Komponen-Komponen Psikomoral Kristiani Berbasis Kemuridan

Komponen-Komponen Psikomoral Kristiani Berbasis Kemuridan



Komponen-komponen psiko moral Kristiani berbasis kemuridan antara lain:

1.      Hati Nurani

Hati nurani/suara hati itu merupakan keputusan akal budi untuk menentukan hal yang baik atau benar dan buruk dari setiap tindakan kita. Kepribadian seseorang terbentuk dari segala sikap dan tindakan yang sejalan dengan nilai-nilai kebajikan atau yang malah bertentangan dengan nilainilai kebajikan tersebut. Seseorang dapat dikatakan mempunyai kepribadian yang baik jika perbuatan-perbuatannya menunjukkan kualitas moral yang baik. Untuk mencapai hal ini, peran hati nurani/suara hati sangatlah penting yaitu untuk membantu seseorang memutuskan segala hal sesuai dengan akal sehat dan sesuai dengan hukum Tuhan.

Hati nurani atau suara hati itu merupakan tempat di mana Allah dan manusia bertemu. Atau dalam bahasa Gaudium et Spes, “sanggar suci Allah”. Sanggar suci ini merupakan suatu tempat yang diletakkan oleh Allah sendiri dalam diri setiap manusia. Suatu tempat di mana manusia bertemu dengan Allah lewat pergumulan dan pengalaman-pengalaman hidup yang membantunya untuk memilih yang baik dari yang jahat. Sebagai tempat suci, hati nurani harus dihormati, didengar dan keputusan yang baik harus dituruti. Martabat hukum itu ialah jika manusia mematuhinya, maka menurut hukum itu pula ia akan diadili.

2.      Kemurnian dan Ketaatan

a.      Kemurniaan

Seksualitas merupakan salah satu karunia rahmat Tuhan terbesar yang harus dipertahankan dan dikendalikan dalam bingkai kebajikan kemurnian (KGK, 2337). Kemurnian itu sendiri tidak lain suatu ekspresi dari kesederhanaan dalam menata gairah dan arah hidup kita. Akan tetapi kemurnian itu bukanlah kualitas negatif yang menghancurkan kebahagiaan hidup kita. Belajar dan menjaga integritas kemurnian diri dan seksualitas dalam hidup sebagai seorang guru dan pengajar Katolik tidak lain berarti mengendalikan diri atau kemampuan untuk melepaskan diri dari cengkeraman kendali hal-hal yang tidak teratur. Tujuannya adalah untuk mengelola dan mengalami emosi kita bahkan yang paling menakutkan dan yang telah terkubur selama bertahun-tahun.

 

Seorang beriman sadar bahwa di dalam tubuhnya, Tuhan telah memberikan kemampuan suci untuk dapat menghadirkan tubuh manusia yang lain, agar kehidupan dapat terus berlanjut di dunia ini. Seksualitas merupakan sesuatu yang baik, luhur, anugerah Allah yang terarah kepada cinta kasih yang total dan ikatan antar pribadi secara nyata dalam perkawinan (Dewan Kepausan untuk Keluarga –Komisi Keluarga KWI, 1997, pp. 12-13). Pribadi yang sehat secara seksual akan tahu menghargai pasangan hidupnya, menghargai orang lain dan tidak terjebak pada hal-hal yang merusak integritas diri dan seksualitas. Karena itu ada satu hal penting yang masuk dalam diskusi tentang kemurnian, yakni persoalan kesopanan (modesty).

 

b.      Ketaatan

Kepatuhan adalah fenomena yang mirip dengan adaptasi diri. Perbedaannya terletak pada segi pengaruh legitimasi (kebalikan dengan paksaan atau tekanan sosial), dan selalu terdapat pada satu individu, yakni pemegang otoritas. Obedience (kepatuhan) didahami sebagai sikap disiplin atau perilaku taat terhadap suatu perintah maupun aturan yang ditetapkan, dengan penuh kesadaran hati. Kepatuhan sebagai tindakan positif dinilai sebagai sebuah pilihan. Artinya individu memilih untuk melakukan, mematuhi, merespon secara kritis terhadap aturan, hukum, norma sosial, permintaan maupun keinginan dari seseorang yang memegang otoritas ataupun peranan yang penting.

