Komponen-komponen
psiko moral Kristiani berbasis kemuridan antara lain:
1.
Hati Nurani
Hati nurani/suara
hati itu merupakan keputusan akal budi untuk menentukan hal yang baik atau
benar dan buruk dari setiap tindakan kita. Kepribadian seseorang terbentuk dari
segala sikap dan tindakan yang sejalan dengan nilai-nilai kebajikan atau yang
malah bertentangan dengan nilainilai kebajikan tersebut. Seseorang dapat
dikatakan mempunyai kepribadian yang baik jika perbuatan-perbuatannya
menunjukkan kualitas moral yang baik. Untuk mencapai hal ini, peran hati
nurani/suara hati sangatlah penting yaitu untuk membantu seseorang memutuskan
segala hal sesuai dengan akal sehat dan sesuai dengan hukum Tuhan.
Hati
nurani atau suara hati itu merupakan tempat di mana Allah dan manusia bertemu.
Atau dalam bahasa Gaudium et Spes, “sanggar suci Allah”. Sanggar suci ini
merupakan suatu tempat yang diletakkan oleh Allah sendiri dalam diri setiap
manusia. Suatu tempat di mana manusia bertemu dengan Allah lewat pergumulan dan
pengalaman-pengalaman hidup yang membantunya untuk memilih yang baik dari yang
jahat. Sebagai tempat suci, hati nurani harus dihormati, didengar dan keputusan
yang baik harus dituruti. Martabat hukum itu ialah jika manusia mematuhinya,
maka menurut hukum itu pula ia akan diadili.
2.
Kemurnian dan
Ketaatan
a.
Kemurniaan
Seksualitas
merupakan salah satu karunia rahmat Tuhan terbesar yang harus dipertahankan dan
dikendalikan dalam bingkai kebajikan kemurnian (KGK, 2337). Kemurnian itu
sendiri tidak lain suatu ekspresi dari kesederhanaan dalam menata gairah dan
arah hidup kita. Akan tetapi kemurnian itu bukanlah kualitas negatif yang
menghancurkan kebahagiaan hidup kita. Belajar dan menjaga integritas kemurnian
diri dan seksualitas dalam hidup sebagai seorang guru dan pengajar Katolik
tidak lain berarti mengendalikan diri atau kemampuan untuk melepaskan diri dari
cengkeraman kendali hal-hal yang tidak teratur. Tujuannya adalah untuk
mengelola dan mengalami emosi kita bahkan yang paling menakutkan dan yang telah
terkubur selama bertahun-tahun.
Seorang beriman sadar bahwa di dalam tubuhnya, Tuhan telah memberikan
kemampuan suci untuk dapat menghadirkan tubuh manusia yang lain, agar kehidupan
dapat terus berlanjut di dunia ini. Seksualitas merupakan sesuatu yang baik,
luhur, anugerah Allah yang terarah kepada cinta kasih yang total dan ikatan
antar pribadi secara nyata dalam perkawinan (Dewan Kepausan untuk Keluarga
–Komisi Keluarga KWI, 1997, pp. 12-13). Pribadi yang sehat secara seksual akan
tahu menghargai pasangan hidupnya, menghargai orang lain dan tidak terjebak
pada hal-hal yang merusak integritas diri dan seksualitas. Karena itu ada satu
hal penting yang masuk dalam diskusi tentang kemurnian, yakni persoalan
kesopanan (modesty).
b.
Ketaatan
Kepatuhan adalah fenomena yang mirip dengan adaptasi diri.
Perbedaannya terletak pada segi pengaruh legitimasi (kebalikan dengan paksaan
atau tekanan sosial), dan selalu terdapat pada satu individu, yakni pemegang
otoritas. Obedience (kepatuhan) didahami sebagai sikap disiplin atau
perilaku taat terhadap suatu perintah maupun aturan yang ditetapkan, dengan
penuh kesadaran hati. Kepatuhan sebagai tindakan positif dinilai sebagai sebuah
pilihan. Artinya individu memilih untuk melakukan, mematuhi, merespon secara
kritis terhadap aturan, hukum, norma sosial, permintaan maupun keinginan dari
seseorang yang memegang otoritas ataupun peranan yang penting.
