Sejatinya jiwa-jiwa pahlawan ada dalam diri setiap
manusia. Keinginan untuk berjuang meraih impian, membela kebenaran, dan
memaparkan keadilan. Akan tetapi di era modern saat ini, masyarakat tampak lupa
bahwa diri mereka sendiri adalah pahlawan. Ketidaktahuan ini lantas menjadikan
manusia yang terbentur oleh beragam peristiwa, memilih untuk mengambil jalan
pintas yaitu sebuah usaha untuk mengakhiri hidup.
Fenomena pilu tersebut kemudian bergerak cepat bagai
virus yang mempengaruhi pasien. Satu berita duka langsung diikuti berita yang
sama, dengan pola perbuatan yang juga serupa. Dalam waktu singkat di periode
bulan Oktober, Indonesia menerima kabar duka dari dua orang mahasiswi Perguruan
Tinggi di Pulau Jawa. Surat-surat yang menyertai usaha mengakhiri hidup dengan
paksa kemudian meningkatkan gelombang simpati masyarakat. Berdasarkan data
Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian Republik Indonesia,
terdapat 971 kasus membunuh diri sendiri sepanjang bulan Januari hingga Oktober
2023.
Menilik dari judul Pahlawan Untuk Diri Sendiri,
Pahlawan yang dikonsepkan sebagai jiwa patriot dalam diri sendiri ternyata
tidak selalu dapat melakukan perlawanan. Padahal sebagaimana negara, hidup juga
perlu dipertahankan. Setiap individu harus mampu melakukan perlawanan terhadap
permasalahan yang mengusik kehidupannya. Kementerian Kesehatan Indonesia
menuturkan keinginan untuk mengakhiri hidup berawal dari gejala depresi. 55%
penderita depresi berpikir untuk mengakhiri hidup mereka dengan cara bunuh
diri.
Indonesia mengalami darurat bunuh diri. Fakta ini
semakin diperkuat dengan adanya data dari UNICEF yang menjelaskan bahwa tingkat kesehatan mental
di kalangan anak-anak hingga remaja mengalami peningkatan setelah adanya
COVID-19. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar
juga tidak ragu untuk mengakhiri hidup mereka. Menghentikan fenomena bunuh diri
perlu mendapat perhatian khusus. Tidak hanya Pemerintah, masyarakat sipil juga
harus turut andil mengetahui penyebab atau akan adanya indikasi untuk bunuh
diri. Beberapa di bawah ini merupakan penyebab bunuh diri yang kerap terjadi.
Bullying atau penindasan menjadi faktor terbesar
terjadinya bunuh diri. Perilaku senang merendahkan orang lain, dan senang
melihat penderitaan orang lain seharusnya menjadi peringatan di lingkungan
masyarakat. Jika dikaitkan dengan kepahlawanan, perilaku penindasan merupakan
tindakan penjajah yang harus dilawan. Sebagai pemilik utama tubuh kita sendiri,
kita wajib untuk melawan pelaku penindasan. Melindungi diri sendiri dari
jajahan orang lain adalah salah satu tindakan kepahlawanan yang sangat penting
dilakukan. Begitu juga apabila kita melihat adanya penindasan, jangan ragu
untuk melapor dan memberi kesaksian, karena setiap jiwa wajib mendapat
keadilan.
Permasalahan ekonomi dapat menjadi pemicu awal
adanya suatu permasalahan. Keadaan ekonomi yang tidak berjalan seimbang antara
pendapatan dan pengeluaran dapat menimbulkan stress. Belum lagi pengaruh gaya
hidup yang tinggi dan sederet permasalahan ekonomi lainnya, membuat masyarakat
mau tidak mau harus terlibat dengan hutang piutang. Indonesia merupakan negara
berkembang yang memiliki permasalahan serius terhadap kemiskinan. Kasus
mengakhiri hidup karena faktor ekonomi tidak pernah reda.
Kesehatan mental menjadi perhatian publik dalam
beberapa tahun terakhir. Masyarakat mulai memahami pentingnya menjaga kesehatan
mental diri sendiri. Akan tetapi di beberapa kasus, masih banyak yang
menganggap mudah permasalahan kesehatan mental. Indonesia merupakan negara
dengan penderita Skizofrenia sebanyak 400.000 orang. Data Dinas
Kesehatan ini juga diikuti dengan kenyataan bahwa sebanyak 6% penduduk
Indonesia di rentang usia 15 tahun ke atas mengalami gejala depresi dan anxiety atau
kecemasan. Adanya data-data tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia
belum cukup untuk mengendalikan diri dari jeratan permasalahan mental.