Dasar utama dari setiap ketaatan kristiani katolik adalah Kristus sendiri yang telah mengosongkan diri-Nya dan taat pada kehendak Allah Bapa. Ketaatan itu menyelamatkan semua manusia dari lingkaran dosa. Statemen inilah yang patut digarisbawahi. Setiap murid yang taat pasti akan membawa keselamatan kepada diri sendiri dan sesama manusia dan lingkungan sekitar.

 

3.      Kebebasan dan Tanggung Jawab

a.      Kebebasan

Kebebasan itu meliputi kemampun untuk bertindak dan tidak bertindak, untuk memilih dan untuk tidak memilih. Kebebasan merupakan sesuatu yang ada di belakang tindakan-tindakan manusia. Kebebasan menghantar orang pada tindakan kebaikan. Karena itu, kebebasan merupakan fondasi bagi moralitas kemuridan, sebab suatu tindakan yang merealisasikan kebaikan hanya bisa menjadi tindakan moral kalau ia keluar dari diri sendiri, sebagai tindakan dalam kebebasan.

 

 

b.      Tanggung Jawab

Tanggung jawab berkaitan dengan penggunaan kebebasan itu secara konsekuen, yang terarah selalu pada kebaikan sesama dan kesempurnaan diri sendiri. Sebagai makhluk relasional, dengan intelek yang mencari kebenaran dan kehendaknya yang menginginkannya sebagai kebaikannya, manusia tidak bisa bersikap netral di hadapan kebenaran dan kebaikan. Tanggapan relasional manusia pada kebenaran dan kebaikan terlaksana atas landasan kebebasan. Dalam kebebasan orang bertanggung jawab. Karena ada kebebasan, maka orang bertanggung jawab. Orang yang tidak bebas tidak dapat bertanggung jawab.

 

4.      Dosa, Pertobatan dan Pengampuna Dosa

a.      Dosa

Apabila manusia memiliki tujuan akhir untuk berbahagia dan bersekutu dengan Allah, maka dosa bisa dilihat sebagai tindakan yang berlawanam dengan perjalanan menuju tujuan akhir tersebut. Dosa (dosa asal dan dosa pribadi) adalah kontradiksi dari hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Karena itu dosa melukai Tuhan. Dengan memilih untuk melakukan dosa, para pendosa mencintai diri mereka sendiri dan menciptakan atau mengabdi segala sesuatu yang lain, lebih dari Tuhan yakni memuja setan. Berdosa juga berarti menjalani kehidupan yang berfokus pada barang duniawi daripada Tuhan.

 

b.      Pertobatan

Tindakan penyesalan yang sungguh karena telah berdosa sangat penting dalam membangun sikap pertobatan yang sejati. Rasa sesal karena dosa itu timbul, karena seseorang sadar bahwa dalam relasinya dengan Allah yang Mahakudus/Suci itu, dia telah mendapati dirinya tidak setia pada janji pembaptisannya. Sesal di sini bukan sekedar sikap pasrah, tapi kepercayaan dengan seluruh diri untuk merekonsiliasi diri dalam relasi dengan Allah. Karena itu pertobatan tidak hanya berkaitan dengan sebagian dari diri manusia, tetapi keseluruhan pribadi itu. Di sini perlu dipahami bahwa rahmat Allah itulah yang membangkitkan sesal itu. Dalam ajaran moral terdapat dua macam sesal, yaitu sesal sempurna dan sesal tidak sempurna.

 

c.      Pengampunan Dosa Melalui Sakramen Tobat

Pengampunan dosa akan diperoleh apabila seorang beriman mau mengakui dosa-dosanya dengan jujur dan terbuka dalam sakramen tobat, menerima absolusi dari imam yang mendengarkan pengakuan dan peniten (orang berdosa) yang mengakui dosa itu, melaksanakan penintensi dengan setia dan penuh iman. Memang ada yang lebih dari itu, yakni bahwa pengampunan dosa mesti juga meemotivasi seorang beriman untuk semakin berbuat kasih kepada Tuhan dan sesama yang ada di sekitarnya. Sebagai tindakan manusia, pengampunan itu didukung oleh permohonan terus-menerus dari seluruh Gereja.