Dasar utama dari setiap ketaatan kristiani katolik adalah
Kristus sendiri yang telah mengosongkan diri-Nya dan taat pada kehendak Allah
Bapa. Ketaatan itu menyelamatkan semua manusia dari lingkaran dosa. Statemen
inilah yang patut digarisbawahi. Setiap murid yang taat pasti akan membawa
keselamatan kepada diri sendiri dan sesama manusia dan lingkungan sekitar.
3.
Kebebasan dan
Tanggung Jawab
a.
Kebebasan
Kebebasan
itu meliputi kemampun untuk bertindak dan tidak bertindak, untuk memilih dan
untuk tidak memilih. Kebebasan merupakan sesuatu yang ada di belakang
tindakan-tindakan manusia. Kebebasan menghantar orang pada tindakan kebaikan.
Karena itu, kebebasan merupakan fondasi bagi moralitas kemuridan, sebab suatu
tindakan yang merealisasikan kebaikan hanya bisa menjadi tindakan moral kalau
ia keluar dari diri sendiri, sebagai tindakan dalam kebebasan.
b. Tanggung Jawab
Tanggung
jawab berkaitan dengan penggunaan kebebasan itu secara konsekuen, yang terarah
selalu pada kebaikan sesama dan kesempurnaan diri sendiri. Sebagai makhluk
relasional, dengan intelek yang mencari kebenaran dan kehendaknya yang
menginginkannya sebagai kebaikannya, manusia tidak bisa bersikap netral di
hadapan kebenaran dan kebaikan. Tanggapan relasional manusia pada kebenaran dan
kebaikan terlaksana atas landasan kebebasan. Dalam kebebasan orang bertanggung
jawab. Karena ada kebebasan, maka orang bertanggung jawab. Orang yang tidak
bebas tidak dapat bertanggung jawab.
4.
Dosa,
Pertobatan dan Pengampuna Dosa
a.
Dosa
Apabila manusia memiliki tujuan akhir untuk berbahagia dan
bersekutu dengan Allah, maka dosa bisa dilihat sebagai tindakan yang berlawanam
dengan perjalanan menuju tujuan akhir tersebut. Dosa (dosa asal dan dosa
pribadi) adalah kontradiksi dari hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Karena
itu dosa melukai Tuhan. Dengan memilih untuk melakukan dosa, para pendosa
mencintai diri mereka sendiri dan menciptakan atau mengabdi segala sesuatu yang
lain, lebih dari Tuhan yakni memuja setan. Berdosa juga berarti menjalani
kehidupan yang berfokus pada barang duniawi daripada Tuhan.
b.
Pertobatan
Tindakan
penyesalan yang sungguh karena telah berdosa sangat penting dalam membangun
sikap pertobatan yang sejati. Rasa sesal karena dosa itu timbul, karena
seseorang sadar bahwa dalam relasinya dengan Allah yang Mahakudus/Suci itu, dia
telah mendapati dirinya tidak setia pada janji pembaptisannya. Sesal di sini
bukan sekedar sikap pasrah, tapi kepercayaan dengan seluruh diri untuk
merekonsiliasi diri dalam relasi dengan Allah. Karena itu pertobatan tidak
hanya berkaitan dengan sebagian dari diri manusia, tetapi keseluruhan pribadi
itu. Di sini perlu dipahami bahwa rahmat Allah itulah yang membangkitkan sesal
itu. Dalam ajaran moral terdapat dua macam sesal, yaitu sesal sempurna dan
sesal tidak sempurna.
c.
Pengampunan Dosa Melalui Sakramen
Tobat
Pengampunan dosa akan diperoleh apabila seorang beriman mau
mengakui dosa-dosanya dengan jujur dan terbuka dalam sakramen tobat, menerima
absolusi dari imam yang mendengarkan pengakuan dan peniten (orang berdosa) yang
mengakui dosa itu, melaksanakan penintensi dengan setia dan penuh iman. Memang
ada yang lebih dari itu, yakni bahwa pengampunan dosa mesti juga meemotivasi
seorang beriman untuk semakin berbuat kasih kepada Tuhan dan sesama yang ada di
sekitarnya. Sebagai tindakan manusia, pengampunan itu didukung oleh permohonan
terus-menerus dari seluruh Gereja.