Kurangnya kesadaran masyarakat menjadi titik utama
polemik bunuh diri yang melanda Indonesia. Stigma masyarakat terkait kesehatan
mental yang dianggap berhubungan dengan gangguan jiwa masih sangat tinggi.
Tidak hanya itu, keterkaitan antara jiwa rohani dan agama membuat masalah
penyakit mental terkesan tidak nyata. Akibatnya keinginan untuk meminta
pertolongan professional seperti psikolog menjadi hal tabu yang sulit
dilakukan. Padahal meminta bantuan untuk menyelamatkan diri sendiri tidak ada
salahnya. Kultur ini kemudian terus berlanjut, dan orang-orang yang merasa
memiliki penyakit mental memilih untuk tidak memberitahu siapapun agar nama
baiknya tetap terjaga.
Terkadang manusia lupa untuk memahami diri mereka
sendiri. Terlarut larut dengan kepentingan lain hingga tidak menyadari bahwa
ada satu jiwa yang mampu untuk berjuang dan terus berdiri. Baik penindasan,
masalah ekonomi, dan kesehatan mental semuanya saling berkaitan membentuk satu
benang merah yang apabila tidak diurai maka akan menewaskan penderitanya.
Menjadi pahlawan untuk diri sendiri adalah sebuah kewajiban yang mutlak. Akan
tetapi menjadi pahlawan untuk diri sendiri bukan berarti dapat mengkerdilkan
orang lain.
Memahami bahwa menjaga kesehatan mental adalah hal
yang penting, tidak lantas membuat kita mendiagnosa sendiri kejiwaan dan batin
yang sedang terjadi. Adanya suatu fenomena penyakit mental bukan berarti
dijadikan trend yang lalu dianggap membanggakan. Pada dasarnya kembali lagi
bahwa masyarakat harus mengendalikan dirinya sendiri. Hidup merupakan anugerah
luar biasa yang harus diperjuangkan, sebagaimana ratusan tahun lalu para Nenek
Moyang memperjuangkan tanah air dari cengkraman penjajah.
***
Mengapa orang bunuh diri? Bagaimana cara mencegah
orang dari melakukan tindakan bunuh diri? Sejumlah orang menilai bahwa tindakan
bunuh diri merupakan ekspresi dari kondisi batin menyerah atau putus asa.
“Menyerah” diartikan sebagai mengaku kalah, tidak berhasil memenangkan sesuatu.
“Putus asa” dimaknai sebagai kebuntuan, tidak mampu melihat cara lain dalam
usaha mengatasi masalah.
Artikel ini akan menunjukkan bahwa tindakan bunuh
diri tidaklah sesederhana itu. Kedua pertanyaan di atas akan ditanggapi
menggunakan pengetahuan yang didapatkan dari disiplin ilmu psikologi.
Pembahasan artikel ini dipusatkan pada kajian terhadap perilaku manusia remaja
sampai dewasa awal, rentang usia sekitar 13 sampai 25 tahun. Gampangnya: siswa
SMP, SMA, dan mahasiswa.
Tindakan bunuh diri tidak mengenal usia, jenis
kelamin, status sosial-ekonomi, orientasi seksual. Baik tua maupun muda,
laki-laki maupun perempuan, orang kaya dan terkenal maupun orang biasa yang tidak
terkenal di media sosial, homoseksual maupun heteroseksual, semuanya punya
kerentanan terhadap pemikiran untuk mengakhiri hidupnya.
Pelaku bunuh diri dari kalangan selebritas contohnya Robin Williams, Heath
Ledger, Anthony Bourdain. Beberapa pelaku merupakan selebritas asal Korea
Selatan, contohnya Kim Jonghyun, Sulli, Goo Hara. Dari kalangan musisi, ada
Chester Bennington, Avicii, Kurt Cobain, Chris Cornell.
Di Indonesia sendiri bagaimana? Berikut gambaran
data periode 2019 yang diperoleh dari WHO. Tingkat bunuh diri di Indonesia
termasuk cukup rendah, yaitu 2,4 per 100.000 penduduk. Sebagai perbandingan,
tingkat bunuh diri tertinggi adalah di negara Lesotho sejumlah 72,4 per 100.000
penduduk. Peringkat keempat tertinggi adalah Korea Selatan dengan tingkat 28,6.
Meskipun tingkat bunuh diri di Indonesia tergolong
rendah, kalau kita hitung angka sebenarnya, maka cukup banyak jumlahnya.
