bab
berjudul “Dialektika Transendental,” Kant bertujuan untuk menjelaskan
kontradiksi inheren yang ditemukan dalam akal budi yang tidak terbatas.
Dia menggunakan apa yang disebutnya sebagai
Antinomi, yaitu empat pasang proposisi yang saling bertentangan mengenai
topik-topik seperti keberadaan Tuhan. Dengan demikian, Kant ingin menunjukkan
bahwa kedua proposisi yang berlawanan tersebut dapat didukung secara logis,
meskipun keduanya saling bertentangan. Hal ini, menurutnya, merupakan
kesia-siaan dari keterlibatan dalam penalaran dialektis yang berkaitan dengan
proposisi yang melampaui pemahaman intelek manusia. Itulah mengapa ia
menganggap dialektika sebagai ilusi pemahaman transendental.
Dialektika memperoleh pemahaman yang sama sekali
baru melalui karya-karya Georg Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf penting
dari Idealisme Jerman. Sebagai sebuah teori yang menjelaskan perubahan melalui
kontradiksi internal mereka sendiri, dialektika diskursif sekarang digantikan
oleh dialektika proses alamiah, karena gerakan menjadi perkembangan yang
diperlukan. Alih-alih muncul dari konflik antara dua entitas yang ada secara
independen, gerakan dialektis dalam filsafat Hegel adalah potensi inheren yang
didorong oleh kontradiksi yang ada di semua entitas, baik mental maupun
material.
Hegel mengembangkan dua versi dialektika. Versi yang
lebih sempit, yang dikenal sebagai dialektika yang sangat formal yang disajikan
dalam Science of Logic, berusaha menawarkan pembenaran teoretis untuk
kategori-kategori Kant. Hegel mengilustrasikan hal ini melalui contoh
dialektika eksistensi dari Ilmu Logika.
Pertama, eksistensi diandaikan sebagai ada murni;
namun, ada murni, yang tidak memiliki isi, ternyata tidak dapat dipisahkan dari
ketiadaan. Namun, ada dan tiada bersatu dalam proses menjadi. Di sini, diakui
bahwa apa yang muncul menjadi ada secara bersamaan melebur kembali ke dalam
ketiadaan.
Hal ini dapat diamati dalam kehidupan itu sendiri,
di mana organisme yang lebih tua musnah sementara organisme baru lahir. Aspek
penting dari proses dialektika triadik Hegel adalah bahwa hal-hal yang
berlawanan didamaikan pada tahap akhir dengan memasukkan unsur-unsur positif
dari kedua belah pihak.
Namun, Hegel juga mengembangkan dialektika ontologis
yang berkaitan dengan perkembangan sejarah. Hegel menggunakan skema dialektika
ini dalam berbagai cara, seperti dalam eksplorasinya mengenai perkembangan
kesadaran manusia dalam Phenomenology of Spirit dan pemeriksaannya
terhadap aktualisasi kebebasan manusia dalam Elements of the Philosophy of
Right. Bagi Hegel, kemajuan dialektis bukan hanya alat untuk memahami realitas,
tetapi merupakan aspek yang melekat pada realitas yang dipahami. Untuk pertama
kalinya sejak Heraclitus, dialektika menjadi bagian integral dari realitas
melalui Hegel.
Materialisme
Historis Marx: Dialektika Sejarah
Karl Marx, mantan murid Hegel, menggunakan
dialektika dengan cara yang materialistis. Meskipun ia tidak sepenuhnya menolak
pandangan komprehensif Hegel tentang dialektika, Marx percaya bahwa metode
dialektika harus diterapkan pada dunia material. Oleh karena itu, ia terkenal
mengatakan bahwa dialektika Hegel berdiri di atas kepalanya dan harus
dibalikkan ke atas lagi.
Karl Marx berusaha menggunakan dialektika dalam
analisis sejarah dengan berfokus pada transformasi material, karena ia percaya
bahwa kondisi material memainkan peran mendasar dalam membentuk ide dan
kesadaran manusia.
Dialektika Karl Marx dimanifestasikan dalam konsepsi
materialisnya tentang sejarah, yang secara sederhana disajikan dalam kata
pengantar A Contribution to the Critique of Political Economy. Marx
menjelaskan bagaimana individu-individu ditempatkan dalam hubungan sosial
tertentu yang ditentukan oleh kerangka ekonomi masyarakatnya.
Kesadaran kolektif masyarakat pada akhirnya dibentuk
oleh modus dan hubungan produksi dalam kerangka kerja ini. Seiring berjalannya
waktu, struktur ekonomi mengalami transformasi melalui proses revolusioner yang
dipicu oleh kontradiksi yang muncul di antara kelas-kelas sosial yang berbeda:
“Sejarah semua masyarakat yang ada sampai sekarang
adalah sejarah perjuangan kelas.” – Marx & Engels, 1848
Pernyataan di atas secara ringkas menangkap materialisme
dialektis Karl Marx. Kekuatan pendorong sejarah dalam dialektika Marxian adalah
kelas-kelas yang berlawanan. Sepanjang zaman sejarah yang berbeda, menurutnya,
selalu ada kelas-kelas sosial yang berkonflik, dengan yang satu bertindak
sebagai penindas dan yang lainnya sebagai yang tertindas.
Hubungan ini mengambil berbagai bentuk di era yang
berbeda, karena setiap moda produksi memiliki dinamika inheren yang unik: budak
dan orang merdeka, orang jelata dan ningrat, budak dan bangsawan, proletar dan
borjuis. Seiring dengan berkembangnya moda produksi dalam suatu masyarakat,
moda produksi tersebut menghadapi kontradiksi-kontradiksi baru yang pada
akhirnya akan digantikan oleh struktur ekonomi yang lebih maju.
Ini adalah bagaimana Karl Marx menjelaskan proses
masyarakat primitif berevolusi menjadi masyarakat budak, kemudian masyarakat
feodal, dan akhirnya bertransisi menjadi kapitalis. Metode dialektika Marx,
meskipun merupakan metode yang paling konkret dan menarik, mungkin juga
merupakan metode yang paling banyak dikritik, karena metode ini memiliki dampak
terbesar pada dunia modern.*