1. Refleksi/
Pemaknaan atas Hasil Kajian Modul
Relevansi Komponen Penting Psiko
Moral Kristiani Berbasis Kemuridan dalam pengalaman hidup saya sehari-hari sebagai Guru Agama Katolik dan Umat Katolik:
1.
Hati nurani
Membangun
integritas diri yang paling efektif adalah mendengarkan suara hati nurani.
Dibutuhkaan sebuah sikap kepekaan terhadap suara hati nurani sebelum dan
susudah melakukan sebuah tindakan ataupun perbuatan, karena hati nurani tidak
pernah bohong. Ia selalu mengarahkan kita pada perbuatan yang baik, benar dan
tidak menyimpang dari nilai-nilai moralitas.
Selain
sifat kepekaan terhadap hati nurani, juga hendaknya kita memiliki sifat yang
jujur, terbuka dan transparan untuk menilai diri kita sendiri. Jika kita
melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nurani, maka dengan sikap
jujur, terbuka dan transparan untuk mengakuinya dan melakukan koreksi atas
tindakan tersebut dan melatih diri untuk tidak melakukan yang bertentangan
dengan suara hati nurani.
Selanjutnya
melatih logika dan cara berfikir kita sebelum melakukan sesuatu tindakan apakah
merugikan orang lain, bertentangan dengan norma moral dan aturan-aturan yang
berlaku, karena hati nurani senantiasa mendorong kita menjadi orang yang taat,
patuh pada aturan dan ketentuan yang berlaku.
Otak
manusia adalah bagaikan tempat yang bocor. Tatkala diisi dengan pengetahuan
atau informasi maka segera hilang. Hal demikian itu oleh karena manusia
memiliki sifat yang tidak menguntungkan, yaitu salah dan lupa. Mungin saja
informasi atau pengetahuan yang diterima oleh para siswa salah dipahami, atau
juga segera dilupakan. Bahkan, jangankan para siswa yang menerima penjelasan,
sedangkan guru yang mengajar saja setelah lewat beberapa hari, mereka juga
mengalami kelupaan. Tidak saja guru yang mengajar yang lupa, bahkan para
pengarang buku yang dipelajari dimaksud juga telah lupa tentang apa yang telah
ditulisnya.
Di
antara tujuan pendidikan adalah agar peserta didik menjadi cerdas, terampil,
ulet, mandiri, bersemangat, mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat, menjauhkan
diri dari perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain, dan
seterusnya. Manakala tujuan pendidikan itu adalah sebagaimana disebutkan itu,
maka yang perlu direnungkan secara mendalam dan saksama adalah bagian tubuh
mana yang sebenarnya menjadi kekuatan atau sumber aktifitas gerak seseorang.
Manakala
yang menjadi pusat atau sumber gerak kegiatan manusia adalah otak, maka benar
bahwa otaklah yang seharusnya diperkuat. Agar kuat maka otak harus dididik dan
diajar. Akan tetapi manakala sumber gerak manusia itu bukan otak, tetapi bagian
tubuh manusia yang lain, maka seharusnya yang dididik atau diajar adalah sumber
kekuatan penggerak yang dimaksudkan itu.
Dalam
pembicaraan sehari-hari, ketika misalnya, seseorang memegang hidungnya, maka
akan mengatakan bahwa ini adalah hidungku. Tatkala memegang kakinya, tangannya,
kepalanya, mulutnya, perutnya, dadanya, dan seterusnya, maka yang bersangkutan
akan mengatakan ini milikku. Maka, 'aku'lah yang memiliki semua anggota badan
itu. Maka, ketika orang berpikir akan mengatakan bahwa, ia telah menggunakan
otaknya. Jika demikian itu halnya, maka sebenarnya 'aku'lah pemilik semua
anggota tubuh, dan 'aku' pula yang menggerakkan seluruh bagian tubuh manusia.