Tingkat 2,4 tersebut, jika diterapkan pada 279 juta penduduk Indonesia, menjadi
6.696. Artinya, dalam setahun ada lebih dari enam ribu orang yang meninggal
akibat bunuh diri. Di Indonesia, perbandingan antara laki-laki dan perempuan
pelaku bunuh diri adalah satu banding tiga. Ini artinya untuk setiap empat
kasus bunuh diri, satu di antaranya laki-laki, tiga perempuan.
Berbagai peristiwa bunuh diri di atas membuat kita
bertanya-tanya, apa yang terjadi dalam benak si pelaku, mengapa dia melakukan
itu, dan bagaimana mencegahnya.
7
Bahan Racikan untuk “Resep” Bunuh Diri
Sebuah masakan mengandung berbagai bahan dalam resep
pembuatannya. Jika kita mengandaikan tindakan bunuh diri sebagai sebuah
“masakan yang mematikan”, maka berikut ini diuraikan tujuh bahan yang
terkandung dalam resep pembuatannya.
1. Genetika
dan Neurobiologi
Penelitian menunjukkan bahwa ada peran keturunan
(genetika) dan proses-proses kimiawi-biologis (neurobiologi) dalam tubuh
manusia yang memengaruhi dorongan bunuh diri. Kombinasi gen tertentu yang
diturunkan dari orangtua dan garis keturunan (‘trah’) dapat meningkatkan
kecenderungan bunuh diri. Jika sejarah keluarga/trah menunjukkan rekam jejak
agresivitas tinggi atau salah satu dari empat gangguan psikologis klaster B
(antisosial, emosi tidak stabil, perilaku ‘cari perhatian’ berlebihan, atau
pemikiran yang terlalu menganggap penting diri sendiri), maka keturunannya
berpotensi memiliki kecenderungan pemikiran bunuh diri.
Berbagai proses dan sistem kimiawi-biologis dalam
tubuh manusia juga berperan terhadap kecenderungan bunuh diri. Namun,
penjelasannya cukup rumit, sehingga yang dapat disebutkan di sini adalah bisa
jadi orang terdorong untuk bunuh diri akibat ketidakseimbangan atau gangguan
pada sel-sel, hormon, atau sistem sarafnya.
2. Pola Pikir yang Kurang Pas
Ada beberapa pola pikir destruktif yang jika dipelihara terus-menerus dan
tidak diimbangi dengan asupan pola pikir konstruktif akan menjadi salah satu
bahan racikan resep bunuh diri. Berikut ini beberapa di antaranya:
Hopelessness
atau pesimisme bahwa tidak ada
harapan akan kondisi yang lebih baik di masa depan. Orang yang mengalami
masalah berat dalam hidupnya, menderita penyakit berat yang sulit sembuh, atau
mengalami kesakitan yang amat sangat mengganggu, cenderung merasa pesimis
terhadap hidupnya dan mulai mengembangkan pemikiran bunuh diri.
Perfectionism atau pemikiran bahwa segala sesuatu harus sempurna
tanpa cela. Pola pikir ini terkait dengan anggapan bahwa diri sendiri tidak
boleh memiliki kekurangan atau kesalahan, dan tidak boleh dinilai buruk oleh
orang lain. Orang yang terlalu mengkritik atau menyalahkan dirinya sendiri, dan
terlalu mengkhawatirkan penilaian atau ekspektasi orang lain atas dirinya
sendiri cenderung mengarahkan orang pada dorongan untuk bunuh diri.
Burdensomeness atau anggapan bahwa
diri sendiri adalah beban bagi orang lain. Ketika orang mengalami kegagalan,
merasa keberadaannya memperburuk situasi, mengerjakan hal yang dinilai oleh
orang lain tidak ada gunanya, atau berpikir bahwa jika ia tidak ada maka
kondisi orang lain akan lebih baik, maka orang terdorong untuk bunuh diri.
Low
belongingness. Ini adalah anggapan
bahwa diri sendiri bukanlah bagian penting dari suatu kelompok sosial, seperti
keluarga dan lingkar pertemanan. Orang dengan pola pikir ini akan merasakan
bahwa ada atau tidak adanya dia di kelompok sosial itu akan sama saja. Orang
lain seakan-akan tidak menyadari keberadaannya. Dia merasa sendirian di
keramaian.
Ketidakmampuan menahan rasa sakit. Bunuh diri dapat dianggap sebagai cara orang
melepaskan diri dari kesakitan fisik maupun psikologis yang tak tertahankan.