 

 

1.   Refleksi/ Pemaknaan atas Hasil Kajian Modul

 

Relevansi Komponen Penting Psiko Moral Kristiani Berbasis Kemuridan dalam pengalaman hidup saya sehari-hari sebagai Guru Agama Katolik dan Umat Katolik:

1.     Hati nurani

Membangun integritas diri yang paling efektif adalah mendengarkan suara hati nurani. Dibutuhkaan sebuah sikap kepekaan terhadap suara hati nurani sebelum dan susudah melakukan sebuah tindakan ataupun perbuatan, karena hati nurani tidak pernah bohong. Ia selalu mengarahkan kita pada perbuatan yang baik, benar dan tidak menyimpang dari nilai-nilai moralitas.

Selain sifat kepekaan terhadap hati nurani, juga hendaknya kita memiliki sifat yang jujur, terbuka dan transparan untuk menilai diri kita sendiri. Jika kita melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nurani, maka dengan sikap jujur, terbuka dan transparan untuk mengakuinya dan melakukan koreksi atas tindakan tersebut dan melatih diri untuk tidak melakukan yang bertentangan dengan suara hati nurani.

Selanjutnya melatih logika dan cara berfikir kita sebelum melakukan sesuatu tindakan apakah merugikan orang lain, bertentangan dengan norma moral dan aturan-aturan yang berlaku, karena hati nurani senantiasa mendorong kita menjadi orang yang taat, patuh pada aturan dan ketentuan yang berlaku.

Otak manusia adalah bagaikan tempat yang bocor. Tatkala diisi dengan pengetahuan atau informasi maka segera hilang. Hal demikian itu oleh karena manusia memiliki sifat yang tidak menguntungkan, yaitu salah dan lupa. Mungin saja informasi atau pengetahuan yang diterima oleh para siswa salah dipahami, atau juga segera dilupakan. Bahkan, jangankan para siswa yang menerima penjelasan, sedangkan guru yang mengajar saja setelah lewat beberapa hari, mereka juga mengalami kelupaan. Tidak saja guru yang mengajar yang lupa, bahkan para pengarang buku yang dipelajari dimaksud juga telah lupa tentang apa yang telah ditulisnya.

Di antara tujuan pendidikan adalah agar peserta didik menjadi cerdas, terampil, ulet, mandiri, bersemangat, mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat, menjauhkan diri dari perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain, dan seterusnya. Manakala tujuan pendidikan itu adalah sebagaimana disebutkan itu, maka yang perlu direnungkan secara mendalam dan saksama adalah bagian tubuh mana yang sebenarnya menjadi kekuatan atau sumber aktifitas gerak seseorang.

Manakala yang menjadi pusat atau sumber gerak kegiatan manusia adalah otak, maka benar bahwa otaklah yang seharusnya diperkuat. Agar kuat maka otak harus dididik dan diajar. Akan tetapi manakala sumber gerak manusia itu bukan otak, tetapi bagian tubuh manusia yang lain, maka seharusnya yang dididik atau diajar adalah sumber kekuatan penggerak yang dimaksudkan itu.

Dalam pembicaraan sehari-hari, ketika misalnya, seseorang memegang hidungnya, maka akan mengatakan bahwa ini adalah hidungku. Tatkala memegang kakinya, tangannya, kepalanya, mulutnya, perutnya, dadanya, dan seterusnya, maka yang bersangkutan akan mengatakan ini milikku. Maka, 'aku'lah yang memiliki semua anggota badan itu. Maka, ketika orang berpikir akan mengatakan bahwa, ia telah menggunakan otaknya. Jika demikian itu halnya, maka sebenarnya 'aku'lah pemilik semua anggota tubuh, dan 'aku' pula yang menggerakkan seluruh bagian tubuh manusia.