Jika
cara berpikir tersebut dianggap benar, maka seharusnya yang dididik adalah
'aku', dan bukan otak, telinga, mata, kaki, tangan, dan seterusnya. Sebab semua
anggotra badan yang dimaksudkan itu, hingga otak sekalipun, posisinya adalah
hanya digerakkan atau memenuhi perintah pemiliknya, yaitu 'aku'. Maka 'aku'lah
yang seharusnya dididik atau diubah. Demikian pula untuk merubah sebuah
komunitas, maka yang perlu diubah adalah siapa yang menjadi kekuatan penggerak
komunitas itu. Contoh lain yang lebih mudah, apabila ingin mengubah kampus,
maka sasaran utama yang diajak berubah adalah pimpinannya, atau rektornya, dan
bukan tata usahanya.
Lewat
penjelasan di muka, maka dapat dipahami bahwa pemilik keseluruhan tubuh
manusia, adalah aku, atau sesuatu yang berada di dalam hati setiap orang.
Sesuatu yang berada di dalam hati itulah sebenarnya yang merupakan 'aku' atau
pusat penggerak kegiatan tubuh manusia. Itulah sebabnya, 'aku' tersebut yang
seharusnya dididik. Namun sementara ini, kebanyakan konsentrasi para ahli
pendidikan hanya tertuju pada akal atau otak. Padahal keseluruhan tubuh manusia
menjadi bergerak oleh karena disuruh atau diperintah oleh apa yang ada di dalam
hati. Sementara benda itu ternyata tidak selalu mendapatkan pendidikan.
Kegiatan
mendidik pemilik akal atau bisa disebut hati nurani ternyata belum terlalu
banyak memperoleh perhatian. Orang mendidik akal atau otak, tetapi melupakan
mendidik pemilik akal. Mendidik pemilik akal berbeda dari melatih akal dan
anggota tubuh lainnya. Konsep mendidik hati tidak bisa dikarang, tetapi berasal
dari petunjuk Tuhan yang dapat dibaca di kitab suci dan ajaran magesterium
Gereja. Pemilik atau 'aku' itu disebut
ruh. Sedangkan ruh adalah urusan Tuhan.
2.
Kemurniaan dan Ketaatan
a.
Kemurnian
Integritas
seksualitas dan kemurnian adalah sikap yang mesti menjadi bagian penting yang
perlu dihidupi oleh setiap guru Pendidikan agama Katolik. Semua itu tercapai
apabila setiap orang menghidupi imannya dengan berakar dalam Sabda Allah, dalam
ajaran gereja dan sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan pertobatan
dan juga kegiatan doa dan devosi.
Dalam
realitas dunia pendidikan Guru merupakan ladang ilmu bagi para muridnya, guru
bagaikan seberkas cahaya yang mampu menuntun manusia-manusia lugu menuju
keberhasilan. Kesuksesan seseorang tentunya tidak akan lepas dari peranan
seorang guru yang mengajar dengan sepenuh hati. Bahkan, seorang guru akan
turut merasakan bahagia dan bangga ketika muridnya mampu menggapai
cita-cita. Berkaca dari hal tersebut, murid yang sukses sudah sepatutnya
mengucapkan banyak terima kasih kepada guru yang telah menyuntikkan
formula kesuksesan itu.
Dalam
mengajar guru harus memiliki hati yang murni dalam mengemban tugasnya terutama
dalam mendidik peserta didik.
b. Ketaatan
Seorang
guru yang hebat tentu wajib untuk memiliki kualitas diri yang baik pula.
Kualitas diri yang dimaksud antara lain tertanam sikap disiplin yang tinggi,
Selanjutnya memiliki etos kerja yang baik, memiliki jiwa kepemimpinan yang
baik, serta bersikap bijaksana. Apabila beberapa hal tersebut terpenuhi maka
dapat dikatakan bahwa seseorang guru memiliki kualitas diri.
Modal
awal dalam profesi guru merupakan adanya sebuah komitmen. Guru hendaknya selalu
memegang prinsi bahwa menjadi seorang guru merupakan panggilan jiwa untuk
mengabdikan seluruh hidupnya untuk kemajuan suatu bangsa. Karena nasib suatu
bangsa dapat dilihat dari kualitas anak mudanya.