Ingatan yang terlalu menggeneralisasi. Ini artinya orang sulit untuk
mengingat-ingat kembali peristiwa spesifik dalam hidupnya. Yang diingat adalah
peristiwa umum yang kurang ada nuansa khasnya. Misalnya ketika orang ditanyakan
apa yang terjadi di perayaan ulang tahunnya beberapa tahun lalu, dia hanya bisa
mengingat bahwa tiap tahun ulang tahunnya dirayakan, tapi lupa apa yang terjadi
di perayaan tahun tertentu yang ditanyakan itu. Kesulitan untuk mengingat-ingat
ini dapat juga menjadi pemicu munculnya pemikiran bunuh diri.
Pola pikir hitam putih. Orang dengan pola pikir
ini akan susah mempertimbangkan informasi atau bukti-bukti baru. Pikirannya
sudah ditetapkan bahwa semuanya baik atau semuanya buruk, tidak ada ruang
‘abu-abu’ di antaranya. Biasanya orang yang berpikiran untuk bunuh diri
memiliki pola pikir semacam ini.
Pemusatan perhatian dan ingatan ke hal-hal yang
mendukung pemikiran bunuh diri. Ketika sedang sedih, orang akan lebih
mudah teralihkan perhatiannya ke ‘bukti-bukti’ yang mendukung kesedihannya.
Pemikirannya menjadi berat sebelah. Misalnya, dalam perjalanan hidupnya dia
mengalami banyak hal yang menyenangkan maupun mengecewakan; ketika dia sedih,
hal-hal yang menyenangkan akan sulit diingat, hal-hal yang mengecewakan jadi
jauh lebih banyak diingat-ingat. Selain pola pikir hitam putih, jenis pola
pikir ini juga umum terjadi pada orang-orang yang berpikiran untuk bunuh diri.
Beberapa pola pikir destruktif telah diuraikan.
Selanjutnya, bahan racikan yang ketiga adalah keyakinan keagamaan.
3. Keyakinan
Keagamaan
Setidaknya ada lima keyakinan keagamaan yang
berisiko memicu pemikiran bunuh diri. Pertama, orang berkeyakinan bahwa dia
telah melakukan dosa yang terlalu besar untuk diampuni. Kedua, dia merasa
dijauhi atau tidak disukai oleh Tuhan. Ketiga, dia merasa patut dihukum berat
atas dosa-dosanya. Keempat, dia merasa tidak mampu memenuhi standar keagamaan
yang diyakininya. Kelima, dia yakin bahwa kehidupan setelah kematian itu jauh
lebih baik daripada kehidupan nyata saat ini.
4. Pembelajaran dan Penyesuaian Diri
yang Keliru Sepanjang Hidup
Ada pepatah yang menyebutkan bahwa
pengalaman adalah guru yang terbaik. Kita dapat belajar dari pengalaman. Namun,
pengalaman yang sama dapat memunculkan pembelajaran yang berbeda-beda bagi tiap
orang. Misalnya, dari pengalaman diajar oleh guru galak ketika SD, satu orang
dapat memperoleh pencerahan bahwa guru yang bijaksana adalah guru yang tidak
galak; orang lain dapat menjadi trauma dan mengembangkan pemikiran bahwa dunia
pendidikan itu tidak menyenangkan.
Dalam konteks pemikiran bunuh diri, ada setidaknya
tiga jenis pembelajaran dan penyesuaian diri yang keliru, diperoleh dari
pengalaman sepanjang perjalanan hidup. Ketiganya adalah 1)
ketidaksesuaian perilaku dalam situasi sosial yang berbeda, 2) resolusi
konflik dan regulasi emosi yang kurang pas, dan 3) menghindari, mengelak, atau
melarikan diri dari masalah.
Ketidaksesuaian perilaku dalam situasi sosial yang
berbeda. Bisa jadi, suatu perilaku diterima dan dianggap baik dalam suatu
situasi sosial tertentu, namun dianggap kurang pas dalam situasi sosial
lainnya. Misalnya, ketika berada dalam situasi pertemanan, wajar jika kita
menyapa sesama teman hanya dengan namanya atau julukannya; namun, dalam situasi
bertemu guru atau dosen dalam konteks Indonesia, kurang wajar jika kita menyapa
hanya menggunakan namanya; biasanya kita mendahului dengan ‘Pak’, atau ‘Bu’.