Jika cara berpikir tersebut dianggap benar, maka seharusnya yang dididik adalah 'aku', dan bukan otak, telinga, mata, kaki, tangan, dan seterusnya. Sebab semua anggotra badan yang dimaksudkan itu, hingga otak sekalipun, posisinya adalah hanya digerakkan atau memenuhi perintah pemiliknya, yaitu 'aku'. Maka 'aku'lah yang seharusnya dididik atau diubah. Demikian pula untuk merubah sebuah komunitas, maka yang perlu diubah adalah siapa yang menjadi kekuatan penggerak komunitas itu. Contoh lain yang lebih mudah, apabila ingin mengubah kampus, maka sasaran utama yang diajak berubah adalah pimpinannya, atau rektornya, dan bukan tata usahanya.

Lewat penjelasan di muka, maka dapat dipahami bahwa pemilik keseluruhan tubuh manusia, adalah aku, atau sesuatu yang berada di dalam hati setiap orang. Sesuatu yang berada di dalam hati itulah sebenarnya yang merupakan 'aku' atau pusat penggerak kegiatan tubuh manusia. Itulah sebabnya, 'aku' tersebut yang seharusnya dididik. Namun sementara ini, kebanyakan konsentrasi para ahli pendidikan hanya tertuju pada akal atau otak. Padahal keseluruhan tubuh manusia menjadi bergerak oleh karena disuruh atau diperintah oleh apa yang ada di dalam hati. Sementara benda itu ternyata tidak selalu mendapatkan pendidikan.

Kegiatan mendidik pemilik akal atau bisa disebut hati nurani ternyata belum terlalu banyak memperoleh perhatian. Orang mendidik akal atau otak, tetapi melupakan mendidik pemilik akal. Mendidik pemilik akal berbeda dari melatih akal dan anggota tubuh lainnya. Konsep mendidik hati tidak bisa dikarang, tetapi berasal dari petunjuk Tuhan yang dapat dibaca di kitab suci dan ajaran magesterium Gereja.  Pemilik atau 'aku' itu disebut ruh. Sedangkan ruh adalah urusan Tuhan.

 

2.     Kemurniaan dan Ketaatan

a.      Kemurnian

Integritas seksualitas dan kemurnian adalah sikap yang mesti menjadi bagian penting yang perlu dihidupi oleh setiap guru Pendidikan agama Katolik. Semua itu tercapai apabila setiap orang menghidupi imannya dengan berakar dalam Sabda Allah, dalam ajaran gereja dan sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan pertobatan dan juga kegiatan doa dan devosi.

Dalam realitas dunia pendidikan Guru merupakan ladang ilmu bagi para muridnya, guru bagaikan seberkas cahaya yang mampu menuntun manusia-manusia lugu menuju keberhasilan. Kesuksesan seseorang tentunya tidak akan lepas dari peranan seorang guru yang mengajar dengan sepenuh hati. Bahkan, seorang guru akan turut merasakan bahagia dan bangga ketika muridnya mampu menggapai cita-cita. Berkaca dari hal tersebut, murid yang sukses sudah sepatutnya mengucapkan banyak terima kasih kepada guru yang telah menyuntikkan formula kesuksesan itu.

Dalam mengajar guru harus memiliki hati yang murni dalam mengemban tugasnya terutama dalam mendidik peserta didik.

 

b.     Ketaatan

Seorang guru yang hebat tentu wajib untuk memiliki kualitas diri yang baik pula. Kualitas diri yang dimaksud antara lain tertanam sikap disiplin yang tinggi, Selanjutnya memiliki etos kerja yang baik, memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, serta bersikap bijaksana. Apabila beberapa hal tersebut terpenuhi maka dapat dikatakan bahwa seseorang guru memiliki kualitas diri.

Modal awal dalam profesi guru merupakan adanya sebuah komitmen. Guru hendaknya selalu memegang prinsi bahwa menjadi seorang guru merupakan panggilan jiwa untuk mengabdikan seluruh hidupnya untuk kemajuan suatu bangsa. Karena nasib suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas anak mudanya.