Disiplin
adalah kata-kata yang sering kita ucapkan dan dengar sehari-hari, terutama di
sekolah, kantor, dan sebagainya. Kedisiplinan dapat diukur dari ketaatan dan
kepatuhan seseorang dalam menjalankan aturan, tata tertib dan ketentuan yang
telah ditetapkan, baik tertulis maupun tidak tertulis (kesepakatan).
Di
sekolah, guru adalah orang yang berperan penting dalam menegakkan dan
menjalankan kedisiplinan. Kedisiplinan merupakan hal yang patut menjadi
perhatian bagi guru sesuai dengan PP nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Sebagai Aparatur Sipil Negara tentu menjadi suatu keharusan bagi guru dalam
menegakan disiplin di sekolah. Sebab guru adalah merupakan contoh teladan yang
akan digugu dan ditiru oleh peserta didik di lingkungan sekolah. Sebab
disamping berperan dalam melaksanakan proses pembelajaran, guru juga menjadi
contoh teladan bagi setiap peserta didiknya. Kedisiplinan yang dapat ditunjukan
seorang guru di sekolah misalnya, dalam hal kedatangan di sekolah tepat waktu,
masuk kelas sesuai jadwal mengajar, ikut dalam pelaksanaan upacara bendera, dan
kegiatan sekolah lainnya. Itu merupakan contoh kecil dari sikap dan perilaku
guru yang dicontoh oleh peserta didiknya.
Apabila
guru tidak mengindahkan hal-hal kecil seperti itu, maka akan sulit untuk
meminta pserta didik agar disiplin. Tetapi ketika guru disiplin, maka peserta
didiknya juga akan terbiasa untuk disiplin. Sering kita mendengar ketika sesama
peserta didik bercerita,” Buat apa cepat-cepat masuk kelas, toh ibu/bapak itu
nantinya juga akan terlambat masuk”. Begitu juga hal-hal lain tentang guru yang
menjadi pembicaraan dikalangan pesreta didik. Berarti kita guru juga akan
dinilai dan mendapat cap tersendiri oleh pesreta didik, sesuai dengan perilaku
yang kita tampilkan dihadapan mereka. Ada guru yang dinilai disiplin, pandai
dalam mengajar, ramah terhadap peserta didik, peduli dan lain sebagainya. Ada
juga guru yang dinilai oleh peserta didiknya kebalikan dari semua itu. Peserta
didik akan memberikan penilian dan berbuat sesuai dengan perilaku sang guru.
Jika gurunya disiplin masuk dan keluar kelas, maka peserta didiknya juga akan
berusaha masuk tepat waktu. Sebaliknya ketika seorang guru telah dicap oleh
peserta didiknya sering terlambat, maka merekapun juga akan mengulur-ulur waktu
untuk masuk kelas. Jadi disiplin tidak hanya sekadar ucapan, aturan yang
tertulis belaka, melainkan lebih kepada pelaksanaannya sehingga menjadi contoh
nyata.
3.
Kebebasan dan Tanggung Jawab
a.
Kebebasan
Salah
satu kode etik profesi itu, meminjam istilah Noegroho Notosoesanto, seorang
tenaga profesi sebagai dosen, dan gruru besar, yaitu memiliki kebebasan
akademik dan kebebasan mimbar. Dengan kebebasan inilah, profesionalisme tenaga
pendidikan dapat diaktulisasikan secara optimal.
Seorang
guru memiliki kebebasan mimbar. Artinya, di setiap forum, guru memiliki hak
untuk mengemukakan pandangan-pandangannya sesuai dengan paradigma berpikirnya
sendiri. Dengan kata lain, seorang guru memiliki hak untuk menggunakan kelas
sebagai ruang ekspresi pemikirannya tanpa harus dikendalikan oleh Kepala
Sekolah atau Kepala Kementrian sekalipun. Apa pun yang di lakukan guru di dalam
kelas dalam hal mengajar adalah hak otonom dari seorang guru. Tidak boleh
diintervensi atau dikendalikan dengan model-model instruksional dari penguasa.
Kebebasan
akademik guru adalah mrenyampaikan pandangan mengenai materi ajar, dan/atau
interprestasi terhadap fenomena kehidupan sesuai dengan paradigma keilmuannya.