Orang yang memiliki pemikiran bunuh diri cenderung
kurang mampu menempatkan diri secara tepat pada berbagai situasi sosial. Ini
berdasarkan pembelajaran yang ditariknya dari pengalaman. Misalnya, dalam setting keluarga,
dia menemukan bahwa kalau dia terbuka dan jujur, dia akan disalahkan dan
dimarahi. Lebih aman kalau menyimpan dalam-dalam berbagai pendapat atau
perilaku yang memalukan. Ketika dia berada dalam setting sekolah atau
kampus, perilaku tidak jujur dan tidak terbuka itu diterapkan olehnya juga
terhadap dosen dan teman-temannya. Ini dapat menimbulkan tumpukan masalah
dan stres yang disimpan sendiri, yang dapat berkembang menjadi rasa kewalahan
berujung pada dorongan bunuh diri.
Resolusi konflik dan regulasi emosi yang kurang pas.
Setiap orang pernah mengalami konflik sosial, tekanan/beban hidup, dan berbagai
peristiwa tidak mengenakkan. Setiap orang juga memiliki cara tersendiri dalam
menanggapi pengalaman tersebut. Ketika putus dengan pacar, mungkin ada remaja
yang bereaksi dengan menangis tersedu-sedu sambil mencurahkan perasaannya ke
teman dekatnya; remaja lain bereaksi dengan meredakan kesedihannya lalu
berlanjut cari pacar baru; remaja lain lagi mungkin akan makan es krim
sebanyak-banyaknya; dapat juga remaja satunya bereaksi dengan menyilet
lengannya.
Dari daftar berbagai tanggapan terhadap konflik
putus pacaran tersebut, tentunya pembaca dapat menemukan setidaknya satu
tanggapan yang kurang pas. Orang yang berpikiran untuk bunuh diri telah belajar
dari pengalamannya bahwa dari berbagai cara yang dia ketahui untuk
menyelesaikan masalah atau untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman, melukai
dan membunuh diri adalah cara yang terbaik menurutnya.
Menghindari, mengelak, atau melarikan diri dari
masalah. Orang yang berpikiran untuk bunuh diri pada umumnya belajar dari
pengalaman bahwa cara yang terbaik untuk menangani stres adalah dengan tidak
usah menghadapinya atau berusaha untuk mengalihkan pikiran. Biasanya ini
dilakukan dengan NAPZA, makan berlebihan, hubungan seks pelampiasan, atau
melukai diri sendiri. Bisa jadi mereka kurang mampu menyelesaikan masalah
karena tidak ada yang mengajarkan cara yang tepat, atau tidak ada role
model/teladan yang dianggap bijak di sepanjang pengalaman hidupnya.
***
Bahan-bahan racikan nomor 1 sampai 4 di atas menyangkut hal-hal di dalam diri
orang yang terdorong untuk melakukan bunuh diri. Bahan-bahan nomor 5 sampai 7
di bawah ini menguraikan bahan-bahan racikan yang sumbernya di luar diri.
5. Pola Interaksi dalam Kehidupan
Keluarga
Ada pola-pola tertentu dalam konteks kehidupan keluarga yang memupuk secara
perlahan dan terus-menerus ketidakstabilan emosi anak, dan dengan begitu
memperkuat dorongan bunuh diri. Dalam tulisan ini dibahas tiga di antaranya,
yaitu: 1) resolusi konflik secara kurang tepat di keluarga, 2) sosok ibu yang
kurang mendukung, dan 3) perlakuan kurang pantas pada anak.
Resolusi konflik secara kurang tepat di keluarga.
Ketika orangtua bertengkar, misalnya, dan diakhiri dengan kekerasan atau
perpisahan tidak baik-baik, tanpa dialog yang matang dan penyelesaian yang
memadai, maka anak akan belajar bahwa begitulah cara menyelesaikan konflik
dalam hidup. Dapat terjadi juga di keluarga bahwa masalah tertentu tidak boleh
dibicarakan secara terbuka dan apa adanya karena dianggap kurang pantas atau
dianggap akan memperburuk situasi. Anak kemudian belajar menutup diri, tidak
membicarakan masalah yang terjadi dalam diinya. Hal-hal seperti ini yang
mengakibatkan anak kurang terampil dalam menyelesaikan masalah secara lebih
tepat dan dengan begitu terdorong menggunakan bunuh diri sebagai alat
penyelesaian.