Disiplin adalah kata-kata yang sering kita ucapkan dan dengar sehari-hari, terutama di sekolah, kantor, dan sebagainya. Kedisiplinan dapat diukur dari ketaatan dan kepatuhan seseorang dalam menjalankan aturan, tata tertib dan ketentuan yang telah ditetapkan, baik tertulis maupun tidak tertulis (kesepakatan).

Di sekolah, guru adalah orang yang berperan penting dalam menegakkan dan menjalankan kedisiplinan. Kedisiplinan merupakan hal yang patut menjadi perhatian bagi guru sesuai dengan PP nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Sebagai Aparatur Sipil Negara tentu menjadi suatu keharusan bagi guru dalam menegakan disiplin di sekolah. Sebab guru adalah merupakan contoh teladan yang akan digugu dan ditiru oleh peserta didik di lingkungan sekolah. Sebab disamping berperan dalam melaksanakan proses pembelajaran, guru juga menjadi contoh teladan bagi setiap peserta didiknya. Kedisiplinan yang dapat ditunjukan seorang guru di sekolah misalnya, dalam hal kedatangan di sekolah tepat waktu, masuk kelas sesuai jadwal mengajar, ikut dalam pelaksanaan upacara bendera, dan kegiatan sekolah lainnya. Itu merupakan contoh kecil dari sikap dan perilaku guru yang dicontoh oleh peserta didiknya.

Apabila guru tidak mengindahkan hal-hal kecil seperti itu, maka akan sulit untuk meminta pserta didik agar disiplin. Tetapi ketika guru disiplin, maka peserta didiknya juga akan terbiasa untuk disiplin. Sering kita mendengar ketika sesama peserta didik bercerita,” Buat apa cepat-cepat masuk kelas, toh ibu/bapak itu nantinya juga akan terlambat masuk”. Begitu juga hal-hal lain tentang guru yang menjadi pembicaraan dikalangan pesreta didik. Berarti kita guru juga akan dinilai dan mendapat cap tersendiri oleh pesreta didik, sesuai dengan perilaku yang kita tampilkan dihadapan mereka. Ada guru yang dinilai disiplin, pandai dalam mengajar, ramah terhadap peserta didik, peduli dan lain sebagainya. Ada juga guru yang dinilai oleh peserta didiknya kebalikan dari semua itu. Peserta didik akan memberikan penilian dan berbuat sesuai dengan perilaku sang guru. Jika gurunya disiplin masuk dan keluar kelas, maka peserta didiknya juga akan berusaha masuk tepat waktu. Sebaliknya ketika seorang guru telah dicap oleh peserta didiknya sering terlambat, maka merekapun juga akan mengulur-ulur waktu untuk masuk kelas. Jadi disiplin tidak hanya sekadar ucapan, aturan yang tertulis belaka, melainkan lebih kepada pelaksanaannya sehingga menjadi contoh nyata.

 

3.     Kebebasan dan Tanggung Jawab

a.      Kebebasan

Salah satu kode etik profesi itu, meminjam istilah Noegroho Notosoesanto, seorang tenaga profesi sebagai dosen, dan gruru besar, yaitu memiliki kebebasan akademik dan kebebasan mimbar. Dengan kebebasan inilah, profesionalisme tenaga pendidikan dapat diaktulisasikan secara optimal.

Seorang guru memiliki kebebasan mimbar. Artinya, di setiap forum, guru memiliki hak untuk mengemukakan pandangan-pandangannya sesuai dengan paradigma berpikirnya sendiri. Dengan kata lain, seorang guru memiliki hak untuk menggunakan kelas sebagai ruang ekspresi pemikirannya tanpa harus dikendalikan oleh Kepala Sekolah atau Kepala Kementrian sekalipun. Apa pun yang di lakukan guru di dalam kelas dalam hal mengajar adalah hak otonom dari seorang guru. Tidak boleh diintervensi atau dikendalikan dengan model-model instruksional dari penguasa.