Seorang guru adalah seorang profesional. Pola pikir dan produk pemikirannya
tidak boleh dikekang. Pengekangan pemikiran kelompok guru ini, bukan saja
bertentangan dengan etika profesi, tetapi juga melanggar prinsip demokrasi
pendidikan, atau hak kebebasan berpikir.
Kebebasan
mimbar dan kebebasan akademik berpikir, merupakan hak asasi yang perlu
dilindungi dalam pengembangan profesi guru atau tenaga pendidik. Mustahil
profesi ini akan berkembangan dengan baik, jika ada pengekangan terhadap
tradisi berpikir. Apa pun iterprestasi kita terhadap hal ini, namun hal yang
pasti bahwa kebebasan berpikir itu merupakan salah satu hak asasi manusia,
khususnya hak asasi seorang guru.
b. Tanggung Jawab
Hal
yang terpenting namun sering terlupakan dari seorang guru dalam mendidik
siswanya adalah karakter. Berbohong adalah bibit korupsi, dan menyontek adalah
perilaku korupsi kecil. Apakah seorang guru membiarkan siswanya menyontek telah
mendidik siswanya berperilaku jujur?. Lihatlah, banyak siswa yang
menyontek demi nilai dan tugas terpenuhi tanpa mengerti apa yang mereka
kerjakan, berkata tidak sopan kepada guru dan temannya,
membully, hinggaberkelahi. Banyak guru yang tidak menerangkan, meremehkan
siswanya, membiarkan siswanya tidak bisa dan masih banyak kasus lain yang
dialami guru terhadap siswanya dan juga sebaliknya.
Untuk
itu Guru harus memiliki peran dan tanggung jawab secara pribadi, sosial,
intelektual, moral dan spiritual. Pertama, tanggung jawab pribadi yang
mandiri yaitu mampu memahami dirinya, mengelola dirinya, menngendalikan dirinya
dan menghargai serta mengembangkan dirinya. Kedua, tanggung jawab sosial
diwujudkan melalui kompetensi guru dari lingkungan sosial serta memiliki
kemampuan interaktif yang efektif. Ketiga, tanggung jawab intelektual
(profesional) diwujudkan melalui penguasaan berbagai perangkat pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk penunjang tugasnya. Keempat, tanggung
jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan guru sebagai makhluk
beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma agama dan
moral.
4.
Dosa, Pertobatan dan Pengakuan Dosa
a.
Dosa
Beberapa
hal yang berkaitan dengan pekerjaan guru yaitu bahwa tidak di sadari di dalam
mengajar ada beberapa dosa yang dilakukan oleh para guru di sekolah, beberapa
diantaranya adalah mengambil jalan pintas dalam mengajar, tidak adil
(Diskriminatif), tidak disiplin, sering meninggalkan peserta didik untuk urusan
diluar dinas.
Namun
sebaliknya bagaimana agar bisa menjadi guru yang disukai dan cintai oleh
siswanya yaitu bahwa didalam mengajar guru tidak boleh terlalu formal dan kaku,
mengajar dengan cara yang menyenangkan, saat mengajar guru harus bergembira
karena dengan demikian siswa juga akan bergembira. "Selain dari itu ada juga
ciri-ciri bagaimana guru bisa disayangi siswanya yaitu dimana guru harus
menguasai materi, guru harus memahami gaya belajar anak, guru juga harus dapat
berpenampilan menarik, humoris, adil dan penyabar serta menjadi contoh juga
teladan bagi siswanya.
b. Pertobatan
Akhir-akhir
ini, bangsa kita tengah dihebohkan dengan beberapa skandal besar yang di
antaranya melibatkan aparat penegak hukum dan tokoh agama. Penegak hukum yang
seharusnya memberi teladan taat akan hukum justru melanggarnya. Demikian pula
tokoh agama yang tugasnya memberi teladan hidup religius kepada pengikutnya,
namun menjadi tidak bermoral dan tidak beradab.
Dua
fakta tersebut hendak menegaskan kepada kita bahwa status sosial, religius, dan
jabatan seseorang belum tentu menjamin hidup religius dan moralitas yang baik
pula. Status sosial, religius, dan jabatan itu justru disalahgunakan demi
kepentingan dan hawa nafsu pribadi. Mereka dengan mudah memutarbalikkan hukum
dan ayat-ayat suci demi melegitimasi tindakannya. Orang-orang yang demikian
justru lebih jahat dan berbahaya daripada penjahat yang sesungguhnya.