Sosok ibu yang kurang mendukung. Terkadang ibu
menuntut terlalu banyak terhadap anaknya. Ujaran ibu terasa merendahkan,
mengejek, atau menolak keberadaan si anak. Yang dilihat dan disampaikan ibu ke
anak didominasi dengan berbagai keburukan dan kekurangan si anak, beserta
berbagai tuntutan dan larangan, tanpa mengimbangi dengan pujian atau gestur
penuh kasih. Menurut penelitian, perilaku ibu seperti ini berkontribusi lumayan
besar dalam peningkatan dorongan bunuh diri pada anak.
Perlakuan kurang pantas pada anak. Perlakuan ini di
antaranya kekerasan terhadap anak, pelecehan seksual di dalam keluarga,
manipulasi emosional, dan pengabaian anak. Manipulasi emosional maksudnya
orangtua menghalalkan segala cara psikologis untuk membuat anak mengikuti
keinginan orangtua dan menimbulkan rasa bersalah pada anak jika tidak dituruti.
Biasanya manipulasi ini kurang mempertimbangkan kebutuhan, pendapat, ataupun
kesejahteraan si anak itu sendiri. Tampaknya keterangan ini terlalu sadis,
kurang umum, namun dalam skala ringan, pernahkah orangtua mengatakan, “Kamu
tega melihat bapak/ibumu sedih/menderita kalau kamu tidak xxxx?” Kalimat itu
adalah salah satu contoh bibit manipulasi emosional.
6. Lingkungan Pertemanan
Selain pola-pola tertentu dalam konteks lingkungan
keluarga, ada juga konteks yang sangat memengaruhi kehidupan remaja, yaitu
lingkungan pertemanan. Bagi manusia remaja sampai dewasa awal, rentang usia
sekitar 13 sampai 25 tahun, sejauh mana mereka merasa disukai dan didukung
teman-teman sebayanya merupakan faktor penting dalam peningkatan atau
pengurangan dorongan bunuh diri. Tulisan ini membahas tiga pola destruktif yang
berperan meningkatkan dorongan bunuh diri, yaitu 1) menjadi korban perundungan
(bullying), 2) kurangnya dukungan teman sebaya, dan 3) memiliki teman yang
melakukan bunuh diri.
Menjadi korban perundungan. Remaja yang dianggap
rendah status sosialnya, kurang populer, atau memiliki reputasi kurang bagus di
kalangan teman sebaya berpotensi menumbuhkan keinginan untuk bunuh diri.
Ditolak, dihina, diejek, dipermalukan oleh teman-teman sebaya merupakan hal
yang sangat memalukan dan menyakitkan bagi remaja. Bisa jadi bunuh diri
terpikirkan oleh remaja yang menjadi korban perundungan ini sebagai solusi agar
terlepas dari rasa malu dan sakit tersebut, atau agar popularitas dan status
sosialnya meningkat.
Kurangnya dukungan teman sebaya. Teman dekat
berperan penting bagi kesejahteraan remaja. Jika remaja tidak dapat
mengekspresikan dirinya, menceritakan pendapat dan pengalamannya secara apa
adanya dengan teman dekat yang dapat dipercaya, maka risiko bunuh diri akan
meningkat. Keterasingan/penolakan dari kelompok pertemanan, kenakalan/kenekatan
yang dilakukan bersama teman-teman, atau penyalahgunaan NAPZA di kelompok
pertemanan juga dapat meningkatkan risiko bunuh diri.
Memiliki teman yang melakukan bunuh diri. Biasanya
remaja berteman dengan orang-orang yang memiliki kesamaan dengannya dan akan
cenderung terdorong melakukan hal yang sama dengan temannya. Dengan begitu,
jika ada seseorang di dalam lingkungan pertemanannya yang melakukan bunuh diri,
maka ada kemungkinan dia juga akan berpikir jangan-jangan dia memiliki kesamaan
dengan teman yang bunuh diri itu, dan tergerak untuk melakukan hal yang sama juga.
7. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan keluarga dan pertemanan termasuk berskala
‘kecil’. Bagaimana dengan skala lingkungan yang lebih besar seperti masyarakat
umum? Apakah ada kontribusinya terhadap perilaku bunuh diri? Artikel ini
menguraikan empat kondisi masyarakat terkait, yaitu media, ideologi,
kemiskinan, dan homofobia.
Media sosial, karya seni, pemberitaan, gosip.
Perilaku kita dapat terpengaruh dari pesan tersembunyi di balik informasi yang
kita dapatkan dari berbagai sumber seperti media sosial, karya seni,
pemberitaan, dan gosip. Kita dipancing secara visual, bunyi-bunyian, dan/atau
kata-kata dari media tersebut meskipun kita tidak terlalu memperhatikannya.
Misalnya, pesan tersembunyi “melukai diri sendiri itu keren”, “mati itu
menyelesaikan masalah atau tidak menyakitkan atau menghilangkan penderitaan”
dapat terkandung dalam film yang menggambarkan tokoh yang tadinya tidak dikenal
lalu menjadi terkenal dan dihormati setelah berusaha bunuh diri. Bisa juga
terlihat dari media yang tampaknya tidak langsung berkaitan dengan bunuh diri,
namun mengagung-agungkan penggunaan NAPZA, agresi, dan permusuhan.
Ideologi. Dalam suatu masyarakat yang sangat
individualis, masing-masing orang akan bertanggung jawab pada dirinya sendiri.
Bunuh diri dapat dipandang sebagai hak dan kewajiban pribadi yang tidak ada
hubungannya dengan orang lain. Dalam suatu masyarakat yang sangat sosialis,
kepentingan masyarakat dianggap jauh lebih penting daripada kepentingan
pribadi. Orang bisa berpikiran untuk bunuh diri karena kewalahan memenuhi
tuntutan masyarakat atau kurang bisa menjadi diri sendiri. Bisa juga karena
kepentingan masyarakat menuntut orang untuk bunuh diri sebagai pengorbanan
mulia. Dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami krisis atau bergejolak,
tanpa kepemimpinan yang jelas, orang dapat terdorong untuk bunuh diri karena
merasa kehilangan arah. Dalam suatu masyarakat yang dipimpin oleh tangan besi,
otoriter, orang dapat tergerak untuk bunuh diri karena merasa terlalu tertindas
dan impian-harapannya dimatikan oleh arahan penguasa.
Kemiskinan. Ketika lingkungan tempat tinggal tingkat
kemiskinannya tinggi, atau kesenjangan antara yang kaya dan miskin sangat
tinggi, maka risiko bunuh diri juga tinggi. Dalam hal ini, kemungkinannya orang
berpikir bahwa tidak mungkin dia mampu hidup layak secara finansial, sehingga
bunuh diri adalah jalan keluar.
Homofobia dan diskriminasi. Dalam suatu
masyarakat yang sebagian besar penduduknya sangat anti dan diskriminatif
terhadap homoseksualitas, menjadi seorang LGBTQ adalah hal yang amat
menyakitkan dan memalukan. Orang-orang yang orientasi seksualnya dianggap
‘tidak wajar’ ini merasa terjebak dan tidak bisa keluar dari situasi masyarakat
tersebut, sehingga bunuh diri dianggap sebagai jalan untuk mencapai kondisi
tanpa penghakiman.
***
Contoh
Racikan Resep Bunuh Diri
Ketujuh bahan racikan yang sudah diuraikan artikel ini dapat kita gunakan
sebagai bahan refleksi/renungan untuk mencoba memahami percobaan bunuh diri
yang dilakukan oleh orang yang kita kenal. Misalnya kita bisa bertanya dan
berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: “bagaimana pola pikirnya
selama ini (bahan nomor 2)?”, “bagaimana hubungannya dengan ibunya (bahan nomor
5)?”, “keyakinan keagamaan apa yang tergambarkan dalam komunikasinya selama ini
(bahan nomor 3)?”, “apakah dia LGBTQ dan mengalami tekanan dari lingkungan
pertemanan (nomor 6) dan masyarakat (bahan nomor 7)?” Untuk bahan nomor 1,
tampaknya hanya dokter spesialis kejiwaan (psikiater) dan dokter spesialis
saraf yang kompeten mendiagnosisnya.
Pencegahan
Sampai titik ini, tulisan ini telah
menyediakan alat yang dapat digunakan untuk memahami usaha bunuh diri.
Selanjutnya, pertanyaan penting berikutnya perlu dibahas juga, yaitu: Bagaimana
cara mencegah orang dari melakukan tindakan bunuh diri?
1. Faktor-faktor
protektif
Terdapat banyak hal yang dapat melindungi orang dari
pemikiran bunuh diri. Beikut ini hal-hal yang berkaitan dengan kepribadian dan
pola pikir individu: perasaan bahwa diri sendiri itu bernilai dan berharga,
rasa percaya diri, mau berusaha mencari bantuan ketika mengalami kesusahan,
bersedia berdiskusi dengan orang lain ketika akan mengambil keputusan penting,
keterbukaan terhadap pendapat, solusi, dan pengalaman orang lain, keterbukaan
wawasan untuk belajar dari sesuatu yang baru dan berbeda, mampu berkomunikasi
dan mengekspresikan diri.