Kebebasan akademik guru adalah mrenyampaikan pandangan mengenai materi ajar, dan/atau interprestasi terhadap fenomena kehidupan sesuai dengan paradigma keilmuannya. Seorang guru adalah seorang profesional. Pola pikir dan produk pemikirannya tidak boleh dikekang. Pengekangan pemikiran kelompok guru ini, bukan saja bertentangan dengan etika profesi, tetapi juga melanggar prinsip demokrasi pendidikan, atau hak kebebasan berpikir.

Kebebasan mimbar dan kebebasan akademik berpikir, merupakan hak asasi yang perlu dilindungi dalam pengembangan profesi guru atau tenaga pendidik. Mustahil profesi ini akan berkembangan dengan baik, jika ada pengekangan terhadap tradisi berpikir. Apa pun iterprestasi kita terhadap hal ini, namun hal yang pasti bahwa kebebasan berpikir itu merupakan salah satu hak asasi manusia, khususnya hak asasi seorang guru.

 

b.     Tanggung Jawab

Hal yang terpenting namun sering terlupakan dari seorang guru dalam mendidik siswanya adalah karakter. Berbohong adalah bibit korupsi, dan menyontek adalah perilaku korupsi kecil. Apakah seorang guru membiarkan siswanya menyontek telah mendidik siswanya berperilaku jujur?.  Lihatlah, banyak siswa yang menyontek demi nilai dan tugas terpenuhi tanpa mengerti apa yang mereka kerjakan, berkata tidak sopan kepada guru dan temannya, membully, hinggaberkelahi. Banyak guru yang tidak menerangkan, meremehkan siswanya, membiarkan siswanya tidak bisa dan masih banyak kasus lain yang dialami guru terhadap siswanya dan juga sebaliknya.

Untuk itu Guru harus memiliki peran dan tanggung jawab secara pribadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual. Pertama, tanggung jawab pribadi yang mandiri yaitu mampu memahami dirinya, mengelola dirinya, menngendalikan dirinya dan menghargai serta mengembangkan dirinya. Kedua, tanggung jawab sosial diwujudkan melalui kompetensi guru dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif. Ketiga, tanggung jawab intelektual (profesional) diwujudkan melalui penguasaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk penunjang tugasnya. Keempat, tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan guru sebagai makhluk beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma agama dan moral.

 

4.     Dosa, Pertobatan dan Pengakuan Dosa

a.      Dosa

Beberapa hal yang berkaitan dengan pekerjaan guru yaitu bahwa tidak di sadari di dalam mengajar ada beberapa dosa yang dilakukan oleh para guru di sekolah, beberapa diantaranya adalah mengambil jalan pintas dalam mengajar, tidak adil (Diskriminatif), tidak disiplin, sering meninggalkan peserta didik untuk urusan diluar dinas.

Namun sebaliknya bagaimana agar bisa menjadi guru yang disukai dan cintai oleh siswanya yaitu bahwa didalam mengajar guru tidak boleh terlalu formal dan kaku, mengajar dengan cara yang menyenangkan, saat mengajar guru harus bergembira karena dengan demikian siswa juga akan bergembira. "Selain dari itu ada juga ciri-ciri bagaimana guru bisa disayangi siswanya yaitu dimana guru harus menguasai materi, guru harus memahami gaya belajar anak, guru juga harus dapat berpenampilan menarik, humoris, adil dan penyabar serta menjadi contoh juga teladan bagi siswanya.

 

b.     Pertobatan

Akhir-akhir ini, bangsa kita tengah dihebohkan dengan beberapa skandal besar yang di antaranya melibatkan aparat penegak hukum dan tokoh agama. Penegak hukum yang seharusnya memberi teladan taat akan hukum justru melanggarnya. Demikian pula tokoh agama yang tugasnya memberi teladan hidup religius kepada pengikutnya, namun menjadi tidak bermoral dan tidak beradab.

Dua fakta tersebut hendak menegaskan kepada kita bahwa status sosial, religius, dan jabatan seseorang belum tentu menjamin hidup religius dan moralitas yang baik pula. Status sosial, religius, dan jabatan itu justru disalahgunakan demi kepentingan dan hawa nafsu pribadi. Mereka dengan mudah memutarbalikkan hukum dan ayat-ayat suci demi melegitimasi tindakannya. Orang-orang yang demikian justru lebih jahat dan berbahaya daripada penjahat yang sesungguhnya.