Orang-orang
yang “sok taat hukum” dan “sok alim” dikritik dan dikecam oleh Tuhan Yesus
dalam Injil Lukas. Di mata manusia, mereka tampak masyhur dan suci, dihargai,
dan dielu-elukan. Namun, nyatanya di mata Allah mereka tak ubahnya “seonggok
sampah” yang menjijikkan. Nasib mereka akan sama halnya dengan orang-orang yang
mengetuk-ngetuk pintu namun tidak dibuka oleh si Empunya Rumah, karena Dia
tidak mengenal mereka.
Sebagai
orang Kristiani, kita pun sering bangga karena meyakini dan percaya bahwa Yesus
Kristuslah Tuhan dan Juru Selamat. Dengan meyakini dan percaya belumlah cukup
karena harus diiringi dengan sikap hidup dan moral yang baik pula. Seperti kata
Pengkhotbah “Iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati”.
Kita
berharap Tuhan semakin mengenal kita dengan hampir setiap Minggu bahkan setiap
hari “Makan Bersama Dia” melalui Perayaan Ekaristi. Namun sayangnya, Dia justru
belum mengenal kita karena sikap hidup dan moral kita yang bobrok. Mengikuti
Perayaan Ekaristi, “Makan Bersama Tuhan”, seharusnya mengubah hidup kita
menjadi lebih baik, menumbuhkan pertobatan, menanamkan sikap mawas diri,
menyelaraskan kehidupan rohani dengan kehidupan nyata, mengendalikan diri dan
hawa nafsu, serta mampu menjadi terang dan garam di mana pun berada.
Tak
ada manusia di dunia ini yang sempurna. Bahkan orang suci sekali pun pernah
berbuat dosa. Namun mereka dengan rendah hati mau bertobat dan mengakui segala
kesalahannya, sehingga hidup mereka pun diubah menjadi baru yang penuh makna
dan inspiratif. Tak ada kata terlambat untuk bertobat, karena melalui
pertobatan pintu yang sesak itu niscaya terbuka lebar.
c. Sakramen Tobat Media untuk mendapatkan Pengampunan
Dosa
Pada
masa dewasa ini sakramen tobat atau rekonsiliasi kurang mendapat tempat di hati
para umat beriman dengan kata lain kurang diminati. Ada banyak penelitian
mengapa minat untuk menerima sakramen tobat bagi manusia modern sekarang tampak
merosot. Umat beriman saat ini tidak lagi menghayati sakramen tobat sebagai
sebuah sakramen dalam Gereja yang menyelematkan dirinya dari kuasa dosa. Umat
beriman bersikap cuek atau masa bodoh terhadap upaya Gereja dalam memberi
sakramen Tobat. Aneka upaya dilakukan oleh Gereja adalah melayani umatnya
dengan memberikan sakramen tobat pada setiap hari sabtu di Gereja. Hal lain
yang ditempuh Gereja universal adalah Gereja turun ke lingkungan untuk
memberikan sakreman tobat. Namun, kehadiran umat atau tingkat partisipasi umat
dalam penerimaan sakramen ini sangat minim. Tentu saja aneka fakta ini
merupakan faktor yang membuat tingkat partisipasi umat sangat minim dalam
menerima sakramen tobat.
Untuk
saya sebagai guru agama katolik dan umat katolik harus sadar bahwa sakramen
tobat merupakan salah satu sakramen yang
memiliki makna pertobatan yang hakiki. Pertobatan berarti pemulihan relasi
manusia yang berdosa dengan Allah. Dosa manusia membuat Allah begitu jauh dari
kita sehingga manusia yang berdosa membutuhkan pertobatan diri melalui
pelayanan sakramen dalam Gereja.
Berkaitan
dengan realitas sosial umat, pertobatan harus berorientasi pada cara hidup umat
itu sendiri. Pertobatan dapat diperoleh melalui saling berbagi, saling memberi,
saling menghargai satu sama lain.