Berikut ini hal-hal yang berkaitan dengan keluarga:
komunikasi dan pola interaksi yang sehat di keluarga, dukungan keluarga, dan
pola pengasuhan yang tepat.
Berikut ini hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan lingkungan sosial:
keyakinan terhadap nilai-nilai, norma, dan tradisi yang sehat, hubungan baik
dengan teman-teman dan masyarakat sekitar, dukungan dari orang-orang sekitar,
lingkungan pertemanan yang tidak menggunakan NAPZA, keaktifan mengikuti
kegiatan kemasyarakatan seperti ritual keagamaan, kegiatan kepemudaan, olahraga
beregu, dll., serta tujuan hidup yang bermakna dan berkontribusi terhadap
kemajuan masyarakat.
Berikut ini faktor-faktor protektif yang berkaitan
dengan kesehatan fisik: pola makan yang seimbang, kualitas tidur yang memadai,
paparan sinar matahari yang mencukupi, dan olahraga.
2. Pembatasan
akses
Pembatasan akses ke metode-metode bunuh diri
merupakan salah satu cara pencegahan yang paling efektif menurut WHO. Hanya
saja, cara ini butuh energi yang sangat besar untuk pengawasan terus-menerus.
3. Pendidikan pendamping
Remaja dan orang dewasa awal biasanya memiliki
pendamping yang dipercayai dan intensif berinteraksi dengannya. Misalnya: teman
dekat, guru, dosen, mentor, pemuka agama, saudara yang lebih tua, kakak kelas
atau kakak tingkat yang lebih berpengalaman di organisasi, konselor sebaya,
dll. Para pendamping ini dapat diberikan psikoedukasi tentang psikologi bunuh
diri. Cara ini merupakan salah satu pencegahan bunuh diri yang paling efektif
juga menurut WHO, selain cara pembatasan akses.
4. Obat
Bagi orang yang mengalami gangguan mental terkait dorongan bunuh
diri yang diakibatkan oleh proses-proses kimiawi-biologis (neurobiologi) dalam
tubuh manusia, terapi menggunakan obat-obatan memang diperlukan. Cara ini hanya
boleh dilakukan oleh dokter spesialis kejiwaan (psikiater) dan dokter spesialis
saraf.
5. Psikoterapi
Berbagai pendekatan
psikologis tersedia untuk menangani gangguan-gangguan mental. Cara ini hanya
boleh dilakukan oleh psikolog yang memiliki izin praktik resmi.
6. Pendidikan
public
Psikoedukasi ke masyarakat umum perlu dilakukan.
Bahan-bahan pendidikan yang diberikan perlu mengarahkan masyarakat agar
kondisi-kondisi destruktif (lihat bahan ke-7 dari “racikan resep bunuh diri” di
tulisan ini) dapat diminimalkan.
***
Penutup
Artikel ini telah memaparkan
informasi mengenai 7 poin renungan untuk memahami perilaku bunuh diri, dan 6
poin bentuk pencegahan yang dapat kita lakukan untuk mencegah orang yang kita
kenal dan sayangi dari pemikiran bunuh diri. Semoga bermanfaat bagi pembaca.
Meskipun begitu, sedikit catatan perlu diperhatikan.
Artikel ini hanyalah sebuah gambaran ringkas. Jangan buru-buru menilai atau
menghakimi orang lain hanya berdasarkan artikel ini. Diperlukan kajian lebih
mendalam untuk lebih memahami tindakan bunuh diri. Sangat disarankan untuk
berkonsultasi ke psikolog atau psikiater jika ditemukan indikasi atau percobaan
bunuh diri.
***
Daftar
Acuan
Nock, M. K. (Ed). (2014). The Oxford handbook of suicide and self-injury. Oxford
University Press.
World Health Organization. (2021, February 9). Suicide
rate estimates, crude estimates by country. https://apps.who.int/gho/data/node.main.MHSUICIDE
World Population Review. (n.d.). Suicide rate by country 2022. https://worldpopulationreview.com/country-rankings/suicide-rate-by-country
Bacaan Lebih Lanjut
Wasserman, D. (Ed). (2021). Oxford textbook of
suicidology and suicide prevention (2nd Ed.). Oxford University Press.
Tautan
Penting
Pedoman Pertolongan Pertama Psikologis pada Upaya
Bunuh Diri:
https://cpmh.psikologi.ugm.ac.id/2020/10/17/unduh-suicide-prevention-guidelines-for-indonesia/