Orang-orang yang “sok taat hukum” dan “sok alim” dikritik dan dikecam oleh Tuhan Yesus dalam Injil Lukas. Di mata manusia, mereka tampak masyhur dan suci, dihargai, dan dielu-elukan. Namun, nyatanya di mata Allah mereka tak ubahnya “seonggok sampah” yang menjijikkan. Nasib mereka akan sama halnya dengan orang-orang yang mengetuk-ngetuk pintu namun tidak dibuka oleh si Empunya Rumah, karena Dia tidak mengenal mereka.

Sebagai orang Kristiani, kita pun sering bangga karena meyakini dan percaya bahwa Yesus Kristuslah Tuhan dan Juru Selamat. Dengan meyakini dan percaya belumlah cukup karena harus diiringi dengan sikap hidup dan moral yang baik pula. Seperti kata Pengkhotbah “Iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati”.

Kita berharap Tuhan semakin mengenal kita dengan hampir setiap Minggu bahkan setiap hari “Makan Bersama Dia” melalui Perayaan Ekaristi. Namun sayangnya, Dia justru belum mengenal kita karena sikap hidup dan moral kita yang bobrok. Mengikuti Perayaan Ekaristi, “Makan Bersama Tuhan”, seharusnya mengubah hidup kita menjadi lebih baik, menumbuhkan pertobatan, menanamkan sikap mawas diri, menyelaraskan kehidupan rohani dengan kehidupan nyata, mengendalikan diri dan hawa nafsu, serta mampu menjadi terang dan garam di mana pun berada.

Tak ada manusia di dunia ini yang sempurna. Bahkan orang suci sekali pun pernah berbuat dosa. Namun mereka dengan rendah hati mau bertobat dan mengakui segala kesalahannya, sehingga hidup mereka pun diubah menjadi baru yang penuh makna dan inspiratif. Tak ada kata terlambat untuk bertobat, karena melalui pertobatan pintu yang sesak itu niscaya terbuka lebar.

 

c.      Sakramen Tobat Media untuk mendapatkan Pengampunan Dosa

Pada masa dewasa ini sakramen tobat atau rekonsiliasi kurang mendapat tempat di hati para umat beriman dengan kata lain kurang diminati. Ada banyak penelitian mengapa minat untuk menerima sakramen tobat bagi manusia modern sekarang tampak merosot. Umat beriman saat ini tidak lagi menghayati sakramen tobat sebagai sebuah sakramen dalam Gereja yang menyelematkan dirinya dari kuasa dosa. Umat beriman bersikap cuek atau masa bodoh terhadap upaya Gereja dalam memberi sakramen Tobat. Aneka upaya dilakukan oleh Gereja adalah melayani umatnya dengan memberikan sakramen tobat pada setiap hari sabtu di Gereja. Hal lain yang ditempuh Gereja universal adalah Gereja turun ke lingkungan untuk memberikan sakreman tobat. Namun, kehadiran umat atau tingkat partisipasi umat dalam penerimaan sakramen ini sangat minim. Tentu saja aneka fakta ini merupakan faktor yang membuat tingkat partisipasi umat sangat minim dalam menerima sakramen tobat.

Untuk saya sebagai guru agama katolik dan umat katolik harus sadar bahwa sakramen tobat merupakan salah satu sakramen  yang memiliki makna pertobatan yang hakiki. Pertobatan berarti pemulihan relasi manusia yang berdosa dengan Allah. Dosa manusia membuat Allah begitu jauh dari kita sehingga manusia yang berdosa membutuhkan pertobatan diri melalui pelayanan sakramen dalam Gereja.

Berkaitan dengan realitas sosial umat, pertobatan harus berorientasi pada cara hidup umat itu sendiri. Pertobatan dapat diperoleh melalui saling berbagi, saling memberi, saling menghargai satu sama lain.



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama